
Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang diberitakan majalah Sawit Indonesia, Jumat (25/04/2025) menarik disimak. Dalam berita bewrjudul “Apabila HGU Terbit Sebelum Penetapan Kawasan Hutan, maka HGU yang Menang”. Pernyataan ini disampaikan Nusron dalam pembinaan jajaran Kanwil BPN Provinsi Riau.
Dalam Surat Edaran Sekjen Kementerian ATR/BPN No. 9/SE.HT.01/VII/2024 tanggal 12 Juli 2024, di Provinsi Riau terdapat 126 perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), namun belum memiliki HGU. Sudah ada MoU dengan Kementerian Kehutanan bahwa apabila HGU lebih dahulu terbit daripada penetapan kawasan hutan, maka HGU itu yang akan menang.
Sebagai pengamat kehutanan dan lingkungan, saya baca dan cermati berulang ulang pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid ini, benarkah ada HGU terbit sebelum penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau atau provinsi lain di Sumatera selain Provinsi Sumut? Perlu kita pahami lebih dahulu, apa HGU untuk perkebunan sawit dan apa pula penetapan kawasan hutan dan bagaimana proses kawasan hutan menjadi HGU sawit. Berikut penjelasannya.
Terminologi HGU atau hak guna usaha dapt diemukan dalam Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Aturan terbaru kini mengacu pada Peraturan Pemerintah 18/2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah. Hak guna usaha atau HGU adalah hak mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tertentu itu paling lama 25 hingga 35 tahun untuk tujuan tertentu.
Tanah yang dapat diberikan dengan HGU meliputi tanah negara dan tanah hak pengelolaan. Sementara tanah negara yang dimaksud adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan merupakan seluruh bidang tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh pihak lain. Sedangkan hak pengelolaan dapat berasal dari tanah negara dan tanah ulayat.
Salah satu metode mendapatkan HGU adalah permohonan pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan produksi konversi tidak diberikan sekaligus. Untuk perkebunan maksimal 60.000 hektare (ha) per grup usaha, dengan pemberian bertahap mulai 20.000 ha. Untuk perkebunan tebu maksimal 100.000 ha yang diberikan bertahap maksimal 25.000 ha. Tiap pelepasan tahap berikutnya ada evaluasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi.
Pemahaman kawasan hutan dalam regulasi
UU No. 5/1967 jelas menyebut bahwa kawasan hutan adalah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap. Sedangkan hutan tetap adalah hutan, baik yang sudah ada, maupun yang akan ditanam atau tumbuh secara alami di dalam Kawasan Hutan. Penetapan kawasan hutan dilakukan Menteri cukup didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan: Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Suaka Alam dan/atau Hutan Wisata.
Bentuk ditetapkan oleh negara adalah adanya surat keputusan (SK) Menteri yang membidangi kehutanan (waktu itu kehutanan masih dibawah Depertemen Pertanian, maka bentuknya SK Menteri Pertanian). Regulasi ini tercantum dalam UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 41/1999 belum terbit), dan pada waktu itu kawasan hutan ditetapkan negara kurang lebih seluas 122 juta ha.
Jadi, setelah terbitnya UU No. 5/1967 hingga terbitnya UU No. 41/1999, kawasan hutan negara telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian berdasarkan peta yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Kehutanan (termasuk Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan/TGHK) yang terbit sejak tahun 1982) yang diikat oleh titik koordinat tetap Lintang Utara (LU) dan Lintang Selatan (LS) dari peta topografi. Meskipun secara tersirat, proses pengukuhannya belum dilakukan secara sempurna (baru pada tahap penunjukkan, belum dilakukan tata batas dan pemetaan kawasan hutan), secara hukum sah karena telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Pengukuhan hutan dalam UU ini hanya disebut sepintas pada pasa 7 ayat (3).
Dengan terbitnya UU No. 41/1999 semakin jelas pemahaman tentang kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan disebut dalam satu bagian dari Bab Perencanaan Hutan (Bab Ketiga), pada pasal 15 dan 16. UU No. 41/1999 ditindaklanjuti dengan turunannya, yakni PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang lebih diperjelas lagi tentang pengukuhan kawasan hutan. Dalam PP ini pengertian kawasan hutan lebih diperjelas, yakni wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Meskipun penunjukkan kawasan hutan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan, namun penunjukkan kawasan hutan sudah dapat disebut sebagai kawasan hutan, meski belum ada penataan batas dan pemetaan kawasan sepanjang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk surat keputusan (SK) dan sah secara hukum (de jure).
Tata ruang dalam TGHK Provinsi Riau
Provinsi Riau memiliki luas wilayah yang cukup besar, yaitu 8.915.016 ha. Angka ini merupakan luas wilayah daratan dan tidak termasuk luas perairan. Sementara dalam data dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau, luas kawasan hutan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai keputusan Menteri Kehutanan No.173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 seluas 8.598.757 ha, namun setelah di-update pada tahun 2012 menjadi 9.036.835,00 ha (termasuk wilayah perairan). Rinciannya adalah hutan konservasi (HK) 6,96%, hutan lindung (HL) 2,31%, hutan produksi biasa (HPB) 18,13%, hutan produksi terbatas (HPT) 32,67% dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 19,59%.
Dengan demikian, total kawasan hutan di Provinsi Riau menurut TGHK tahun 1986 dan direvisi 2012 dari total luas Provinsi Riau mencapai 79,66 %. Jadi, kawasan hutan yang telah ditetapkan dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan di Provinsi Riau hampir mencapai 80% dari luas daratan di Riau.
Dari data yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN — yang terdapat 126 perusahaan telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), namun belum memiliki HGU — saya dapat pastikan bahwa 126 perusahaan kebun sawit tersebut sudah dapat dipastikan menggunakan kawasan hutan. Dari data Komisi IV DPR RI periode 2019-2024 diketahui luas perkebunan sawit ilegal di Riau mencapai 1,8 juta ha.
Sebagai salah satu bukti nyata adalah kasus PT Duta Palma, yang terjadi pada saat euforia otonomi daerah dan ditafisirkan salah oleh mantan Bupati Indragiri Hulu (Inhu) provinsi Riau periode 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR). Hanya berbekal izin prinsip yang diterbitkannya, Bupati RTR telah berani menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan dikawasan hutan di Indragiri Hulu seluas 37.095 ha. Padahal, izin usaha pekebunan di kawasan hutan harus dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan dan izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan Menteri Agraria/Tata Ruang. Tanpa pelepasan kawasan dan HGU, mustahil izin usaha perkebunan di kawasan hutan dapat dilakukan. Faktanya, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi dapat mengusahakan kebun sawit secara tidak sah sampai dengan kasus ini terungkap pada Juli 2022 oleh Kejaksaan Agung. Negara dirugikan yang diakibatkan oleh aktivitas kebun sawit ilegal tersebut mencapai Rp78 trilliun.
Kesimpulannya dari pembahasan di atas adalah, tidak ada HGU perkebunan sawit yang terbit dahulu dari penetapan kawasan hutan, karena penetapan kawasan hutan sudah dimulai sejak tahun 1967/1968 setelah terbitnya UU No. 5/1967 dan diperkuat dengan TGHK tahun 1986. Sementara booming perkebunan sawit yang masuk kawasan hutan terjadi di atas tahun 2000-an setelah terbentuknya era reformasi tahun 1998 dan tumbangnya orde baru.