Singapura boleh jadi bersorak menyambut putusan Komisi Informasi Pusat (KIP), Senin (24/10/2016). Pasalnya berdasarkan putusan sengketa informasi dengan nomor registrasi 056/XI/KIP-PS-A/2015, peta kehutanan berformat shapefile (SHP) dinyatakan terbuka untuk publik. Pemohon dalam sengketa informasi tersebut adalah Greenpeace Indonesia.
Ini berarti peluang Singapura untuk memperoleh peta yang berisi jeroan informasi kehutanan Indonesia makin terbuka. Lewat jalur resmi diplomasi, Singapura selalu gigit jari. Maklum, ini soal kedaulatan negeri.
Langkah Singapura mengorek informasi detil kehutanan Indonesia berbekal undang-undang ekstra teritorial yang bisa menembus wilayah administrasi negara lain, Transboundary Haze Pollution Act (THPA). April tahun ini, Singapura sempat beraksi dengan menahan dan melakukan penyelidikan terhadap satu orang direksi perusahaan asal Indonesia, karena perusahaannya yang berlokasi di Sumatera menyebabkan polusi asap di wilayah Singapura. Pemerintah Indonesia bereaksi keras, dan menyebut langkah Singapura tidak menghormati Indonesia.
Putusan KIP yang memberi konsekuensi besar itu diputuskan oleh Majelis Komisioner (MK) yang dipimpin oleh Dyah Aryani. Dalam amar putusannya, MK KIP menyatakan informasi dalam format shapefile yang dimohon Greenpeace adalah informasi yang terbuka untuk publik. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan — sebagai termohon dalam sengketa informasi tersebut — diperintahkan untuk menyerahkan enam informasi terkait peta kehutanan dalam format shapefile.
Peta tersebut adalah Peta Tutupan Lahan Indonesia tahun 2012, Peta Tutupan Lahan Indonesia tahun 2013, Izin dan lampiran peta konsesi Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI) berdasarkan SK.2382/Menhut-VI/BRPUK/2015, izin dan lampiran peta konsesi IUPHHK hutan alam (HPH) berdasarkan SK.2382/Menhut-VI/BRPUK/2015, izin dan lampiran peta pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit, dan izin dan lampiran peta pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan.
Selain enam informasi peta tersebut, informasi yang juga diputuskan terbuka untuk publik oleh MK KIP adalah laporan hasil produksi Provinsi Sumber Daya Hutan dan Dan Reboisasi (PSDH DR) tahun 2000-2015.
Meski demikian, salah satu dari tiga anggota MK KIP, yaitu John Fresly menyampaikan pendapat yang berbeda (Dissenting Opinion) terhadap putusan MK. Ini tak lepas dari putusan KIP sebelumnya dengan Pemohon yang berbeda yang memutuskan informasi peta berformat shapefile dinyatakan tertutup.
Klaim kemenangan
Sebagai Pemohon, Greenpeace menyambut dengan girang putusan KIP. Menurut Greenpeace, ini merupakan kemenangan bagi hutan dan publik. Greenpeace mengklaim, jika keputusan ini dilaksanakan oleh Kementerian LHK, maka masyarakat akan memperoleh akses terhadap peta dan data geospasial yang dibutuhkan untuk mencegah kebakaran dan melindungi hutan.
“Ini adalah kabar gembira bagi keterbukaan, perlindungan hutan dan jutaan penduduk yang terpapar kabut asap beracun dari kebakaran hutan setiap tahun. Membuka informasi seluasnya sudah seharusnya dilakukan Presiden Joko Widodo dalam memenuhi janjinya untuk menjalankan pemerintahan yang bersih, tepat dua tahun lalu,” kata Kiki Taufik, yang mewakili Greenpeace sebagai Pemohon pada sengketa tersebut.
Dia melanjutkan, keterbukaan data shapefile akan mempermudah Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan janji yang dideklarasikan pada konferensi perubahan iklim COP21 di Paris tahun lalu. Di hadapan masyarakat internasional, Jokowi berjanji menurunkan emisi Indonesia dengan cara menerapkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), yang hingga saat ini belum terlihat kemajuannya.
“Bulan ini tepat dua tahun Presiden Jokowi diambil sumpah untuk menjalankan Nawacita. Keputusan KIP ini menjadi kesempatan baik bagi Presiden Jokowi untuk kembali mempertegas komitmennya membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, mereformasi sistem dan menegakkan hukum yang bebas korupsi,” ujar Kiki.
Menurut Kiki, ketertutupan informasi, data dan peta tentang bagaimana hutan Indonesia dikelola telah berpotensi menjadi sarang korupsi. Dia menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkap potensi kerugian negara akibat pelepasan kawasan hutan di tujuh provinsi di Indonesia mencapai Rp273 triliun.
Ketidakjelasan kepemilikan lahan dan hutan juga telah menimbulkan tindakan kekerasan saat pemerintah berupaya menegakkan hukum. Kiki mencontohkan kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, di mana tujuh penegak hukum dari Kementerian LHK disandera oleh beberapa orang hingga 10 jam di sebuah konsesi kelapa sawit — yang ribuan hektare lahannya terbakar.
“Keterbukaan data dalam format shapefile ini juga bisa membantu mencegah potensi korupsi dalam hal perizinan di sektor kehutanan yang ditengarai KPK mencapai puluhan miliar rupiah per izin per tahun. Keterbukaan ini jelas langkah besar memberantas korupsi,” ujar Kiki.
Dia berharap, Kementerian LHK tidak mengajukan banding atas putusan KIP. “Demi perbaikan tata kelola kehutanan dan menyelamatkan keanekaragaman hayati serta puluhan juta warga negara, Kementerian LHK harus menjalankan apa yang diputuskan KIP,” katanya. Sugiharto
Terbuka, tapi Bukan Telanjang
Banding. Itulah langkah yang didukung oleh guru besar IPB bidang perlindungan hutan Profesor Bambang Hero Saharjo kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas putusan KIP terkait peta kehutanan berformat shapefile.
Bambang yang selalu bersaksi melawan korporasi pada kasus-kasus kebakaran hutan dan pembalakan liar menyatakan, terlalu berisiko jika membuka secara telanjang peta kehutanan berformat shapefile. “Kalau sampai telanjang bisa menjadi masalah bangsa, jadi malapetaka,” katanya ketika ditemui di Jakarta, Jumat (28/20/2016).
Dia menegaskan, Kementerian LHK harus mengambil langkah banding atas putusan KIP. Langkah itu bukan berarti Kementerian LHK tidak memberi ruang soal transparansi informasi publik. Namun, untuk menjaga agar tidak ada informasi terkait kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang semestinya dilindungi jatuh ke pihak luar.
Dia merujuk pada aksi Singapura yang mengejar data kehutanan Indonesia saat bencana kebakaran hutan dan lahan merebak beberapa waktu lalu. Indonesia kala itu bertahan untuk tidak menyerahkan data yang diminta, dan memang sudah semestinya kebijakan itu yang ditetapkan.
Untuk diketahui, Greenpeace mengajukan sengketa informasi ini pada 7 September 2015. Sementara sidang sengketa baru dimulai pada 18 Juni 2016. Meski waktunya bersamaan dengan aksi Singapura yang mengejar informasi kehutanan Indonesia, Bambang enggan mengaitkan hubungan antara langkah Greenpeace dan Singapura.
Peta berformat shapefile perlu dijaga karena menginformasikan secara detil kondisi di lapangan. Bukan cuma batas kawasan hutan, tapi juga tutupan vegetasi hutan. Pada kawasan hutan yang dibebani konsesi, peta itu juga menyajikan hingga ke blok pengelolaan hutan, bahkan jarak antarblok.
Bambang menyatakan, keterbukaan memang perlu diusung oleh Kementerian LHK. Hanya saja, sampai tataran tertentu keterbukaan informasi itu mesti dibatasi. “Bukan berarti Kementerian LHK tidak transparan. Tapi ada batasan tertentu yang harus dijaga,” katanya.
Bambang menilai, peta dalam format JPEG atau PDF sudah cukup bagi pihak luar untuk membantu melakukan pemantauan kawasan hutan Indonesia. Dari peta berformat JPEG dan PDF itu sudah terinformasikan batas-batas kawasan hutan dan izin yang ada. Bambang mengaku, saat dirinya melakukan tugas pemantauan hutan, dia juga menggunakan basis peta berformat JPEG atau PDF.
Dia mengingatkan, jika informasi diumbar, maka bukan hanya data konsesi yang terekspos, tapi juga seluruh kawasan hutan di Indonesia. Sugiharto