Musim kemarau sudah terjadi di beberapa di wilayah Indonesia. Petani yang lahan sawahnya dekat dengan sungai dianjurkan membuat saluran sodetan sungai, seperti yang dilakukan petani di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
Memang, banyak cara yang bisa dilakukan petani untuk mengatasi kekeringan. Petani di Desa Sindangkerta, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, misalnya. Mereka membuat sodetan sungai agar air bisa dialirkan ke sawah-sawah.
“Kelompok Tani (Poktan) Sri Lestari II di desa itu yang berinisiatif membuat sodetan tersebut,” kata Kepala Seksi (Kasie) Mitigasi Iklim, Subdirektorat Iklim, Konservasi Air dan Lingkungan Hidup, Direktorat Irigasi Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP), Dyah Susilokarti di Jakarta, pekan lalu.
Petani memanfaatkan air dari saluran pembuangan di Kali Pararel Kumpul Kuista. Mereka membuat saluran sodetan sepanjang 36 meter dengan terpal dan air didistribusikan dengan saluran air sepanjang 750 meter ukuran lebar 120 cm dan kedalaman 50 cm. Ujung saluran pun berada pada posisi 750 meter dari ujung sodetan.
“Walaupun sumber air lebih rendah dari lahan, tetapi debit besar (6 liter/detik), sehingga mampu mencapai lokasi sejauh lebih kurang lebih 1 km,” tegas Dyah. Kreativitas dari poktan ini terpantau ketika kegiatan monitoring kekeringan yang dilakukan Tim Ditjen PSP melakukan monitoring kekeringan di wilayah Pantura.
Ketua Poktan Sri Lestari, Tasmad menyebutkan, saluran air tersebut dibuat dengan dana swadaya masyarakat sebesar Rp15 juta dan dalam waktu kurang dari 1 bulan sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Mulai dari lahan seluas 200 hektare (ha) sudah dapat diairi dan melakukan tanam padi. Meskipun air yang dialirkan tidak dibuat maksimal. “Karena debit yang besar dan jaringan irigasinya masih sederhana (belum di-lining) sehingga dapat menyebabkan lahan sawah yang dilalui kebanjiran,” tutur Dyah.
Air sodetan diharapkan mampu mengairi 160 ha sawah di Desa Kapringan dan 100 ha di Desa Singakerta. Dengan demikian, total luasan yang dapat diairi 460 ha dengan adanya sodetan sungai.
Tak hanya itu, sewa lahan pertanian di Desa Sindangkerta menjadi meningkat karena lahan menjadi optimal untuk ditanami. Sebelum saluran ini dibuat, sewa lahan hanya Rp300.000/bahu, sekarang menjadi Rp7 juta/bahu. Tentunya ini menguntungkan petani,” tuturnya.
Laporan petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) di lapangan menyebutkan, sedikitnya terdapat 5 kecamatan di Indramayu yang telah mengalami kekeringan dengan total luas terkena 634 ha dan terancam 6.430 ha.
Salah satu sumber masalah adalah terdapatnya tanggul yang mengalami kerusakan pada bangunan saluran sekunder Kandang Haur (B.Khr 4). Hal ini menyebabkan terhentinya pasokan air irigasi di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Haurgeulis, Gabuswetan, Kandanghaur, Bongas dan Anjatan. Akibatnya, sekitar 3.000 ha lahan sawah terancam kekeringan dan sekitar 6.900 orang konsumen kekurangan air bersih.
Karena itu, Balai Besar Wilayah Sungai dan Perum Jasa Tirta (PJT) II bersama Kelompok Tani telah melakukan perbaikan 2 siphon agar segera mengalirkan air ke wilayah Kandanghaur. Pada masa penanganan, air dapat dioptimalkan pada wilayah lain dengan melakukan percepatan tanam agar tidak terdampak kekeringan.
Setelah air dapat dialirkan melalui 2 siphon, maka debit air akan dimaksimalkan untuk dialirkan ke wilayah Kandanghaur selama 3-5 hari. Sedangkan pada Daerah Irigasi (DI) Rentang, disiplin petani gilir giring air terus ditingkatkan. Karena selama ini kekeringan pada DI Rentang disebabkan karena tidak tertibnya petani dalam melaksanakan jadwal tanam dan jadwal gilir giring air.
Hal itu berdampak pada lahan sawah di daerah hilir yang tidak mendapat pasokan air sesuai dengan jadwalnya. Terdapat 4 kecamatan yang lahan sawahnya terancam kekeringan, yaitu Kecamatan Losarang, sebagian Kecamatan Kandang Haur, Kecamatan Lelea dan sebagian Kecamatan Terisi dengan total mencapai 3.500 ha.
Saat ini, Pemkab Indramayu telah mengeluarkan kebijakan ‘37’ untuk gilir giring distribusi air baku di saluran induk Cipelang, terutama pada saluran induk barat untuk musim tanam gadu (MT II) 2019.
Kebijakan ‘37’ itu berarti tiga hari untuk BBT 14 ke hulu yang merupakan wilayah PSDA Cikedung dan tujuh hari BBT 14 ke hilir yang merupakan wilayah PSDA Losarang.
Mesin Pompa Air
Sementara itu, Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi berupaya mencegah ribuan hektare sawah agar tidak puso dengan memasang mesin pompa air untuk mengairi lahan sawah. “Kekeringan tanaman padi di Sukabumi ini disebabkan oleh kondisi iklim, di mana musim kemarau maju, masa tanam mundur,” kata Dirjen Prasarana Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy, Selasa (16/7/2019).
Dia menyebutkan, melalui sistem gilir giring selama enam hari mendapatkan satu hari untuk pengairan. Selain itu, memaksimalkan pemanfaatan pompa 3 inchi untuk mengairi sawah yang rawan kekeringan.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi Ajat Sudrajat menjelaskan, untuk lahan pertanian yang beririgasi di Kabupaten Sukabumi luasnya 46.000 ha dan nonirigasi 18.066 ha.
Meskipun demikian, lahan pertanian irigasi mayoritas tetap mengandalkan air hujan, karena saat musim kemarau jaringan irigasi yang ikut mengalami kekeringan. “Selain pompa air, kami pun melakukan pipanisasi untuk mengaliri air dari sumbernya ke areal lahan pertanian untuk antisipasi gagal panen,” kata Ajat.
Sudrajat mengatakan, pihaknya juga sudah menyebar petugas dan penyuluh pertanian untuk melakukan pendataan ke seluruh kecamatan terkait lahan pertanian yang kekeringan tersebut. Selain itu, biasanya di musim kemarau ini petani menanam tanaman yang membutuhkan sedikit air, terkecuali lahan pertanian yang sudah tidak bisa ditanami lagi.
“Kami masih mendata luas lahan pertanian yang kekeringan hingga saat ini sekaligus menyalurkan bantuan pompa dan pipa air ke sejumlah lokasi yang terdampak becana kekeringan,” katanya. PSP