Brasil membuat rencana “berani” untuk mencegah deforestasi hutan di negaranya. Negeri bola ini akan menggantungkan pendanaan dari pasar keuangan global: Wall Street.
Untuk melawan perubahan iklim melalui upaya menyerap karbon dioksida dari 1 miliar hutan tropis di seluruh dunia memang tidak boleh gagal. Bahkan, Brasil kini berani bertaruh bahwa Wall Street akan ikut membantu menjaga kelestarian paru-paru dunia tersebut.
Ketika negara ini menjadi tuan rumah KTT iklim COP-30 PBB November 2025, Brasil bermaksud meluncurkan proyek pendanaan (fund) sebesar 125 miliar dolar AS dengan memanfaatkan pasar modal untuk membayar negara-negara pemilik hutan agar menjaga hutan mereka tetap berdiri. Delegasi Brasil yang terdiri dari sembilan orang baru-baru ini berada di London untuk membahas rancangan dana tersebut dengan para sponsor dan bertemu dengan bank-bank, manajer aset, dan perusahaan asuransi yang mungkin nantinya akan berpartisipasi.
Dana yang dikenal dengan nama Tropical Forest Forever Facility (TFFF) ini akan mendukung pelestarian pohon melalui imbal hasil investasi pada aset-aset pendapatan tetap yang memberikan hasil (yield) tinggi.
Gagasan ini jelas mendapat kritik tajam karena mengaitkan perlindungan hutan dengan kinerja pasar keuangan yang sulit diduga, serta risiko dana tersebut malah akan dipakai membiayai industri yang justru bertanggung jawab atas deforestasi.
Namun, para pendukung rencana ini berpendapat, mekanisme pembiayaan hutan tradisional — yang mengandalkan pasar karbon dan dana publik — sebagian besar sudah gagal. Anggaran pemerintah saat ini juga makin tertekan karena Presiden AS Donald Trump memotong dana iklim luar negeri, sementara Eropa mengalihkan miliaran euro dana pembangunannya untuk mendanai sektor pertahanan.
Oleh karena itu, fasilitas ini dirancang untuk dapat mandiri dan — jika berhasil — akan menjadi salah satu mekanisme keuangan terbesar yang pernah diajukan untuk membantu menutup kekurangan dana triliunan dolar yang diperlukan untuk menghentikan perubahan iklim dan membalikkan kerugian dramatis keanekaragaman hayati global. Selain itu, fasilitas pendanan ini juga akan membantu menulis ulang rumus yang selama ini mendorong deforestasi: Tanah menghasilkan lebih banyak uang ketika dibuka untuk pertanian, pertambangan, atau infrastruktur dibandingkan ketika menjadi hutan tropis yang lebat.
SPV Berperingkat AAA
Rencana Brasil ini dinilai “berani,” kata Razan Al Mubarak, Ketua International Union for Conservation of Nature (IUCN). “Ini adalah (slogan) ‘ayo membesar, atau pulang sajalah’ (go big, or go home).”
Untuk memulai pendanaan ini, Brasil meminta negara-negara maju menawarkan pinjaman dengan biaya rendah selama 40 tahun dan jaminan sekitar 25 miliar dolar AS. Dana tersebut akan ditempatkan dalam sebuah kendaraan bertujuan khusus (SPV) yang didirikan oleh bank pembangunan multilateral dan dipinjamkan empat kali lipat (leverege) menjadi sekitar $100 miliar dari sebagian besar investor institusional. Brasil menargetkan peringkat kredit triple-A untuk SPV ini, sehingga memungkinkan untuk dapat pinjaman dengan bunga rendah — dengan target rata-rata di bawah 5% — kata Luiza Sidonio, manajer proyek di Kementerian Keuangan Brasil, kepada Bloomberg di London.
Belum ada negara yang berkomitmen untuk memberikan dananya. Tapi Inggris, Norwegia, Jerman, Prancis, Uni Emirat Arab, dan, hingga baru-baru ini AS, semuanya sudah terlibat dalam merancang TFFF, kata Sidonio. Dia berharap dana akan mulai mengalir dalam beberapa bulan mendatang.
Dana sebesar 125 miliar dolar AS nantinya akan diinvestasikan dalam portofolio yang terdiversifikasi, sebagian besar dalam obligasi pemerintah dan korporasi di emerging market, dengan target hasil sekitar 7,6%, kata Sidonio. Selisih antara biaya pinjaman dana dan hasil investasinya diharapkan dapat menghasilkan cuan hingga 4 miliar dolar AS/tahun — angka yang dinilai cukup untuk membayar negara-negara sebesar 4 dolar AS/ha atas setiap hutan tropis yang mereka lindungi setiap tahunnya, ujar Sidonio. Sekitar 70 negara dengan hutan tropis dapat mengajukan permohonan untuk mengakses dana tersebut.
Jika berhasil, kata Sidonio, maka TFFF akan “mendefinisikan ulang” hubungan tradisional di level global, di mana negara-negara kaya menyumbangkan uang kepada negara miskin untuk mengambil tindakan lingkungan. Ini adalah kondisi “win-win untuk semua pihak, yang tidak bergantung pada hibah,” ujarnya.
Negara-negara pemilik hutan tropis juga bisa membelanjakan dana itu sesuai keinginan mereka, asalkan untuk program konservasi hutan publik dan mereka mengalokasikan setidaknya sepertiga dari dana tersebut untuk mendukung masyarakat adat.
“Mereka tidak membutuhkan Big Brother (alias sang tuan),” kata Garo Batmanian, kepala layanan hutan Brasil dan salah satu arsitek TFFF.
Namun, untuk menerima pembayaran, suatu negara harus memiliki tingkat deforestasi tahunan kurang dari 0,5%. Selain itu ada potongan (diskon) pada total dana yang diterima negara tersebut, senilai hingga 800 dolar AS/ha terhadap setiap hutan yang dihancurkan atau terdegradasi, yang akan dipantau menggunakan satelit dengan bantuan badan antariksa Brasil.
Skeptisme
Bagi negara seperti Brasil, yang memiliki hutan tropis seluas sekitar 330 juta ha — di mana setiap tahun tercatat sekitar 1 juta ha hutan musnah — dana tersebut bisa menghasilkan pembayaran tahunan sekitar 860 juta dolar AS. Angka itu jelas lebih besar daripada anggaran tahunan Kementerian Lingkungan Brasil.
TFFF sendiri dirancang untuk menyingkirkan tantangan tambahan, yakni sebuah uji coba apakah hutan akan tetap dilindungi walau tanpa adanya pembayaran, kata Sidonio. Secara teoritis, itu adalah hambatan yang harus dilewati proyek-proyek agar dapat menerima pembiayaan dari kredit karbon guna membenarkan penggunaannya dalam offset emisi. Dan hal itu telah menciptakan insentif yang keliru dan hanya menguntungkan negara-negara dengan sejarah deforestasi. Perhitungan ini juga didasarkan pada skenario hipotetis yang terbuka untuk manipulasi — dan akhirnya menghancurkan pasar karbon.
Kenneth Lay, yang menjabat sebagai bendahara Bank Dunia saat itu, pertama kali mencetuskan gagasan dana investasi (inventment fund) untuk melindungi hutan 16 tahun lalu. Rencana awalnya dulu mirip dengan “dana kekayaan negara multilateral (multilateral sovereign wealth fund),” katanya dalam sebuah wawancara. Negara-negara pemilik hutan akan menerima laporan tahunan mengenai nilai bagi hasil mereka yang bisa dikreditkan untuk kebutuhan anggaran lainnya. Tapi uang itu akan tetap diinvestasikan dalam dana tersebut. Sejak saat itu, model ini telah berubah “secara material”, di mana pendanaan pasar modal dan pembayaran tahunan menjadi dua perubahan signifikan, tandas Lay.
Namun, TFFF bukan tanpa sikap skeptis sama sekali. Frederic Hache, direktur eksekutif Green Finance Observatory dan pengajar keuangan berkelanjutan di Universitas Sciences Po mengatakan, model dana ini pada akhirnya adalah “taruhan yang diperbesar” pada pertumbuhan ekonomi masa depan, suku bunga, dan keterampilan manajer dana Wall Street.
Dia juga mempertanyakan bagaimana dana 125 miliar dolar AS ini akan menghasilkan return yang ditargetkan dan terdiversifikasi, sambil menghindari berbagai sekuritas yang akhirnya mendorong deforestasi.
Menurut Sidonio, TFFF akan mengeluarkan sektor-sektor tertentu dari portofolio investasinya, seperti batubara dan gambut. Untuk obligasi emerging market, “kami berpandangan untuk memiliki daftar pengecualian yang lebih luas yang juga terkait dengan deforestasi.”
Untuk sebagian kecil dana yang diinvestasikan di pasar negara maju, rencananya adalah fokus pada obligasi hijau atau yang berfokus pada keberlanjutan, katanya. Seiring berjalannya waktu, dana ini akan beralih ke proporsi instrumen hijau yang lebih besar seiring pertumbuhan pasar tersebut. “Kita harus berjuang satu per satu,” ujarnya.
“Akan ada lapisan etika, tetapi kami tidak akan mengorbankan return,” kata Christopher Egerton-Warburton, mantan bankir Goldman Sachs yang mendirikan Lion’s Head Global Partners, sebuah firma penasihat yang membantu merancang TFFF.
Bagi Avinash Persaud, penasihat khusus Kepala Bank Pembangunan Inter-Amerika, keuangan iklim membutuhkan ide-ide besar yang baru. Brasil sudah “benar untuk mengembangkan alat pembiayaan” guna melindungi hutan yang masih ada, kata Persaud, yang merupakan arsitek Inisiatif Bridgetown untuk reformasi keuangan internasional.
Kekhawatiran Persaud adalah: sejarah menunjukkan bahwa tidak mungkin mencapai skala yang diperlukan untuk menggapai tujuannya. “Ini tergantung pada adanya investor inti untuk memulai pendanaan tersebut,” paparnya.
“Ketika kami meminta modal seperti itu hari ini, kami tidak dapat banyak: Ini bukan sesuatu yang langsung berhasil, memang.” AI