Cegah Bencana Hidrometeorologi dengan UU Daerah Aliran Sungai

Banjir besar melanda Bekasi, awal Maret akibat rusaknya hulu DAS. Foto: Antara

Indonesia harus memiliki Undang-undang (UU) tentang Daerah Aliran Sungai (DAS) agar tidak terjadi lagi saling lempar tanggung jawab ketika terjadi bencana hidrometeorologi (banjir besar) seperti yang melanda wilayah Bekasi dan Jakarta, awal Maret 2025. Apalagi, modal awal sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, yang bisa ditingkatkan menjadi UU.

Selain itu, bencana tersebut menguatkan tekad pentingnya memasukkan kembali aturan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang dihilangkan oleh UU Cipta Kerja.

Usulan itu mengemuka dalam diskusi tentang “DAS yang Sehat Mencegah Bencana Alam dan Memacu Pertumbuhan Ekonomi Nasional” yang digelar secara daring (zoom meeting) oleh Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ) di Jakarta, Selasa (25/3/205).

Kali ini, webinar bulanan yang dibuka Ketua Umum Yayasan SWJ Dr. Iman Santoso itu mengundang tiga narasumber, yakni Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bidang Sistem dan Strategi, Dr. Raditya Jati, serta Deputi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bidang Pangan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Leonardo Adipurnama, Ph.D — yang diwakili oleh Plt. Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Dadang Jainal Mutaqin, Ph.D. Selain itu, diskusi yang dimoderatori Ketua Puskashut Dr. Harry Santoso ini juga mengundang guru besar ilmu geografi UGM, Prof. Dr. Slamet Suprayogi.

Munculnya usulan pembuatan UU tentang DAS terjadi ketika dari hasil paparan narasumber dan diskusi terungkap bahwa pengelolaan DAS selama ini dilakukan oleh banyak instansi, baik pusat dan daerah, tapi tidak ada pihak yang memanggul tanggung jawab penuh. Persis seperti yang disampaikan salah satu peserta diskusi, Sunaryo. “Masalah DAS sudah sejak lama dipahami. Semua merasa bertanggung jawab, tapi semuanya merasa itu (mengelola DAS, Red.) pekerjaaan berat dan ujungnya saling lempar tanggung jawab,” paparnya.

Menurut dia, lembaga yang ada hanya mengurusi masalah yang jadi tugas dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Kementerian Kehutanan, misalnya. “Sekarang hanya fokus pada kawasan hutan saja. Di luar kawasan hutan hanya men-support bibit. Lalu Kementerian Pekerjaan Umum hanya mengurusi soal badan air dan pemanfaatan air, tapi tidak mengurusi kawasan lindungnya,” paparnya. Selain mereka, masih ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta pemerintah daerah yang justru kunci masalah.

Ruwetnya pengelolaan DAS ini juga diakui oleh Prof. Slamet Suprayogi. Dia melihat kelembagan pengelolaan DAS memang belum optimal. Kondisi ini diperberat dengan terus meningkatnya jumlah penduduk, yang ujungnya mengerek naik permintaan papan, pangan, sandang dan air. Akibatnya, penggunaan lahan dalam ekosistem DAS makin tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya.

Padahal, pembangunan wilayah berbasis DAS sangat penting, karena DAS merupakan satu kesatuan ekosistem. Artinya, pemgelolaan yang salah pada suatu hamparan lahan di wilayah hulu dapat berakibat buruk buat kualitas dan kuantitas air di hilir. Bahkan, rusaknya wilayah hulu dapat menjadi bencana besar di bagian hilir.

 Bencana Hidrometeorologi

Rusaknya wilayah hulu DAS terbukti menjadi bencana. Banjir besar melanda wilayah Bekasi serta merendam warga Jakarta di sekitar bantaran Sungai Ciliwung, bahkan banjir bandang di kawasan Puncak, Bogor pada awal Maret 2025. Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), bencana hidrometerologi alias banjir memang mendominasi hampir seluruh bencana yang terjadi di Indonesia selama tahun 2025 (sampai 22 Maret 2025).

“Catatan kami di 2024, Indonesia mengalami kejadian bencana lebih dari 3.000 kejadian. Sementara untuk tahun 2025 sampai 22 Maret 2025, sudah 743 bencana,” ujar Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bidang Sistem dan Strategi, Dr. Raditya Jati.

Nyaris hampir seluruh bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi basah (99,3%) dan bencana geologi hanya 0,67%. Urutannya adalah banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta erupsi gunung api.

Dampak dari bencana itu, tercatat 128 orang meninggal, 18 hilang, 142 orang luka-luka dan warga yang mengungsi mencapai 2,477 juta jiwa. Dari bencana itu, tiap tahun kerugian yang dialami mencapai Rp22 triliun. “Ini versi dari Kementerian Keuangan yang kita kutip,” ujar Raditya.

Menurut doktor ilmu Lingkungan jebolan UGM ini, Indonesia sering kali menunggu dan baru melakukan respons atau pemulihan jika bencana sudah terjadi. Padahal, dalam urusan DAS ada dua siklus penting, yakni monitoring dan pemeliharaan. Sialnya, kedua masalah ini sering kali diabaikan. “Monitoring dan pemeliharaan sifatnya investasi. Misalnya bagaimana menjaga erodibilitas, erosivitas lahan. Hal ini penting untuk mengurangi dampak kerugian ekonomi, kerusakan infrastruktur dan dampak sosial,” paparnya.

Apalagi, dari Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI), negeri ini mayoritas memiliki level risiko sedang sampai tinggi, tidak ada level risiko rendah. Dari ratusan kabupaten di seluruh Indonesia, tercatat 151 kabupaten/kota memiliki level risiko tinggi dan 363 kabupaten/kota memiliki level risiko sedang.

“Jadi, tidak ada yang di level risiko rendah. Itu juga terjadi di tingkat provinsi, di mana 8 provinsi memiliki level risiko tinggi dan 30 provinsi level risiko sedang. Tidak ada yang berada di level risiko rendah,” ujar Raditya, seraya menyebut Indonesia memang menghadapi ancaman-ancaman yang luar biasa, di mana mayoritas pulau yang ada di peta memperlihatkan warna merah (lihat gambar).

Masalah Serius

Menurut Harry, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS memang besar. Pasalnya, dari perencanaan saja masih sektoral dan per wilayah administrasi. Perencanaan pun tidak secara spasial. “Antar-wilayah administrasi atau antarsektor terjadi perbedaan prioritas, program dan kegiatan. Sehingga apapun implementasi pembangunan jadi tidak efektif,” paparnya saat membacakan kesimpulan.

Yang jadi masalah sampai sekarang, suatu wilayah itu didasarkan pada batas administrasi, sementara DAS tidak berhimpit dengan batas administrasi. Itu fakta yang ada.

“Ini harus jadi perhatian kita bersama bahwa batas DAS itu tidak tumpang tindih dengan batas wilayah administrasi. Batas DAS itu alam, tidak kelihatan di lapangan. Sementara batas administrasi adalah buatan manusia dan pembangunan itu dilakukan berdasarkan batas wilayah administrasi,” ujar Harry.

Hal ini diakui Prof. Slamet sebagai salah satu masalah serius dalam pengelolaan DAS. Masalah lainnya adalah tata ruang DAS, yakni penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya. “Misalnya DAS terus diolah di luar kemampuannya,” ujarnya.

Semrawut dan kacaunya pengelolaan DAS itu terlihat dari penjelasan Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, Dadang Jainal Mutaqin, Ph.D. Dia mengambil contoh Kabupaten Bogor. “Kabupaten Bogor menjadi wilayah hulu dari banyak DAS besar, seperti Ciliwung, Cisadane dan Citarum, yang semuanya itu mengalir ke wilayah Jakarta, Depok, Banten dan sejumlah sub-DAS yang mengalir ke Bekasi. Nah, aktivitas ekonomi dan perubahan lahan di wilayah Bogor sangat menentukan kualitas dan keberlangsungan ekonomi di bawahnya,” papar Dadang.

Sayangnya, dalam rencana pengelolaan DAS yang ada di Bogor, kata Dadang, masih sektoral dan wilayah administrasi. “Belum membahas spesifik pengelolaan DAS, bahkan belum berbasis spasial. Akibatnya, dia mengakui sulit untuk mengintegrasikan suatu kegiatan antar-satu sektor dengan sektor lainnya. “Bahkan terkadang malah tidak nyambung,” tandasnya.

Dadang juga membenarkan belum ada satu lembaga atau institusi yang secara penuh mengelola satu DAS. Tanggung jawabnya masih terbagi-bagi di beberapa kementerian. Kementerian Kehutanan, misalnya. Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) bertanggung jawab dalam menangani tutupan lahan dan hutan di suatu DAS. Sementara Kementerian PU melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) menghasilkan dokumen pola pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaannya. Untuk menjembatani aktivitas dua kementerian ini ada forum dewan sumber daya air nasional di PU dan Forum DAS di Kehutanan.

Lalu ada Kementerian ATR yang menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan pemerintah daerah yang membuat rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD) yang mengacu RTRW. “Sementara Bapenas juga menghasilkan RPJPN dan RPJMN yang tentunya ini mendapatkan input dari RPJPD dan RPJMD dari pemerintah daerah. Nah, semua rencana kerja dari masing-masing sektor ini dibahas di dalam rapat koordinasi teknik kewilayahan dan urusan,” paparnya.

Dadang mengakui bahwa sampai saat ini tidak ada forum khusus untuk membahas perencanaan pembangunan di dalam satu DAS. Tapi yang ada hanya membahas perencanaan pembangunan di dalam suatu wilayah administrasi dan juga urusan sektor.

Padahal, di Indonesia ada 17.000 DAS dan sejauh ini sudah ada 180 DAS super prioritas atau yang diprioritaskan untuk ditangani. Kalau dikerucutkan lagi ada 15 DAS prioritas, seperti Citarum, Ciliwung, Berantas Solo dan Jenebrang yang perlu dibahas khusus dalam rapat koordinasi teknis (Rakortek) serta musyawarah perencanaan pembangunan nasional (Musrenbang). “Dari Musrenbangnas dikembalikan lagi ke sektor untuk jadi rencana anggaran kementerian/lembaga. Jadi, kunci perencanan DAS memang ada Rakortek kewilayahan dan urusan serta Musrenbangnas.”

 Kondisi DAS Memprihatinkan

Dari gambaran itu terlihat jelas perlunya koordinasi perencanaan yang kuat antarsektor. Faktanya? Koordinasi masih barang mahal di negeri ini. Padahal, koordinasi ini “harga mati” karena DAS menghubungkan wilayah hulu, tengah, dan hilir yang dapat melintasi beberapa wilayah administratif. Potret buruknya koordinasi itu terlihat dalam bencana banjir yang menerjang Bekasi dan Jakarta serta daerah lainnya di Indonesia.

Menurut Dadang, peta yang ada menunjukkan bahwa banjir yang menerjang Bekasi dan Jakarta memang disebabkan oleh buruknya kondisi wilayah hulu di Bogor. Padahal, di wilayah ini ada DAS Cisadane, DAS Ciliwung, DAS Kali Bekasi, DAS Kali Angke Pesanggrahan dan DAS Kali Buaran.

“Semua DAS itu berujung di Puncak, terutama Taman Nasional (TN) Gede Pangrango, Gunung Halimun dan Gunung Pancar serta kawasan hutan produksi milik Perum Perhutani. DAS Cisadane ada di Gunung Halimun, DAS Ciliwung dan DAS Citarum ada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan DAS Kali Bekasi hulunya ada di Taman Wisata Alam Gunung Pancar,” jelas Dadang.

Luas kawasan hutan di masing-masing DAS bervariasi, namun DAS Cisadane diakui paling besar memiliki kawasan hutannya, termasuk sebagian dari TN Gunung Gede Pangarango dan TN Gunung Halimun Salak. Namun, ini yang menyedihkan, dari tutupan lahan hutan tiap DAS sudah jauh dari ideal, yang dalam UU No. 41/1999 — namun sudah dihapus oleh UU Cipta Kerja — digariskan minimal 30%. DAS Cisadane yang paling besar hutannya hanya punya tutupan 18,84%, DAS Ciliwung 12,96%, DAS Kali Bekasi hanya 3,5%. Bahkan DAS Kali Angke Pesanggarahan hanya 0,77% dan DAS Kali Buaran malah tidak terdeteksi ada tutupan hutan sama sekali.

Selain itu, dilihat dari sisi kawasan lindung juga telah terjadi perubahan yang signifikan. DAS Ciliwung contohnya. Saat ini hanya tersisa sekitar 30% saja. “Kawasan lindung DAS Ciliwung statusnya sudah non hutan sekitar 19.000 hektare (ha), sementara DAS Cisadane sudah 50% kawasan lindungnya menjadi kawasan non hutan. Begitu juga DAS Bekasi,” urainya.

Kondisi ini jelas mempengaruhi keberadaan bencana hidrometeorologi akibat lahan terbangun dalam kawasan lindung di tiga DAS tersebut cukup meningkat secara signifikan. “Kami peroleh data tahun 1990 sampai 2023 trennya terus meningkat. Kalau kita tidak melakukan intervensi, tentunya akan sangat sulit menghindari bencana ke depannya,” kata Dadang.

Menurut dia, lahan kritis juga ada di tiga DAS, yakni Ciliwung, Cisadane dan Kali Bekasi, di mana kekritisan lahan di DAS Cisadane paling tinggi (15%), disusul Ciliwung dan Bekasi masing-masing 8%. Secara luasan total, lahan kritis di DAS Cisadane mencapai 22.287 ha, DAS Bekasi 12.355 ha dan DAS Ciliwung seluas 3.246 ha.

“Jadi, inilah kondisi atau potret kenapa banjir terjadi atau ini jadi salah satu penyebab banjir yang terjadi belakangan ini,” papar Dadang.

Syarat 30% Berhutan

Menanggapi masalah tersebut, Harry pun kontan meminta semua pihak agar ikut menyuarakan dukungannya agar dalam revisi kedua UU No. 41/1999 — yang masuk dalam agenda Prolegnas DPR tahun 2024-2029 — memasukkan lagi satu pasal tentang luas minimal kawasan hutan di areal DAS.

Seperti diketahui, UU No.41/1999 pasal 18 ayat (1) dan (2) menyebutkan “Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”

Namun, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang kemudian diubah dengan UU No. 6/2023 tentang penetapan Perppu No. 22/2022 tentang Cipta Kerja sebagai pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020) menghapus ketentuan tersebut dan hanya menyebutkan “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. Ketentuan lebih lanjut mengenai luas Kawasan Hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

“Kami mohon dukungannya karena kita akan memperjuangkan ketentuan luas hutan di DAS 30% itu bisa masuk dalam satu pasal pada perubahan UU No.41/1999. Karena seperti yang dijelaskan oleh Pak Dadang tadi, hilangnya tutupan hutan jadi salah satu penyebab banjir di Bekasi kemarin,” ujar Harry.

UU tentang DAS

Buruknya koordinasi dalam pengelolaan DAS, sementara pembangunan suatu wilayah yang ideal adalah harus berbasis DAS, memicu pertanyaan lanjutan. Mengapa Indonesia tidak memiliki UU tentang DAS? Apalagi, RTRW yang ada masih berbasis wilayah administratif, baik RTRW Provinsi maupun RTRW Kabupaten.

“Semuanya selalu berorientasi pada pembangunan ekonomi dan selalu berbanding terbalik dengan pembangunan lingkungan. Barangkali dengan adanya undang-undang tentang pengelolaan DAS ini, maka mekanisme tentang Payment for Environmental Services (PES) itu bisa dilaksanakan. Dari hulu harus bagaimana, tengah harus bagaimana, dan hilir harus bagaimana. Jadi itu secara terintegrasi seperti yang disampaikan juga Prof Slamet Suprayogi,” papar Agus Wuryanto.

Apalagi, sampai kini tidak ada kriteria DAS yang sehat itu seperti apa. Ini bisa jadi dasar untuk menyusun UU tentang tata ruang yang berbasis kewilayahan atau berbasis DAS, katanya.

Harry mengakui UU tentang pengelolaan DAS memang mendesak. Karena dengan UU itu akan diatur soal koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar-kementerian/lembaga, antar-wilayah administratif serta antar-disiplin ilmu.

Selain itu, lanjut Harry, pemerintah juga sudah punya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS yang ditandatangani 1 Maret 2012 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kalau mau, ini bisa dibuat lebih tinggi menjadi UU. Lagi pula, PP 37/201 ini tidak ada mandat dari UU apapun. Kita hanya menarik PP itu dari UU Sumber Daya Air dan UU Kehutanan,” papar Harry, seraya menambahkan bahwa sudah ada diskusi tentang pembuatan UU tentang DAS.

Dadang mengakui bahwa masalah pembuatan UU tentang DAS perlu kajian khusus, sama seperti penyusunan UU lainnya. “Pertanyaannya, apakah memang bisa pengelolaan DAS ini dijadikan sebuah UU? Apakah DAS bisa diintegrasikan dengan RTRW, misalnya,” kata Dadang.

Faktanya, kata dia, selama ini pengelolaan DAS sudah mengakomodir kepentingan semua sektor, dan juga dikomunikasikan dan dikoordinasikan serta semua sektor dimintai masukan, tapi kenyataannya memang masih belum mengakomodasi keadaan DAS.

Tanpa bermaksud pesimis, Dadang mengungkapkan soal pembuatan aturan yang terkait DAS, yakni Peraturan Pemerintah (PP) tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang diusulkan Kementerian Kehutanan. Sejak diusulkan tahun 2014, sampai kini masih belum selesai juga. Padahal draftnya sudah disetujui oleh semua sektor terkait, “dan sekarang masih ada di Setneg. Jadi, sudah berulang tahun yang ke-14. Sudah 14 tahun belum disahkan di Setneg,” ungkapnya.

Bappenas sendiri, katanya, sudah punya strategi dalam pengelolaan ekonomi berbasis DAS, yang harus dilaksanakan secara holistik, integratif, tematik dan spasial (HITS) dan sudah berjalan sejak 2019 sampai 2024. Hanya saja, kinerja tiap sektor berbeda-beda akibat kapasitas masing-masing yang berbeda.

Soal spasial, contohnya. Dia menyebut Kementerian ATR dan Kemenhut sudah cukup baik data spasialnya. “Tapi untuk sektor lain, seperti pertanian dan industri sulit sekali mendapat data spasialnya. Padahal, jika kita bisa memperoleh data itu, maka pembangunan ekonomi dalam satu DAS bisa lebih terintegrasi dari hulu ke hilir,” urai Dadang.

Dia juga mengungkapkan bahwa Bappenas dan Ditjen Penegakan Hukum, Kemenhut tengah merancang Perpres penanganan DAS Bengawan Solo. “Sudah masuk ke dalam rancangan RKP 2026 dan ini kita akan jadikan sebagai pilot project kedua setelah Citarum Harum. Kami juga berharap Citarum Harum terus dilanjutkan, jangan sampai berhenti karena pekerjaan harus  dilaksanakan secara berkelanjutan,” katanya. AI