Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Tajuk rencana harian Kompas, Jumat (20/12/2023) sangat mengagetkan karena mengangkat tema yang sungguh diluar perkiraan banyak pihak termasuk saya, yakni “Persoalan Pangan Kian Serius”. Disebutkan dalam tajuk rencana tersebut bahwa Indonesia tengah memasuki fase paceklik produksi beras dan gula. Fase itu dibayangi anomali beras dan gula dunia yang mencerminkan produksi berlimpah, tetapi harga justru naik. Padahal, Pemerintah Indonesia tengah membutuhkan kedua komoditas itu sebagai cadangan pangan ditengah penurunan produksi pada tahun ini. Fase paceklik produksi beras dan gula di Indonesia diperkirakan terjadi berbarengan pada November 2023 dan Mei 2024. Musim tanam I padi di sejumlah daerah produsen beras nasional baru mulai pada November dan Desember 2023 akibat dampak ElNino. Kondisi ini otomatis menyebabkan panen raya hasil musin tanam I mundur dari dari maret-April 2024 menjadi April-Mei 2024. Meskipun tetap ada panen pada Januari-Maret 2024, hasil panen itu masi belum berlimpah (Kompas, 26/12/2023).
Masalah pangan merupakan masalah yang kompleks, dari mulai hulu (on farm) yaitu pertanaman, hingga hilir (off farm) yaitu perdagangan di tingkat konsumen. Masalah pertanaman mulai dari penyediaan benih atau bibit, penyediaan air, penyediaan lahan, hingga soal penanganan hama serta penyedian penyuluh pertanian lapangan dan buruh tani (tenaga kerja). Sementara di hilir, persoalan perdagangan sejak dulu kerap bermasalah akibat kurang off taker dan para pemburu rente serta masalah dengan impor beras. Dari berbagai masalah itu, akar utamanya adalah perubahan iklim dan penyediaan lahan. Perubahan iklim telah mengubah telah mengubah berbagai aspek dalam pertanian tanaman padi dan tebu. Otomatis penyediaan bibit atau benih, pasokan air dan penanganan hama juga telah berubah. Soal apa yang berubah dan seperti apa yang seharusnya dilakukan, seharusnya masalah ini telah menjadi bahan riset para peneliti tanaman padi sehingga menggerakkan yang terlibat dalam pertanian untuk membuat inovasi.
Sementara masalah lahan pertanian yang produktif makin menyusut luasnya karena desakan kebutuhan pemukiman dan industri khususnya di P. Jawa. Sampai saat ini belum ada langkah yangb bisa menekan perubahan lahan pertanian yang produktif dan subur. Nilkai tukar petani yang tidak beranjak naik secara signifikan dan keterdesakan akan kebutuhan hidup mengakibatkan membuat para petani memilih menjual lahan mereka. Penghasilan dari pertanian padi dan tebu sudah tidak bisa lagi menopang pengeluran para petani.
Mari kita coba bedah satu persatu masalah perubahan iklim yang berpengaruh signifikan terhadap produksi pangan khususnya padi dan penyediaan lahan untuk pertanian tanaman pangan serta komitmen pemerintah dalam hal ini Presiden selaku kepala pemerintahan.
Pengaruh Perubahan Iklim
Dalam Kolom Kompas. Com yang terkait pengaruh perubahan iklim terhadap produktivitas pangan khususnya padi, saya telah menulis dua kolom yang berjudul “Krisis Iklim Mengancam Indonesia, Apa yang Harus Dilakukan?” (30/06/2023) dan “Dampak El Nino, Mengancam Ketahanan Pangan Nasional” (05/07/2023).
Penyebab perubahan dan krisis iklim adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global dipicu oleh emisi karbon di atmosfer. Setidaknya ada delapan dampak langsung akibat pemanasan global, yakni terjadinya hujan ekstrem berintensitas tinggi yang menyebabkan bencana banjir, timbul sejumlah risiko penyakit akibat anomali cuaca, dan terjadi kekeringan di sejumlah wilayah yang berimbas pada kegagalan panen dan kelaparan.
Krisis iklim di Indonesia dampaknya terasa dengan berubahnya pola cuaca. Tidak terdeteksi lagi batasan antara musim hujan dan kemarau. Meskipun demikian, BMKG tetap memperingatkan bahwa kemarau panjang berpotensi muncul pada tahun 2023 ini karena cuaca panas. Munculnya risiko kemarau panjang itu adalah imbas dari anomali atmosfer El Nino yang menguat pada 2023. Kemarau panjang akan menyebabkan kekeringan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dampak paling besarnya adalah penurunan produksi bahan pangan dan krisis air bersih. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (waktu itu) menyebut bahwa El Nino tahun 2023 ini bisa menekan produksi pertanian nasional (Kompas, 14/6/2023).
Dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR Rabu (14 Juni 2023), Menteri Pertanian mengatakan bahwa berdasarkan data yang dihimpun pihaknya; kekeringan lahan pertanian akibat fenomena El Nino ekstrem tahun ini bisa mencapai 560.000-570.000 hektar. Padahal, ketika El Nino lemah hanya sekitar 200.000 hektar. El Nino berpotensi meningkatkan kebakaran lahan pertanian, gagal panen dan serangan hama penyakit tanaman. Produktivitas hasil pertanian diperkirakan turun 15-20 persen. Ternyata benar, meski turun produksi tidak sebesar 15-20 persen, namun produksi beras beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 321,54 juta ton.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mengakibatkan beragam bencana dan kerugian ekonomi. Indonesia terkena imbasnya. Ia memperkirakan kerugian ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 2020-2024 dapat menyentuh Rp544 triliun jika tidak ada intervensi kebijakan (bussinnes as usual). Dari jumlah tersebut, risiko kerugian ini berasal dari pesisir dan laut (Rp408 triliun), diikuti pertanian (Rp78 triliun), kesehatan (Rp31 triliun) dan air (Rp28 triliun). Pertanian menjadi salah satu sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Intervensi pemerintah diperlukan guna menekan kerugian petani, mulai dari kesenjangan hingga meminimalkan konversi lahan.
Penyediaan Lahan Pertanian Tanaman Pangan
Untuk mengejar ketahanan pangan guna mencapai swasembada pangan yang meningkat kebutuhannya setiap tahun seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk, tidak ada cara lain kecuali terus menggenjot peningkatan produksi pangan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan terutama padi/beras, hanya ada dua cara yang dapat ditempuh pemerintah, yakni melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sawah. Intensifikasi dan ekstensifikasi adalah rangkaian kegiatan pertanian yang berada di hulu (on farming) yang sangat menentukan dalam peningkatan produksi pangan. Sementara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani untuk memotivatasi agar lebih rajin dan giat bercocok tanaman, harus ada perbaikan tata kelola pemasaran yang merupakan bagian dari rangkaian tata kelola pertanian pada bagian hilirnya (off farming).
Intensifikasi sawah yang dimaksud adalah meningkatkan produksi sawah baku yang ada seoptimal mungkin dengan teknologi, pemupukan, dan pengairan yang cukup. Meskipun lahan pertanian yang dapat diolah seluas 55 juta hektare, namun luas lahan baku sawah hanya 7,46 juta hektare pada 2019. Dwi Andreas Santosa, guru besar Fakultas Pertanian IPB menyebutkan, meski ada program perluasan sawah dan food estate, luas lahan baku sawah semakin menyusut. Pada 2013 luas lahan baku sawah 8,13 juta hektare, empat tahun kemudian menjadi 7,75 juta hektare. Luas itu terus menyusut menjadi 7,11 juta hektare pada 2018 dan terakhir 7,46 juta hektare pada 2019. Untuk mempertahankan swasembada beras, luas baku sawah 7,46 juta hektare harus tetap dipertahankan oleh pemerintah. Kementerian Pertanian (Kementan) (2023) mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman terhadap sektor pertanian dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Konversi lahan sangat mengkhawatirkan.
Luas baku sawah Indonesia menurut Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 seluas 7.463.987 ha. Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47 persen), disusul Sumatera (24 persen), Sulawesi (13 persen), Kalimantan (10 persen), Nusatenggara-Bali (6 persen), Maluku dan Papua (1 persen). Jika berdasarkan kualitasnya, maka ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040 juta ha lahan tadah hujan, dan 1,523 juta ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak. Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut). Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak dua kali dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami sekali setahun.
Sayangnya, intensifikasi sawah yang telah dilakukan sejak era orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, nampaknya sudah mencapai pucak kejenuhan. Dalam diskusi membahas dampak El Nino pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun. Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementan M. Ismail Wahab memperlihatkan, pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, lalu pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton. Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare. Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk perutukan non pangan.
Sementara itu, kegiatan ekstensifikasi sawah dimaksudkan untuk menambah luas sawah baku yang ada maupun budidaya padi lahan kering melalui ekstensifikasi yang memang dimungkinkan melalui pencetakan sawah baru, food estate, maupun program lainnya. Food estate sebagai lumbung pangan telah dibangun di Kalteng, Sumatera Selatan, dan Papua Selatan ditargetkan untuk menambah produksi beras dari luas baku sawah yang telah dilakukan intensifikasi terutama di P. Jawa. Meskipun hasilnya dari food estate per hektare pada saat ini belum setinggi dari hasil sawah baku intensifikasi yang dilakukan di P. Jawa, namun pada gilirannya nanti apabila tingkat kesuburannya telah stabil, maka hasil produktivitas dari program food estate setidak-tidaknya mampu mendekat hasil dari sawah intensisifikasi setiap hektarenya.
Untuk menunjukkan betapa penting hasil program food estate dalam mendukung dan melengkapi hasil program sawah intensifikasi dapat dilihat dari keseriusan pemerintah dalam Rancangan APBN 2024. Pemerintah menargetkan ketahanan pangan di bidang pertanian di antaranya adalah ketersediaan beras nasional menjadi 46,84 juta ton. Pemerintah juga menargetkan lumbung pangan (food estate) seluas 61.400 hektare terbangun di Kalimantan Tengah. Selain itu produksi padi di Kalteng, Sumatera Selatan, Papua Selatan juga ditargetkan sebanyak 5,06 juta ton.
Komitmen Presiden Selaku Kepala Pemerintahan
Hanya ada dua Presiden yang mempunyai komitmen kuat dalam memajukan pertanian pangan di Indonesia, yakni presiden kedua; yakni Presiden Soeharto dan presiden ke tujuh yakni Presiden Joko Widodo. Keduanya diganjar penghargaan internasional karena prestasinya yang mampu mencapai swasembada pangan khususnya beras di Indonesia. Presiden Soeharto pernah mendapatkan penghargaan yang sama dari FAO tahun 1984 di Roma Italia, 38 tahun kemudian di era reformasi menyusul kemudian Presiden Joko Widodo mendapatkan penghargaan yang bergengsi ini. IRRI menilai, Indonesia mencapai swasembada karena mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok domestik, dalam hal ini beras, lebih dari 90%.
Selama lebih dari tiga dekade pemerintahnya, Presiden Soeharto sangat inten dalam program peningkatan produksi pertanian tanaman pangan ini dengan program pancausaha taninya yang dilakukan secara terstruktur, masif dan massal. Sistem dan sektor pertanian langsung dikendalikan pemerintah pusat melalui bimas (bimbingan massal) dan inmas (intensifikasi massal). Penyuluhan pertanian lapangan direkrut secara besar-besaran dan diterjunkan dilapangan melalui sistem LAKU (latihan dan kunjungan) kepetani.
Sementara itu, kerja keras dan jerih payah Presiden Jokowi untuk membenahi sektor pertanian dengan membangun banyak infrastruktur pertanian (bendungan, embung, saluran irigasi) dari sejak awal pemerintahannya (2014 hingga kini 2022) nampaknya membuahkan hasil yang sangat baik. Duet Kementerian PUPR yang membangun bendungan, saluran irigasi dan mencetak sawah baru untuk food estate dan embung dan Kementerian Pertanian yang banyak menggerakkan penyuluh pertaniannya untuk mendampingi petani yang dimotori Basuki Hadimulyono dan Syahrul Yasin Limpo dan ditopang oleh para gubernur dan bupati yang ada di Indonesia, Indonesia terbukti mampu mengembalikan kembali kejayaan negara agraris yang mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri terutama beras. Akankah prestasi ini sebagai negara swasembada beras mampu dipertahankan untuk masa yang akan datang?
Perubahan iklim yang menjurus pada krisis iklim yang melanda dunia, karena anomali El Nino yang membawa kekeringan panjang pada tahun 2023 lalu, nampaknya membuyarkan angan-angan untuk mempertahankan swasembada pangan khususnya beras. Pada tahun 2023 lalu, untuk memperkuat cadangan pangan nasional; pemerintah terpaksa mendatangkan (impor) beras dari negara-negara yang surplus beras seperti Tahiland, Vietnam dan India. Inovasi baru dalam budidaya pertanian tanaman saat ini mendesak diperlukan untuk menjawab tantangan perubahan iklim yang masih sulit diprediksi, misalnya dengan memanfaatkan benih atau bibit tahan kekeringan dan seterusnya. Masa paceklik yang sangat mungkin kembali terulang setiap tahun akibat perubahan iklim ini hendaknya harus disikapi serius oleh pemerintah nanti siapapun yang akan memimpinnya. Kalau tidak, bahaya kelaparan bagi rakyat Indonesia akan mengancam setiap saat.