Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan banding atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait sengketa informasi dengan Greenpeace. Bila perlu, banding bahkan akan dilakukan hingga tingkat kasasi.
Menteri LHK Siti Nurbaya menyatakan banding atas putusan KIP. Selain bagian dari prosedur dalam proses sengketa informasi, langkah banding juga merupakan bentuk dari peran Pemerintah sebagai simpul dari berbagai kepentingan. “Kami banding, itu prosedur yang harus dilalui,” kata Menteri Nurbaya di Jakarta, Rabu (26/10/2016).
Menteri menegaskan, peran pemerintah sebagai simpul dari berbagai kepentingan termasuk LSM, pemerintah daerah, maupun dunia usaha. Dia juga meminta agar jangan ada kecurigaan apapun atas langkah banding yang diambil Kementerian LHK.
Menteri Nurbaya juga menepis jika langkah banding adalah cermin tertutupnya akses di Kementerian LHK atas informasi publik. Dia menegaskan, sudah sangat terbuka lebih dari sekadar informasi publik. “Selama ini apa yang tidak terbuka? Jangankan informasi, orangnya saja pada masuk ke dalam Kementerian LHK, bahkan sampai ke pengambilan keputusan,” katanya.
Sementara itu Kepala Biro Humas Kementerian LHK, Novrizal Tahar mengungkapkan, pihaknya sudah menerima salinan resmi putusan KIP atas sengketa informasi dengan Greenpeace. “Sedang kami siapkan memori bandingnya, dan segera kami daftarkan ke PTUN,” katanya.
Ditanya apa langkah yang akan diambil jika dalam persidangan di PTUN, Kementerian LHK kembali dikalahkan, Novrizal menyatakan pihaknya akan mengajukan kasasi. “Sesuai prosedur, kami akan ajukan kasasi,” katnya.
Novrizal menjelaskan mengapa Kementerian LHK berkukuh untuk tidak membuka peta berformat shapefile. Menurut dia, peta berformat shapefile adalah informasi yang dikecualikan sesuai pasal 2 ayat 2 UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Alasannya, belum ada teknologi yang bisa mengamankan peta berformat shapefile. Padahal, peta format ini bisa diubah dan tidak tidak terdeteksi perubahannya. Hal ini membuatnya rawan disalahgunakan.
Alasan lain adalah data informasi pada peta kehutanan terkait titik dan garis batas memiliki implikasi hukum. Ini membuat peta kehutaanan harus mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang. Masalahnya, hingga kini belum ada teknologi yang bisa memberikan tanda pengesahan, berupa tanda tangan digital, pada peta berformat shapefile.
Menurut Novrizal, peta informasi geospasial tematik dalam format shapefile yang ada di Kementerian LHK sesungguhnya diatur dalam pasal 46, pasal 62, dan pasal 68 UU No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. UU tersebut adalah ketentuan yang lebih khusus (lex spesialis) dan lebih baru (lex posterior) terkait informasi geospasial ketimbang UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ketentuan tersebut melarang penyebarluasan informasi geospasial yang belum disahkan.
Jika melanggar ketentuan tersebut, Kementerian LHK ataupun pihak lain yang menyebarkan peta informasi geospasial yang belum disahkan terancam denda hingga Rp500 juta atau penjara selama 2 tahun. Ancaman denda naik hingga Rp750 juta dan penjara menjadi 3 tahun jika pelanggaran itu menyebabkan kerugian bagi orang lain atau barang.
Novrizal menyatakan, Kementerian LHK sejatinya menyediakan informasi yang memang bersifat terbuka. Format peta yang disediakan pun beragam, baik hard copy, PDF, maupun JPEG. Informasi tersebut juga disediakan dan bisa diakses melalui situs Kementerian LHK, maupun melalui perangkat lunat GIS Desktop/Client. Data dan informasi yang ada di dalam situs tersebut adalah data dan informasi yang telah mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang.
Argumen Kementerian LHK setidaknya disetujui oleh salah satu anggota Majelis Komisioner KIP, John Fresly. Dia menyampaikan pendapat yang berbeda (Dissenting Opinion) terhadap putusan MK.
Menurut John, informasi berformat shapefile tertutup karena belum ada teknologi yan mengamankannya. Meski demikian, dia menyatakan sifat tertutup itu hanya berlaku sampai ada teknologi yang bisa mengamankan format shapefile.
John juga menyatakan, adalah kewenangan Kementerian LHK untuk menjaga agar format shapefile tidak disalahgunakan jika diberikan kepada publik. Ini dikarenakan informasi dalam format shapefile masih berupa raw material. Apalagi, sesungguhnya ada informasi sama yang diberikan Kementerian LHK bentuk format JPG dan PDF. Ini berarti Kementerian LHK sudah membuka informasi publiknya.
Risiko
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyatakan mengumbar informasi berformat shapefile sangat berisiko membikin kusut persoalan peta kehutanan. Pasalnya, saat ini belum ada keseragaman peta dasar yang bisa menimbulkan tafsir berbeda dengan konsekuensi hukum.
“Problemnya sekarang adalah peta dasarnya beragam. Proses one map policy belum selesai,” katanya.
Karena perbedaan peta tersebut, di lapangan bisa ditemukan sebuah perusahan yang bekerja dengan benar berdasarkan satu peta, namun salah berdasarkan peta yang lain. Itu sebabnya, Purwadi mendorong agar proses one map policy bisa segera dituntaskan.
Di sisi lain, dia juga berharap kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK untuk mengatur informasi mana saja yang bisa dikeluarkan ke publik dan mana yang tidak. Purwadi juga berharap, informasi yang bisa mempengaruhi persaingan usaha dikecualikan dari informasi yang bersifat terbuka. Sugiharto
KIP Pernah Tolak Permintaan ‘Shapefile’
Setidaknya tiga kali sengketa informasi pernah dijalani Kementerian LHK. Selain sengketa dengan Greenpeace, kekalahan juga dialami Kementerian LHK saat sengketa informasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI).
Mei 2015, Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan dokumen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan industri pengolahan kayu, yaitu RKUPHHK-Hutan Alam, RKUPHHK-Hutan Tanaman Industri (HTI), RKTUPHHK-HTI, Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Industri (RPPBBI), adalah informasi publik yang bersifat terbuka.
Atas putusan tersebut, Kementerian LHK mengajukan banding. Argumen yang diajukan informasi yang dituntut FWI bersifat rahasia perusahaan dalam dokumen kehutanan yang memang ditutup dari akses publik karena terkait persaingan usaha.
Namun, sidang banding di PTUN kembali memutuskan bahwa data dokumen IUPHHK HPH dan HTI, RPBBI di atas 6.000 m3 per tahun; izin IPHHK diatas 6000 m3 per tahun, IPK, dan IPKH bersifat terbuka.
Namun, PTUN juga memutuskan RKU pada hutan alam bersifat terbuka kecuali bagian yang memuat informasi sistem silvikultur, penggunaan dan penjualan, dan analisis informasi. RKU pada hutan tanaman bersifat terbuka kecuali BAB IV bagian silvikultur, aspek prasyarat, kelestarian fungsi produksi, Bab IV bagian Perhitungan Biaya Pembangunan Hutan Tanaman pada IUPHHK-HT bersifat tertutup.
Sengketa informasi lain yang juga pernah dijalani Kementerian LHK adalah saat menghadapi tuntutan Citra Hartati, peneliti Indonesian Center of Environmental Law (ICEL). Citra meminta informasi peta analisis satelit tutupan hutan di Aceh 2010-2013 beserta seluruh dokumen SK Menhut tentang Penetapan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT.
KIP, Februari 2015, memang mengabulkan permohonan Citra, namun terkait permintaan peta berformat shapefile ditolak. Peta yang dinyatakan terbuka hanya berformat JPEG dan PDF.
Putusan ini diambil oleh MK KIP yang dipimpin oleh John Fresly. Ini pula sepertinya yang menjadi dasar Fresly menyatakan dissenting opinion pada sengketa informasi antara Kementerian LHK dengan Greenpeace. Sugiharto