Nasib pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh pemerintah Amerika Serikat kepada sejumlah komoditas asal Indonesia masih menggantung. Perundingan yang membahas fasilitas tersebut masih terus berlanjut.
Upaya meyakinkan pemerintah AS agar tetap memberikan GSP untuk sejumlah komoditas Indonesia juga terus dilakukan. Pertengahan Januari lalu, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kembali melakukan kunjungan ke AS.
Salah satu agendanya, di kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR) di Washington DC, Enggar melakukan pertemuan dengan Perwakilan Perdagangan AS Duta Besar Robert E. Lighthizer. Dalam pertemuan tersebut antara lain dibahas perkembangan isu-isu terkait GSP yang saat ini tengah ditinjau kembali oleh Washington.
“Pertemuan dengan USTR berlangsung konstruktif karena kedua pihak memahami bahwa program GSP bagi Indonesia sesungguhnya menguntungkan kedua negara karena produk ekspor Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP tersebut memang dibutuhkan oleh pelaku usaha di AS dalam proses produksi mereka sehingga kompetitif,” ujar Mendag usai pertemuan.
Menurutnya, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembahasan mengenai peninjauan GSP ini agar dicapai hasil yang positif dan saling menguntungkan. Sementara itu, fasilitas GSP saat ini masih tetap diberikan kepada Indonesia. “Dengan demikian, tidak perlu ada kekhawatiran di kalangan eksportir Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas ini,” jelas Mendag.
Pemberian fasilitas GSP jadi masalah ketika pada April 2017, pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP, termasuk Indonesia. Mengacu kepada ketentuan World Trade Organization (WTO), GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak atau unilateral yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang.
Sifat kebijakan GSP tidak mengikat, baik bagi negara yang memberikan maupun penerima manfaat GSP. Negara yang memiliki program GSP juga memiliki diskresi untuk menentukan negara mana dan produk apa saja yang bisa memperoleh manfaat dari mereka.
Adapun periode program GSP AS untuk Indonesia akan berakhir pada 31 Desember 2020 mendatang.
Saat ini Indonesia sedang menjalani dua proses review yang dikoordinasikan oleh United States Trade Representative (USTR). Proses review itu adalah kelayakan Indonesia sebagai penerima manfaat GSP dan review tahunan tentang produk-produk yang akan diberi pemotongan bea masuk jika Indonesia melakukan ekspor komoditas itu ke AS. Ada 124 produk ekspor yang terancam jika GSP dicabut.
Kajian tahunan terhadap produk GSP sudah dilakukan USTR pada Januari sampai April 2018 dan sudah selesai dilakukan, meskipun belum ada pengumuman lebih lanjut terkait perubahan produk yang akan diberikan manfaat GSP-nya untuk Indonesia.
Hambatan perdagangan
Selain berunding langsung dengan petinggi USTR, pemerintah Indonesia juga telah melakukan pelbagai langkah agar fasilitas pengurangan atau pembebasan bea masuk dari AS itu bisa tetap diterima.
“Pokoknya kami mau berusaha sekuat tenaga supaya itu bisa tetap,” ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution seraya menegaskan bahwa pemerintah memiliki kepentingan dalam mempertahankan fasilitas insentif bea masuk impor ke AS karena hal ini menyangkut banyak komoditas ekspor ke Indonesia.
Jika mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), total perdagangan RI-AS pada 2017 mencapai 25,91 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, ekspor Indonesia mencapai 17,79 miliar dolar AS dan impornya 8,12 miliar dolar AS. Indonesia surplus senilai 9,67 miliar dolar AS.
Komoditas ekspor utama Indonesia ke AS antara lain udang, karet alam, alas kaki, ban kendaraan, dan garmen. Sementara impor utama Indonesia dari AS antara lain kedele, kapas, tepung gandum, tepung maizena, serta pakan ternak.
Adapun langkah yang dilakukan pemerintah adalah menghilangkan hambatan perdagangan AS di Indonesia, antara lain dengan melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan terkait importasi produk ternak dan hortikultura sesuai dengan putusan badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body/DSB WTO).
Indonesia juga akan mengimplementasikan work plan on Intellectual Property Rights (IPR) Indonesia-Amerika sesuai dengan hasil pertemuan Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) Indonesia-Amerika pada 14 Mei 2018 di Jakarta.
Selain itu, Indonesia juga akan melakukan monitoring dan penegakan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), termasuk meningkatkan edukasi ke masyarakat untuk memberantas pelanggaran HAKI.
Plan B
Selain langkah-langkah tersebut, beredar pula rencana lain yang lebih dikenal sebagai rencana ‘plan B’ yang akan diterapkan jika fasilitas GSP itu tidak diberikan lagi kepada Indonesia.
Menurut sumber-sumber terpercaya, dalam strategi Plan B itu Indonesia bersiap menaikkan tarif atau menerapkan strategi managed import licensing terhadap produk impor dari AS senilai 7,06 miliar dolar AS atau mencakup 86% dari total ekspor Paman Sam ke Indonesia pada 2017.
Adapun urutan komoditas yang tercantum dalam rencana retaliasi tersebut antara lain makanan anjing dan kucing (HS230.990), ampas hasil penyeduhan atau penyulingan (HS230.310), ampas dari pembuatan pati (HS230.330), kapas (HS520.100), sereal, gandum dan meslin (HS100.199), serta kedele (HS120.190).
Menurut sumber Agro Indonesia di Kemendag, usulan daftar nama komoditas asal AS yang akan dikenakan tarif bea masuk itu dilakukan oleh kementerian-kementerian terkait. “Misalnya saja untuk komoditas pertanian, yang mengusulkan adalah Kementerian Pertanian. Begitu juga komoditas lainnya, suara kementerian terkait akan didengar,” ujar sumber itu.
Usulan daftar nama komoditas dan besaran BM itu kemudian dibahas bersama dalam Rakortas. Di rapat inilah ditetapkan apakah komoditas yang diusulkan itu layak untuk dikenakan BM dan apakah BM yang dikenakan itu sudah pas besarannya.
Dia mencontohkan, ada instansi yang mengusulkan agar impor kedele asal AS dikenakan BM sebesar 20%, namun ada juga instansi lain yang menolak karena terlalu besar dan bisa berdampak pada harga di dalam negeri. Banyak yang menginginkan kalau BM kedele sebaiknya hanya 5%.
Adapun jadi tidaknya penerapan menaikkan bea masuk komoditas asal AS itu masih menunggu hasil akhir dari perundingan antara pemerintah AS dengan Indonesia soal GSP.
Bantah retaliasi
Namun, kabar mengenai adanya aksi retaliasi itu dibantah oleh Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Iman Pambagyo — yang memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan dengan USTR selama ini.
“Istilah balasan tidak tepat karena kebijakan GSP yang diberikan sejumlah negara maju kepada beberapa negara berkembang selama ini adalah kebijakan unilateral mereka,” kata Iman kepada Agro Indonesia, pekan lalu.
Menurutnya, fasilitas itu ditujukan untuk membantu daya saing produk tertentu dari suatu negara berkembang yang belum kompetitif di pasar Amerika Serikat dibandingkan pemasok dari negara lain
“Jika nantinya komoditas itu sudah mencapai kriteria yang ditetapkan, misalnya market share-nya sudah mencapai sekian persen dan value-nya sudah mencapai batas yang disyaratkan, maka komoditas itu bisa saja dikeluarkan dari fasilitas GSP,” ucapnya.
Iman juga menegaskan, saat ini proses permohonan GSP masih terus dibahas dan belum ada keputusan resmi soal ditolaknya permohonan GSP sejumlah komoditas, termasuk plywood, oleh pemerintah Amerika Serikat.
Bahkan dia menyebutkan adanya perkembangan positif dalam konsultasi antara kedua negara membahas soal GSP itu, “Konsultasi masih berlanjut tetapi ada progres. Just a little bit more,” ucap Iman Pambagyo.
Kedele
Sementara itu, Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Sumardjo Gatot Irianto, yang ditanya mengenai usulan penerapan bea masuk kedele impor mengatakan pihaknya masih konsentrasi pada tanaman jagung. “Dulu, usulan pengenaan tarif bea masuk impor kedele pernah diusulkan sekitar 10%. Tapi sekarang belum dibahas lagi,“ katanya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro pernah mengatakan, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) soal impor kedele belum ada. “Belum ada Permentan soal impor kedele,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Agung Hendriadi juga mengatakan, belum ada rencana untuk pembahasan bea masuk kedele. “Masalah usulan bea masuk kedele ada di Ditjen Teknis,” katanya.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan impor kedele di tahun 2015 sebesar 2,25 juta ton, naik menjadi 2,26 juta ton di 2016 dan melonjak menjadi 2,67 juta ton sepanjang tahun lalu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor kedele sepanjang tahun ini hingga Oktober telah menembus 2,20 juta ton, dengan impor terbesar dari Amerika Serikat sebesar 2,14 juta ton, diikuti Kanada 51.419 ton dan Malaysia 8.249 ton.
Gatot mengatakan pihaknya sedang mendorong sistem penanaman tumpang sari antara komoditas padi, jagung dan kedele. Pasalnya, selama ini petani hanya fokus untuk menanam komoditas pangan yang harga jualnya tinggi, seperti padi atau jagung. Akhirnya, seringkali tanaman kedele tidak kebagian lahan tanam.
“Kami ingin pajale (padi jagung dan kedele) dibudidayakan bersama tanpa ada yang berebutan lahan satu sama lain. Makanya kita coba tumpang sari padi-jagung, padi-kedele dan jagung-kedele,” ujarnya. B. Wibowo/Jamalzen