Komisi Informasi Pusat (KIP) mengabulkan gugatan Greenpeace agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) membuka informasi penting terkait peta dan data geospasial kehutanan nasional. Pemerintah kontan banding, Pasalnya, data berformat shapefile (.shp) adalah informasi yang dikecualikan dalam UU No. 14/2008 karena belum ada teknologi pengamannya, hingga rawan disalahgunakan. Ada apa sebenarnya?
Apa perbedaan sebuah gambar peta dengan format JPEG (joint photographic experts group) dengan SHP (shapefile)? Banyak, memang. Selain butuh software berbasis geografis (seperti Anda membuka Google Map), dengan file berekstensi .shp, maka sebuah peta bisa mereferensikan koordinat, yang jika dipaduserasikan di atas peta koordinatnya tidak melenceng. Itu sebabnya, dengan informasi ini, kebakaran hutan bisa diketahui lokasinya dan bisa dicegah serta melindungi hutan.
Nah, peta dan data geospasial berekstensi .shp ini yang diperintahkan Majelis Komisioner KIP dibuka oleh Kementerian LHK atas permintaan Greenpeace Indonesia, Senin (24/10/2016). ”Menyatakan informasi geospasial atau peta dalam bentuk format shape file adalah informasi publik bersifat terbuka,” kata Dyah Aryani P, Komisioner KIP yang menjadi ketua sidang. Keputusan majalis ini tidak bulat karena satu orang berpendapat beda (dissenting opinion).
Greenpeace Indonesia pun sumringah. “Ini kabar gembira bagi keterbukaan, perlindungan hutan dan jutaan penduduk yang terpapar kabut asap beracun dari kebakaran hutan setiap tahun. Membuka informasi seluasnya sudah seharusnya dilakukan Presiden Joko Widodo dalam memenuhi janjinya untuk menjalankan pemerintahan yang bersih, tepat dua tahun lalu,” kata Kiki Taufik, yang mewakili Greenpeace sebagai Pemohon pada sengketa tersebut.
Namun, pemerintah langsung banding. “Kami banding, itu prosedur yang harus dilalui,” kata Menteri Siti Nurbaya di Jakarta, Rabu (26/10/2016). Menurut Kepala Biro Humas Kementerian LHK, Novrizal Tahar, pihaknya sudah menerima salinan resmi putusan KIP atas sengketa informasi dengan Greenpeace. “Sedang kami siapkan memori bandingnya, dan segera kami daftarkan ke PTUN,” katanya.
Sikap ini ternyata didukung guru besar IPB bidang perlindungan hutan, Prof. Bambang Hero Sahardjo. Menurutnya, terlalu besar risikonya jika semua peta hutan nasional yang berformat shapefile dibuka secara telanjang. “Kalau sampai telanjang bisa menjadi masalah bangsa. Jadi malapetaka,” tegasnya ketika ditemui di Jakarta, Jumat (28/10/2016).
Banding itu juga tepat karena file berekstensi .shp juga dikecualikan dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Alasannya, belum ada teknologi yang bisa mengamankan peta berformat shapefile. Padahal, peta format ini bisa diubah dan tidak tidak terdeteksi perubahannya. Hal ini membuatnya rawan disalahgunakan.
Apalagi, ini menariknya, Bambang menyebut peta berformat JPEG atau PDF sudah cukup jika ingin membantu melakukan pemantauan kawasan hutan Indonesia. Dari peta itu sudah terinformasikan batas-batas kawasan hutan dan izin yang ada. Bahkan, dia mengaku saat melakukan tugas pemantauan hutan juga menggunakan basis peta berformat JPEG atau PDF. Lah, jadi mau buat apa sebetulnya file detil itu? AI