Tora Milik Siapa?

Presiden Jokowi saat berdialog dengan masyarakat pengelola hutan
Dr. Pernando Sinabutar

Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado)

TTORA atau Tanah Obyek Reforma Agraria didefinisikan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi (Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria). Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan/atau tidak merupakan tanah ulayat Masyarakat Hukum Adat, tanah wakaf, barang milik negara/daerah/desa atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, dan tanah yang telah ada penguasaan dan belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Tanah-tanah tersebut akan diredistribusi atau dilegalisasi melalui Reforma Agraria.

Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Penataan Aset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan Penataan Akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.

TORA bersumber dari kawasan hutan negara maupun hutan hak, bahkan hutan adat. Tanah yang bersumber dari kawasan hutan negara disajikan dalam peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber TORA sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sumber TORA tersebut diklasifikasikan menjadi (1) 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan; (2) hutan produksi yang dapat dikonversi tidak produktif; (3) program pemerintah untuk pencadangan percetakan sawah baru; (4) permukiman transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip; (5) permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum; (6) lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan (7) pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat.

TORA Milik Siapa?

Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan menyebutkan bahwa Pihak sebagai pemilik TORA adalah perorangan; instansi; badan sosial/ keagamaan; dan masyarakat hukum adat. Perorangan harus memiliki identitas kependudukan; instansi merupakan instansi pemerintah pusat atau instansi pemerintah daerah; badan sosial/keagamaan harus terdaftar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang keberadaannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan memiliki bukti penguasaan tanah. Kriteria penguasaan tanah tersebut adalah : (a) bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak secara fisik dengan itikad baik dan secara terbuka; (b) bidang tanah tidak diganggu gugat; dan (c) bidang tanah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala desa/keluratran yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

Penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan adalah untuk: (a) permukiman; (b) fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial; (c) lahan garapan; dan/atau (d) hutan yang dikelola masyarakat hukum adat. Permukiman merupakan bagian di dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung penghidupan masyarakat serta masyarakat adat. Fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial merupakan fasilitas di dalam kawasan hutan yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan umum. Lahan garapan merupakan bidang tanah di dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran dan/atau tambak. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat merupakan hutan adat yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Sedangkan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa: (a) mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan; (b) tukar menukar kawasan hutan; (c) memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial; atau (d) melakukan resettlement. Pola penyelesaian tersebut memperhitungkan : (a) luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi; dan (b) fungsi pokok kawasan hutan.

Bagaimana Implementasinya?

Sejak Tahun 2018, kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan telah diimplementasikan di Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku Utara yang merupakan wilayah kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado. TORA di Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku Utara dimiliki antara lain perorangan yang dikuasai dan dimanfaatkan untuk permukiman dan lahan garapan;  badan sosial/keagamaan untuk fasilitas sosial; serta instansi untuk fasilitas umum.

Tahun 2018 telah dilakukan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara; Bolaang Mongondow Timur; Bolaang Mongondow Selatan; Kepulauan Talaud (Provinsi Sulawsi Utara) dan di Kabupaten Halmahera Tengah; Halmahera Timur; Halmahera Barat; Kota Tidore Kepulauan; dan Kota Ternate (Provinsi Maluku Utara). Bahkan Tahun 2019 telah dilakukan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara.

Proses implementasi dibeberapa kabupaten/kota tersebut telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan, bahkan beberapa kabupaten/kota telah hampir selesai pada tahap final untuk segera dilakukan redistribusi atau legalisasi sebagaimana tujuan dari Reforma Agraria. Finalisasinya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah penerbitan SK Perubahan Batas terhadap kawasan hutan yang berubah batasnya akibat persetujuan pola penyelesaian tanah dalam kawasan hutan berupa mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.  Dengan demikian, tujuan Reforma Agraria antara lain untuk: (a) mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan; (b) menangani Sengketa dan Konflik Agraria; (c) menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; (d) menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dapat segera diwujudkan.