Adalah ironi buat Indonesia. Negara produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, namun dalam urusan pasokan minyak goreng domestik justru langka dan mahal harganya.
Lonjakan harga minyak goreng (migor) di Indonesia terjadi sejak beberapa bulan di akhir tahun 2021 dan berlanjut pada Januari 2022. Di pertengahan Januari, harga migor kemasan mencapai Rp21.000/liter. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, migor masih bisa dibeli dengan harga Rp13.000/liter.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menyebut lonjakan harga migor dipicu oleh menurunnya pasokan minyak nabati di pasar global. “Ini dikarenakan adanya fenomena global, di mana pasokan minyak nabati di dunia kurang. Ada penurunan produksi akibat biaya logistik yang tinggi yang disebabkan krisis energi, sehingga berdampak pada ikut naiknya harga minyak nabati di dunia,” ujar Oke dalam acara diskusi virtual Ombudsman bertajuk “Menjamin Ketersediaan Minyak”, Selasa (8/2/2022).
Sepanjang tahun 2021, harga CPO di pasar internasional memang naik 36,3% dibandingkan 2020, dan hingga Januari 2022, posisi harganya sudah mencapai Rp15.000/kg. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, harga minyak goreng pada Desember 2021 naik 34% dibandingkan Desember tahun sebelumnya, yaitu dari Rp15.792/liter menjadi Rp21.125/liter.
Untuk mengatasi tingginya harga migor, Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi pada 19 Januari 2022 memberlakukan kebijakan satu harga minyak goreng di dalam negeri seharga Rp14.000/liter. Adapun selisih antara harga Rp14.000 dengan harga riil di pasaran, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyiapkan dana subsidi sebesar Rp7,6 triliun.
Namun, kebijakan itu tidak berangsung lama karena sepekan kemudian, tepatnya 27 Januari 2022, Lutfi kembali mengumumkan kebijakan barunya dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) migor.
Melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2022, HET minyak goreng curah ditetapkan sebesar Rp11.500/liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500/liter serta minyak goreng kemasan premium Rp14.000/liter. Kebijakan itu berlaku mulai 1 Februari 2022
Selain HET, Kemendag juga menerapkan aturan menetapkan kebijakan domestic price obligation (DPO). Lewat kebijakan itu, harga minyak sawit yang merupakan bahan baku minyak goreng tidak akan tinggi mengikuti tren internasional. Adapun harga yang ditetapkan sebesar Rp9.300/kg untuk CPO dan Rp10.300/liter untuk olein.
Di samping itu, Kemendag juga membuat kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak sawit untuk memastikan eksportir sawit memenuhi pasar dalam negeri.
Dengan kebijakan itu, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi harga migor yang telah disiapkan BPDPKS karena harga migor sudah turun sesuai HET. Alih-alih sukses, justru setelah kebijakan itu diluncurkan, migor kemasan sulit ditemukan di toko ritel modern. Masyarakat seringkali menemukan rak migor di ritel modern kosong.
Sementara di pasar tradisional, pedagang enggan menuruti aturan pemerintah karena mereka sebelumnya membeli migor di agen dengan harga lama. Jika dijual sesuai aturan Kemendag, siapa yang mau menanggung kerugian mereka?
Program Biodiesel
Carut-marut kondisi pasokan dan harga migor di dalam negeri pun menimbulkan banyak prasangka. Ada yang menilai langkanya migor di pasaran karena ulah kartel migor dan ada juga yang menilai kondisi ini terjadi tak terlepas dari program biodiesel yang diterapkan pemerintah.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Nisrina Nafisah punya penilaian. Dalam keterangan persnya, pekan lalu, dia menyebut peningkatan pangsa produksi CPO untuk bahan bakar nabati sebesar 24% dari tahun 2019 hingga 2020 — yang diikuti dengan penurunan pangsa CPO yang diolah menjadi komoditas pangan seperti minyak goreng di Indonesia — akan menyebabkan kelangkaan.
Dia merujuk pada penerapan CPO untuk program biodiesel yang terus meningkat. Kebutuhan CPO untuk produksi biodiesel terus mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan peningkatan volume biodiesel yang ditargetkan pemerintah.
Jika pada awal program tahun 2015, pemerintah menerapkan program B15 kemudian di 2016 mandatorinya dinaikkan menjadi B20 dan sejak tahun 2020 persentasenya ditingkatkan lagi menjadi B30. Peningkatan persentase mandatori biodiesel itu secara otomatis akan menyerap CPO lebih banyak lagi. Kondisi ini menyebabkan pasokan CPO untuk bahan lainnya menjadi menyusut.
Lewat blog pribadinya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri juga mensinyalir meningkatnya penggunaan CPO untuk program biodiesel menjadi salah satu penyebab terbangnya harga migor.
Dia menilai, kenaikan harga migor di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO disebabkan adanya pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng. Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.
Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menampik penilaian Nisrina dan Faisal Basri.
“Secara langsung, program biodiesel tidak ikut menaikkan harga sawit, karena di tahun 2020 juga kita sudah jalankan B30 dan biasa-biasa saja,” ujar Sahat kepada Agro Indonesia, Jumat (11/2/2022).
Menurutnya, faktor utama yang menaikkan harga CPO itu adalah terjadinya kelangkaan minyak nabati (Oils & Fats) di pasar global.
Untuk itu, dia meminta agar program biodiesel terus dilanjutkan karena dampaknya sangat positif bagi keseimbangan pasokan dan harga CPO di pasar internasional. “Hemat saya, program B30 tak perlu ditinjau karena justru akan membuat lapangan sepak bola lebih becek lagi, sehingga pertandingan usaha sawit ini semakin tak jelas,” tegasnya.
Dijelaskannya, pemakaian minyak goreng itu hanya 8,9% dari produksi CPO secara nasional. ”Tenang saja. Mengurai benang kusut ini tak perlu ribet, yang penting arahan Presiden itu bisa kita jalankan di migor domestik,” paparnya.
Pendapat serupa juga dilontarkan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung. “Tidak ada hubungannya biodiesel dengan mahalnya migor. B30 sudah berlangsung sejak akhir tahun 2019 dan faktanya sampai Oktober 2021 tak ada masalah dengan harga migor,” ujar Gulat kepada Agro Indonesia, Jumat (11/2/2022).
Menurutnya, program B30 merupakan program spektakuler pemerintah yang harus didukung karena program ini mampu menghemat devisa dari impor solar dan memperkuat konsumsi CPO di pasar domestik.
Program B30 juga mampu menjaga keseimbangan harga CPO di pasar dunia. “Sejak adanya program B30, harga tandan buah segar petani telah ‘dimanusiakan’. Sebelumnya, petani hanya merugi terus dan kalaupun untung, sangat terbatas,” ucap Gulat.
Ditegaskannya, tingginya serapan domestik CPO semakin memastikan bhawa Indonesia negara berdaulat sebagai produsen CPO terbesar dunia dan tidak bisa lagi sesuka hati diintervensi negara asing. B. Wibowo
Raksasa Penerima Insentif Biodiesel
Program biodiesel sebenarnya sudah diupayakan di Indonesia sejak awal tahun 2000-an. Namun, baru pada tahun 2015 program ini ditetapkan sebagai program mandatori alias wajib.
Kebijakan ini diterapkan pemerintah guna memangkas biaya impor solar yang terus melonjak dan menyerap lebih banyak lagi minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri, sehingga harga CPO di pasar internasional bisa stabil.
Di tahun 2015, pemerintah menerapkan program mandatori biodiesel 15% (B15), kemudian persentasenya meningkat lagi menjadi B20 di tahun 2016. Sedangkan sejak Januari 2020, program mandatorinya meningkat menjadi B30.
Biaya produksi biodiesel memang lebih mahal dibandingkan biaya produksi solar. Untuk itu, pemerintah memberikan insentif kepada produsen biodiesel di dalam negeri untuk menutupi selisih biaya biodiesel dengan solar.
Biaya insentif itu diambil dari sebagian dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sebuah lembaga yang mengelola dana pungutan ekspor produk kelapa sawit. Data BPDPKS menunjukkan setiap tahun terjadi peningkatan produksi biodiesel yang dibayarkan insentifnya.
Data BPDPKS menunjukkan, Wilmar Group sebagai penerima insentif terbesar pada tahun 2021 sebesar Rp19,3 triliun atau 37,2% dari total insentif tahun lalu sebesar Rp51,82 triliun. Angka itu diperoleh dari PT Multi Nabati Sulawesi (Rp2,131 triliun), PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Rp8,449 triliun), PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp7,097 triliun) dan PT Energi Unggul Persada (Rp1,635 triliun).
Sementara di urutan kedua adalah kelompok Musim Mas dengan tiga bendera, yakni PT Intibenua Perkasatama (Rp1,919 triliun), PT Musim Mas (Rp5,059 triliun) dan PT Sukajadi Sawit Mekar (Rp1,342 triliun). Berikutnya adalah Apical Group di bawah bendera Raja Garuda Mas alias Royal Golden Eagle Group, melalui tiga anak usahanya: PT Cemerlang Energi Perkasa/PT Sari Dumai Sejati (Rp2,725 triliun), PT Kutai Refinery Nusantara (Rp2,017 triliun), dan PT Sari Dumai Oleo (Rp174,819 miliar).
Tiga kelompok usaha lainnya yang juga banyak menerima insentif adalah Duta Palma (melalui Bayas Biofuels, Dabi Biofuels, dan Darmex Biofuels), dengan total sekitar Rp3 triliun pada 2021; Permata Hijau Group (melalui Pelita Agung Agrindustri dan Permata Hijau Palm Oleo), dengan total nilai insentif Rp4,16 triliun; dan Sinar Mas Group (melalui Sinarmas Bio Energy dan SMART) dengan insentif Rp4,129 triliun. B Wibowo