Kelangkaan pasokan minyak goreng (migor) pasca ditetapkannya harga ecera tertinggi (HET) oleh pemerintah memang aneh. Pasalnya, sebelum ada beleid itu, migor dengan harga tinggi melimpah di pasar. Ada apa? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga hal ini terjadi karena adanya kartel migor. Itu sebabnya, YLKI pun membuat petisi daring di change.org untuk mengusut dugaan tersebut.
“Upaya pemerintah dalam mengatasi kelangkaan dan melambungnya harga migor hanya sebatas pada hilir persoalan saja. Sehingga kami sangat khawatir itu tidak akan menyelesaikan persoalan,” ujar Ketua YLKI, Tulus Abadi dalam konferensi pers daring, Jumat (11/2/2022).
Melalui petisi tersebut, kata Tulus, YLKI mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mempercepat penyelidikan dugaan kartel dan persaingan usaha tidak sehat. Menurut Tulus, KPPU harus memanggil seluruh pelaku usaha yang diduga melakukan praktik kartel dan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
“Kami lihat KPPU sudah coba mengendus adanya dugaan ini, tapi belum ada trigger dan spirit yang kuat untuk membongkar dugaan praktik kartel tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Tulus memaparkan alasan pihaknya membuat petisi online tersebut, yaitu untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa kebijakan di sisi hilir yang telah dilakukan tidak tepat. Juga untuk melibatkan publik sebagai konsumen migor dalam mendorong adanya perubahan kebijakan.
“Perubahan ini tanpa melibatkan publik itu menjadi sebuah upaya yang kurang kuat, hingga petisi online itu kami lakukan untuk menciptakan kecerdasan publik dalam isu-isu publik seperti minyak goreng ini,” imbuh Tulus.
Tulus mengatakan, petisi online telah diluncurkan YLKI sejak Kamis (3/2/2022). Target petisi ditandatangani oleh 2.500 masyarakat. Saat ini sudah ada 1.969 orang yang ikut menandatangani petisi tersebut.
“Masih kurang 531 pendukung lagi. Petisi ini juga sudah dilihat oleh 3.649 pengunjung. Mereka melihat tapi tidak menandatangani. Nanti agendanya, setelah mencapai 2.500 data, hasil petisi akan dikirimkan ke Ketua KPPU RI untuk adanya pembongkaran dugaan isu kartel migor dan CPO sebagai bahan baku migor di Indonesia,” tandasnya.
Lebih lanjut, YLKI juga membuka bulan posko pengaduan masyarakat soal harga migor jika masih ditemukan yang tidak sesuai. Layanan pengaduan ini dibuka hingga 28 Februari 2022 mendatang.
“Sampai akhir Februari 2022, YLKI membuka posko pengaduan minyak goreng. Sehingga, silakan kepada masyarakat maupun konsumen yang masih menemukan adanya anomali soal minyak goreng — baik karena kelangkaan ataupun karena harganya masih tinggi — silakan melakukan pengaduan di nomor yang tersedia,” kata Tulus.
Masyarakat bisa melakukan pengaduan melalui website: www.pelayanan.ylki.or.id atau bisa telepon (021)7971378 dan (021)7981858.
Di tempat yang sama, peneliti YLKI Annis Safira Nur mengatakan, masih ditemukan ketidakmerataan harga dan akses terhadap perolehan migor bersubsidi. Hal ini kemudian memicu adanya kepanikan konsumen (panic buying). “Fenomena panic buying masih kerap terjadi, sehingga masyarakat lainnya yang membutuhkan tidak mendapatkan migor bersubsidi,” kata Annis.
YLKI melakukan survei terhadap ketersediaan migor subsidi di masyarakat. Survei dilakukan dengan mendatangi secara langsung konsumen, produsen dan penjual.
Hasil survei menunjukkan kesesuaian dengan keluhan konsumen terkait. Langkanya migor bersubsidi, di mana jumlah toko yang tersedia migor kelapa sawit subsidi hanya sebanyak 3 toko dan 1 toko dengan pilihan minyak harga subsidi dan non-subsidi yang ditemukan dari total 30 toko.
Kesimpulan wawancara dengan konsumen, semua konsumen baik dalam kalangan atas maupun menengah ke bawah mengalami dampak dari kelangkaan migor ini. “Dengan demikian, masyarakat perlu mengeluarkan uang dan tenaga lebih agar bisa mendapatkan migor sebagai kebutuhan,” kata Annis. Attiyah Rahma
Tata Kelola Tidak Siap Berakibat Fatal
Kebijakan pemerintah menerapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) sudah bagus untuk mengatasi gunjang-ganjing harga dan pasokan minyak goreng (migor) di dalam negeri. Hanya saja, akibat tata kelola yang tidak dipersiapkan dengan baik malah berdampak fatal.
“Indikatornya mudah, yakni masih langka dan mahalnya harga migor di pasar,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung kepada Agro Indonesia, Jumat (11/2/2022).
Menurut Gulat, pilihan utama untuk mengatasi kondisi saat ini adalah penggunaan dana Pungutan Ekspor (PE). Naikkan saja PE secara progresif sebagaimana yang diatur di Permenkeu Nomor 191/PMK/2020.
“Menaikkan PE secara progresif sesungguhnya adalah pilihan utama yang seharusnya dipilih oleh Kementerian Perdagangan untuk mengatasi mahalnya migor saat ini, di saat melonjaknya harga CPO global, sambil mempersiapkan perangkat lunak dan perangkat keras dari model regulasi DMO dan DPO,” ujarnya.
PE progresif, ungkapnya Gulat, prinsipnya sama dengan DMO dan DPO. Pasalnya, tujuan utamanya adalah menyediakan bahan baku migor dan kebutuhan lainnya dalam harga terjangkau. Bedanya hanya di cara kerjanya.
Dana PE ini dipakai Kemendag untuk membeli migor dari produsen atau pabrikan migor, lalu menjualnya (misalnya melalui Bulog) ke masyarakat dengan HET Rp14.000/liter. “Dan yang dibeli dengan dana PE ini adalah hanya kelompok migor kemasan sederhana dan migor curah. Tidak perlu di-PE-kan migor kelas premium,” paparnya.
Seiring berjalannya waktu, Gulat juga meminta pemerintah harus mendorong berdirinya pabrik migor UMKM di sentra-sentra perkebunan rakyat di dalam negeri.
Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menilai kebijakan DPO adalah pola yang tepat untuk menjaga harga migor di pasar dalam negeri bisa stabil dan affordable oleh masyarakat luas. “Kami dari GIMNI melihat bahwa migor produk berkualitas premium itu baiknya dibiarkan bebas sesuai mekanisme pasar. Tapi kelihatannya pemerintah punya pandangan lain,” ucapnya.
Mengenai kebijakan DMO, yang mengharuskan eksportir semua produk dari turunan sawit memasukkan dulu ke pasar lokal berupa migor sebesar 20% dari volume ekspor, Sahat menilai kebijakan ini akan berakibat munculnya beberapa masalah.
Pertama, eksportir sawit yang punya kewajiban — dan tentunya mayoritas yang terintegrasi dengan kebun sawit — untuk memasok migor ke dalam negeri bisa berakibat buah simalakama. Pasalnya, para eksportir yang tidak terbiasa memasok migor ke lokal akan kelimpungan mencari jalur pasokan ke pasar.
Kedua, lokasi eksportir sawit mayoritas di Sumatera dan Kalimantan, dan sebaliknya pasar migor terbesar itu ada di Jawa. “Kita ini adalah negara kepulauan. Jadi, perlu waktu untuk merealisasikan DMO ini,” katanya.
Akibat perlu waktu, ungkapnya, alur perjalanan sawit jadi lama, dan ini bisa menyebabkan langkanya migor di pasar domestik.
Ketiga, industri migor — yang kebanyakan di Jawa — tidak terafiliasi dengan ekspor dan tidak punya kebun, sehingga terpaksa menganggur dan sudah mulai memberhentikan aktivitas. “Ini adalah bagian dari tersendatnya pemasokan migor ke pasar,” jelasnya.
Agar kebijakan yang diterapkan pemerintah bisa berjalan lancar, selain DMO dan DPO, Sahat meminta migor curah segera dialirkan ke pasar-pasar tradisional.
Selain itu, perusahaan yang tidak punya afiliasi ekspor dan tidak punya kebun agar turut aktif membanjiri atau memasok minyak, terutama curah dan kemasan sederhana ke pasar. “Jumlahnya paling-paling sekitar 10 industri migor,” paparnya.
Cara itu dapat diterapkan dengan penunjukan non-eksportir ini untuk berpoduksi dan memasok CPO dengan harga pasar (tender KPB) dan memberikan subsidi ke produsen migor sekitar Rp6.450/kg agar mereka bisa menjual migor curah Rp11.500/liter (termasuk PPn).
“Dan penyaluran minyak ini ke pasar dilakukan oleh BUMN — RNI, Bulog dan lainnya — sehingga terkontrol semuanya sesuai tujuan,” pungkas Sahat Sinaga. B Wibowo