Ayam Brasil Masuk, Horeka Cuan

Brasil berhasil memaksa Indonesia membuka diri terhadap impor daging ayam. Meski prosesnya masih panjang, namun pasar dalam negeri sudah bereaksi keras, terutama peternak unggas mandiri alias peternak rakyat. Benarkah harga daging ayam beku Brasil lebih murah? Siapa yang paling dirugikan dan siapa yang diuntungkan?

Setelah pertarungan panjang sejak tahun 2014, diplomasi Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kalah melawan Brasil dan harus membuka pasar menerima daging ayam dari negeri Samba ini. Sebagai eksportir daging ayam terbesar di dunia, Brasil pantas senang. Maklum, Indonesia jadi pasar baru, yang bisa menyerap kelebihan produksi mereka. Tahun ini, Brasil ditaksir memproduksi 13,635 juta ton daging ayam, sementara konsumsi sekitar 9,8 juta ton, atau surplus hampir 4 juta ton.

Pasar Indonesia sendiri sebetulnya surplus alias swasembada dan tidak butuh impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, potensi produksi karkas ayam pada 2018 sebesar 3,38 juta ton, sementara proyeksi kebutuhannya hanya 3,05 juta ton. “Artinya, impor daging ayam Brasil tidak diperlukan,” tegas Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita di Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Persoalannya, meski produksi surplus, namun dari sisi harga karkas di pasar terhitung tinggi. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga di pasar tradisional Jakarta rata-rata Rp36.000/kg. Harga ini jauh dari harga ayam hidupnya, yang sempat anjlok Rp9.000/kg.

Dibanding karkas ayam Brasil, harga itu jelas tak mampu bersaing. Menurut ekonom Indef, Rusli Abdullah, biaya produksi ayam lokal lebih mahal dua kali lipat jika dibandingkan dengan biaya produksi ayam Brasil. Di Brasil, kata dia, biaya produksi hanya menyentuh level Rp9.400/kg, sedangkan di Indonesia masih Rp18.000-an. “Jadi, masih jauh lebih tinggi (ongkos produksi) di Indonesia,” katanya.

Namun, dari data IndexMundi, harga rata-rata daging ayam Brasil dalam tiga bulan terakhir sampai Juni bergerak di kisaran 2,07-2,09 dolar AS/kg atau sekitar Rp29.000/kg dengan kurs Rp14.000/dolar AS. Jika dibebani ongkos angkut, biaya handling dan bea masuk, harga pasti lebih tinggi lagi. Belum lagi, ini yang patut dicatat, karkas itu dalam bentuk beku, yang sulit diterima konsumen pasar tradisional. Alhasil, kalaupun terjadi serbuan, maka siapa yang paling diuntungkan?

Menurut Guru Besar Peternakan IPB, Prof. Muladno, masuknya karkas ayam beku akan menguntungkan hotel, restoran dan katering (horeka) karena persaingan memasok makin sengit. Selama ini, pemasok daging ayam untuk horeka memang mayoritas peternak besar yang memiliki alat pendingin cukup canggih dan dalam jumlah besar. Hanya saja, “Produsen besar cukup kuat”, katanya, sementara “Peternak kecil yang bakal tertekan hebat.” Alasannya, pasar akan dipenuhi daging ayam impor dan daging ayam peternak besar, dan rakyat sulit bersaing. AI