Masa depan 531 perusahaan kehutanan dan perkebunan menghadapi ketidakjelasan menyusul pemetaan Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) yang dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG). Pasalnya, BRG menetapkan konsesi perusahaan tersebut masuk ke dalam prioritas restorasi pada tahun 2016-2020. Bahkan, sebagian konsesi langsung ditetapkan untuk dimoratorium — yang berarti tak boleh disentuh sama sekali.
Berdasarkan analisis BRG, dari 22,4 juta hektare (ha) KHG, terdapat 15,9 juta ha lahan yang berupa gambut. Sisanya adalah lahan mineral. Dari luas lahan gambut tersebut, seluas 11,8 juta ha merupakan kawasan budidaya. “Seluas 2,3 juta hektare diprioritaskan untuk direstorasi. Sementara 4,4 juta hektare kami usulkan untuk dimoratorium,” kata Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRG, Budi S Wardhana di Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Analisis peta dibuat berdasarkan peta-peta dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Informasi Geospasial, Kementerian Pertanian, dan perusahaan pemegang konsesi. Peta itu ditumpangkan (overlay) dengan data kebakaran, data konsesi, data citra indikasi kanal, dan data pendukung lainnya.
Total areal yang diprioritaskan untuk direstorasi sesungguhnya mencapai 2,67 juta ha. Namun, ada 339.000 ha atau 13% yang berada di kawasan lindung. Budi menegaskan, sebanyak 531 perusahan kehutanan dan perkebunan beroperasi di areal gambut yang akan direstorasi. “Terbanyak adalah perusahaan perkebunan,” katanya.
Budi mengungkap beberapa perusahaan yang konsesinya harus direstorasi dan dimoratorium paling luas. PT Bumi Andalas Permai, misalnya. Dari luas konsesi 193.000 ha, seluas 91.500 ha harus direstorasi. Sementara PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), dari konsesi seluas 312.000 ha, lahan yang mesti direstorasi mencapai 27.000 ha dan 53.000 ha lainnya harus dimoratorium. Ada juga PT Bumi Mekar Hijau yang konsesinya seluas 254.202 ha dengan 191.702 ha diantaranya adalah lahan gambut dalam.
Perusahaan kehutanan yang direstorasi tak melulu perusahan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sebanyak 15 pemegang izin usaha pemanfatan hasil hutan kayu (IUPHHK) Hutan Alam atau yang populer dengan sebutan HPH, juga dipaksa untuk merestorasi dan moratorium. Bahkan, perusahaan sekelas PT Diamond Raya Timber, yang punya catatan bagus soal pengelolaan hutan dan menyandang sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) pun tak luput dari arahan BRG.
Analisis BRG juga menemukan adanya areal kawasan budidaya dengan izin yang tumpang tindih seluas hampir 25.000 ha. Selain itu, terdapat 1,1 juta ha areal bergambut di kawasan budidaya yang belum ada izin yang sah, belum teridentifikasi, dan/atau lahan masyarakat.
Dalam kaitan restorasi, kata Budi, nantinya pemerintah akan melakukan rezonasi. Sebagian kawasan budidaya akan dijadikan kawasan lindung. “Kami memperkirakan pengalihan fungsi lahan gambut budidaya ke fungsi lindung berkisar pada angka 800.000-an hektare,” katanya.
Dari keseluruhan lahan gambut yang masuk prioritas direstorasi, yang terluas ada di Provinsi Riau dengan luas 939.000 ha. Selanjutnya berturut-turut terdapat di Kalimantan Tengah (683.000 ha), Sumatera Selatan (446.000 ha), Kalimantan Barat (324.000 ha), Jambi (137.000 ha), Papua (82.000 ha), dan Kalimantan Selatan (69.000 ha).
Verifikasi
Kepala BRG Nazir Foead menjelaskan, pihaknya akan melakukan verifikasi kepada perusahaan pemegang konsesi setelah peta restorasi gambut rampung dibuat. Dia menargetkan proses tersebut selesai dalam 1-2 pekan ke depan.
“Kami juga akan bicara dengan asosiasi pengusaha terkait. Data yang sudah kami susun akan dicocokan dengan data perusahaan,” katanya.
Nazir meyakinkan, pihaknya terbuka akan semua masukan dari kalangan pelaku usaha, baik Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) maupun Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. “Data kami juga terbuka untuk dikoreksi,” katanya.
Namun, jika perusahaan tidak memberikan data secara transparan, maka BRG akan tetap bekerja mengacu pada data yang sudah ada. Dia mengatakan, agenda restorasi harus mengacu pada desain besar KHG.
Dia menjelaskan, langkah lainnya dalam melanjutkan agenda restorasi gambut yakni memetakan ulang 438 KHG serta melakukan zonasi dan rezonasi fungsi budidaya dan lindung. BRG juga melakukan pembasahan gambut dengan membangun berbagai konstruksi sekat kanal, menimbun kanal atau membangun sumur bor untuk pencegahan kebakaran gambut.
Dilakukan pula penataan ulang pengelolaan lahan gambut terbakar, melakukan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur restorasi gambut di lahan konsesi, melakukan edukasi, sosialisasi dan kemitraan dengan Program Desa Peduli Gambut.
Koordinasi intensif juga akan terus dibangun dengan KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional serta pemerintah di tujuh provinsi, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Papua. Sugiharto