Petani kelapa sawit kembali menggugat Peraturan Pemerintah (PP) No.24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan ke Mahkamah Agung (MA). Lewat uji materiil, mereka menuntut dana triliunan rupiah di Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit diprioritaskan untuk peremajaan (replanting), bukan untuk bahan bakar nabati (biodiesel). Akankah menang kali ini?
Penggunaan dana perkebunan hasil pungutan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya kembali digugat petani kelapa sawit. Dengan dalih bertentangan dengan Undang-undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melakukan uji materiil terhadap PP No.24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, terutama pasal 9 ayat (2), ke Mahkamah Agung. Pasal ini yang membuat BPDP menyalurkan 89% dari total dana hasil pungutan ekspor CPO (crude palm oil) dan turunannya tahun 2017 senilai Rp14,8 triliun untuk subsidi biodiesel.
SPKS menilai pasal ini bertentangan dengan UU 39/2014, terutama pasal 93 ayat (4). Berdasarkan pasal tersebut, maka penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan digunakan untuk pengembangan sumberdaya manusia, litbang, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan dan/atau sarana dan prasarana perkebunan. Namun, dalam PP 24/2015 pasal 9 ayat (2), penggunaan dana itu termasuk untuk pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan bahan bakar nabati (biofuel). Ini yang membuat petani meradang.
Kali ini, gugatan petani tampaknya memperoleh dukungan kuat dari Kementerian Pertanian. Apalagi, tahun 2018 ini Kementan menargetkan peremajaan 185.000 hektare (ha) kebun sawit rakyat dengan dana sekitar Rp4,6 triliun. Dananya? Ya, dari BPDP. “Replanting ini bagian dari lima penggunaan dana pungutan ekspor. Jadi, sama sekali tidak menyalahi aturan,” tegas Dirjen Perkebunan Kementan, Bambang di Jakarta, Jumat (23/2/2018). Menurutnya, dari 5 juta ha kebun milik rakyat, sekitar 2 juta-an ha tanaman tua yang sudah menurun jauh dari potensinya.
Ketua Dewan Pengawas BPDP, Rusman Heriawan mengakui, tahun ini alokasi dana untuk peremajaan kebun sawit petani dinaikkan dari 10% menjadi 20% dari total peroleh pungutan 2018. Namun, jika mengacu kebutuhan dana peremajaan Rp4,6 triliun, alokasi 20% jelas masih kurang. Pasalnya, tahun ini pendapatan dari pungutan ekspor CPO dan turunannya diproyeksikan Rp11 triliun.
Namun, uji materiil yang ditempuh petani membuat tidak nyaman produsen biofuel. Bahkan, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mengingatkan pembatalan pasal 9 ayat (2) bisa mematikan pengembangan bahan bakar berkelanjutan. Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan Taningdjaja mengaku akan menempuh alternatif lain jika uji materiil kali ini dikabulkan MA, meski dia tidak menjelaskan alternatif tersebut.
Namun, Paulus masih yakin MA tidak mengabulkan gugatan tersebut karena dulu juga petani melakukan uji materiil tapi tidak berhasil. Ya, ini memang upaya kedua petani dalam kurun kurang dalam setahun menggempur PP 24/2015. Upaya pertama dilakukan Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit untuk menggugat hal yang sama dan Majelis Hakim MA melalui putusan Nomor 01/P/HUM/2017 tanggal 16 Maret 2017 menolak permohonan uji materiil tersebut. Apakah kali ini berbeda? AI