Di tengah merosotnya kinerja ekspor nonmigas, eksistensi dua primadona ekspor nasional, CPO dan kertas, malah terancam di hulu. Dengan dalih restorasi lahan gambut, konsesi ratusan perusahaan kehutanan dan perkebunan siap-siap menghadapi ancaman restorasi bahkan moratorium yang akan dilakukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Ancaman terhadap dua komoditas unggulan ekspor Indonesia, pulp dan kertas serta minyak sawit (CPO), kini tak hanya datang dari LSM asing, lewat kampanye hitam dan seruan boikot pembelian. Pukulan mematikan justru bisa datang dari dalam rumah sendiri, yang kebetulan dilakukan oleh pengurusnya: Badan Restorasi Gambut (BRG).
Tercatat 531 perusahaan pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan masuk dalam Kawasan Hirologis Gambut (KHG) yang dipetakan BRG dan masuk dalam prioritas restorasi 2016-2020. “Seluas 2,3 juta hektare diprioritaskan untuk direstorasi. Sementara 4,4 juta hektare kami usulkan untuk dimoratorium,” kata Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRG, Budi S Wardhana di Jakarta, Kamis (9/6/2016). Nah, sebanyak 531 perusahan kehutanan dan perkebunan, kata Budi, beroperasi di areal gambut yang akan direstorasi tadi. “Terbanyak adalah perusahaan perkebunan,” katanya.
Yang mengejutkan, terkait restorasi tadi, pemerintah akan melakukan zonasi ulang (rezonasi). Sebagian kawasan budidaya akan dijadikan kawasan lindung. “Kami memperkirakan pengalihan fungsi lahan gambut budidaya ke fungsi lindung berkisar pada angka 800.000-an hektare,” katanya.
Pengusaha pun pasang kuda-kuda. BRG diminta tidak merugikan kepentingan usaha karena selama ini pengusaha mengikuti arahan dan aturan pemerintah dalam budidaya di lahan gambut. “Kami masih menunggu penjelasan BRG mengenai program restorasi gambut ini. Yang jelas, kepentingan pelaku usaha harus diakomodasi selain kepentingan perbaikan hutan,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan, Jumat (10/06/2016).
Peringatan juga disampaikan pengamat hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Prof. Daud Silalahi. BRG harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang, terutama menyangkut peruntukkan kawasan serta pemanfaatan teknologi pada kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di kawasan gambut. “Jika restorasi ‘dipaksakan’ pada kawasan budidaya, akan timbul persoalan baru. Masyarakat dan korporasi yang telah melakukan aktivitas ekonomi di kawasan itu pasti menolak,” tegas Daud.
Pemahaman mengenai restorasi sendiri dinilai harus jelas. Jika tidak, malah memicu persoalan baru. “Persoalan ekologi mungkin saja selesai, namun akan berimplikasi menjadi masalah sosial dan ekonomi,” ingat pakar gambut IPB, Dr Basuki Sumawinata. Yang jelas, kini kebun sawit dan HTI mulai mendapat tekanan baru dari dalam negeri sendiri. AI