Tarif Perang Dagang Trump Gunakan Formula “Memalukan”

* Para ekonom mengkritik cara pemerintahan Trump dalam menghitung pajak atas impor dari luar negeri

Presiden Donald Trump mengumuman tarif resiprok kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia. Foto: Reuters

Presiden Donald Trump mengatakan pada hari Rabu (2/4) bahwa pajak baru yang sangat tinggi atas barang impor akan bersifat resiprok alias “timbal-balik,” yang berarti sebagai pembalasan terhadap tarif yang dikenakan negara lain pada ekspor AS.

Namun, tarif timbal-balik ini ternyata tidak didasarkan pada tarif yang sebenarnya dikenakan oleh negara lain. Sebaliknya, tarif ini didasarkan pada formula yang dibuat oleh Gedung Putih — dan formula ini banyak dicemooh para ahli.

Douglas Holtz-Eakin, seorang ekonom konservatif dari American Action Forum dan mantan direktur Kantor Anggaran Kongres menyebutnya sebagai “malpraktik”. Ini responsnya terhadap komentar seorang ekonom konservatif lain yang menyebut kebijakan Trump “memalukan.”

Formula penghitungan — yang menghasilkan tarif yang sangat berbeda untuk berbagai negara asing, termasuk beberapa pulau tak berpenghuni — pertama kali mendapatkan perhatian luas berkat analisis dari seorang pengguna media sosial anonim yang menghitung tarif berdasarkan surplus perdagangan negara-negara tersebut dengan AS, yang kemudian dibagi dengan ekspor mereka. Wartawan James Surowiecki juga memperhatikan korelasi tersebut.

“Mereka sebenarnya tidak menghitung tarif + hambatan non-tarif, seperti yang mereka katakan,” tulis Surowiecki. “Sebaliknya, untuk setiap negara, mereka hanya mengambil defisit perdagangan kita dengan negara tersebut dan membaginya dengan ekspor negara tersebut ke kita.”

Dengan kata lain, tarif yang seharusnya timbal balik, yang dimaksudkan untuk melawan hambatan asing yang sewenang-wenang terhadap barang-barang AS, justru didasarkan pada formula yang sewenang-wenang pula.

Dalam sebuah respons di X (situs web yang sebelumnya dikenal Twitter), juru bicara Gedung Putih, Kush Desai menyebut analisis tersebut “salah” dan merujuk pada penjelasan yang lebih rinci tentang formula tersebut dari Perwakilan Perdagangan AS — yang mengklaim bahwa “kebijakan non-tarif” negara lain menyebabkan mereka menjual lebih banyak barang ke AS dibandingkan barang yang kita jual kembali kepada mereka.

“Jika defisit perdagangan terus berlanjut karena kebijakan tarif dan non-tarif serta faktor-faktor dasar (fundamental), maka tarif yang konsisten untuk mengimbangi kebijakan dan faktor-faktor fundamental ini adalah timbal balik (resiprok) dan adil,” kata USTR di situs webnya, yang mencakup persamaan matematika yang tampaknya lebih rumit dan beberapa sitasi (kutipan) akademis.

Alan Cole, seorang ekonom dari Tax Foundation mengaku curiga Desai tidak benar-benar memahami persamaan tersebut.

“Jadi mereka berpikir, ‘Ini lebih rumit dan terlihat lebih pintar dari itu. Ada lebih banyak huruf Yunani yang fancy. Tidak mungkin ini hanya pembagian yang sangat sederhana,’” kata Cole kepada HuffPost. “Setelah dihapus, itu adalah formula yang sama.”

Namun, Trump sudah lama mengklaim defisit perdagangan itu buruk secara inheren, dan formula ini bisa dikatakan mencerminkan pandangan sama-sama nol (zero-sum) tentang perdagangan global, di mana konsumen AS dirugikan jika mereka menghabiskan lebih banyak untuk produk impor dibandingkan dengan pengeluaran negara asing untuk barang-barang buatan AS.

“Negara kita telah dirampok, dijarah, diperkosa, dan dipilin oleh negara-negara dekat maupun jauh, baik teman maupun musuh,” kata Trump pada Rabu (2/4).

Kesalahan ekonomi terbesar

Trump sudah berkoar menggunakan tarif sebagai alat tekan terhadap Kanada, Meksiko, dan China agar mereka menghentikan aliran fentanyl ke AS, dan dia menegaskan AS akan lebih baik jika orang Amerika yang membuat lebih banyak produk mereka sendiri. Dia juga mengatakan tarif harus menjadi sumber pendapatan yang lebih besar bagi pemerintah AS.

“Ketika nasib ekonomi dunia dipertaruhkan, kebodohan jahat dalam proses kebijakan ini bisa dibilang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri”

Cole mencatat, AS membeli banyak barang konsumen yang dibuat lebih murah di negara lain dan bahwa dolar yang keluar sering kali diinvestasikan kembali ke perusahaan-perusahaan dan utang pemerintah AS, alih-alih hanya disimpan oleh orang asing. Dia mempertanyakan kebijakan yang mencoba mengubah tatanan global dengan membuat orang Amerika harus membeli pakaian dan elektronik yang lebih mahal yang dibuat di Indonesia, misalnya.

“AS adalah pusat bagi segala jenis investasi, dan orang-orang menyukai aset keuangan kita, dan mereka harus memberi kita barang sebagai imbalannya, dan itulah cara dunia telah bekerja selama ini, dan itulah sebabnya kita mengalami defisit perdagangan,” katanya. “Mengapa orang Amerika harus menjahit kemeja, misalnya? Sebagian besar tarif ini didasarkan pada ketidakseimbangan perdagangan bilateral dengan Asia Tenggara, di mana mereka ahli membuat tekstil.”

Karena tarif dibayar oleh importir AS — yang dapat menaikkan harga guna mengembalikan seluruh atau sebagian biaya tarif —  pengumuman “Hari Pembebasan” Trump minggu ini bisa jadi setara dengan kenaikan pajak terbesar pada konsumen AS dalam beberapa dekade. Pada saat yang sama, para ekonom telah mengatakan bahwa tarif ini bisa meningkatkan inflasi harga dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, bahkan mungkin membalikkan arah dan memicu resesi.

“Ini pasti menjadi salah satu kesalahan kebijakan ekonomi terbesar yang tidak terpaksa dalam sejarah AS,” tulis David Beckworth, ekonom di Mercatus Center, sebuah think tank yang cenderung kanan.

Ekonom liberal peraih Nobel, Paul Krugman, menyebut kekasaran formula tarif “timbal-balik” ini sebagai sesuatu yang mengejutkan.

“Ketika nasib ekonomi dunia dipertaruhkan, kebodohan jahat dalam proses kebijakan ini bisa dibilang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri,” tulis Krugman. “Bagaimana bisa siapa pun, baik itu pebisnis atau pemerintah asing, mempercayai apapun yang keluar dari pemerintahan yang berperilaku seperti ini?”

Penjelasan lain untuk tarif ini adalah bahwa Trump hanya menggunakan kekuasaan yang telah diberikan oleh Kongres kepada Gedung Putih dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

“Tarif adalah alat yang disukai presiden karena itu kekuasaan pribadi,” kata anggota Kongres kubu Republiken, Ryan Zinke, yang pernah menjabat sebagai sekretaris dalam pemerintahan Trump pertama, kepada HuffPost. “Ini pribadi — dia tidak perlu melalui Kongres. Dia bisa menggunakan kekuasaan pribadi.” AI