Katanya, Komodo Tidak Nyaman

Komodo

Foto komodo berhadapan dengan truk di Pulau Rinca, Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur muncul di dunia maya setelah diunggah melalui akun Twitter @KawanBaikKomodo, 23 Oktober lalu.

Sontak, foto tersebut viral. Warga dunia maya, yang kemudian berlanjut di dunia nyata, ramai menyuarakan kritik terhadap aktivitas konstruksi yang sedang berlangsung di sana. Setidaknya sudah ada 733.215 orang per Sabtu, (31/10/2020) yang telah menandatangani petisi daring yang dibuat oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat untuk menolak aktivitas konstruksi di TN Komodo.

Penolakan mencuat karena aktivitas konstruksi untuk mewujudkan TN Komodo sebagai salah satu satu lokasi ‘Bali baru’, sesuai Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dinilai bisa membawa dampak negatif bagi Komodo.

Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyatakan, pembangunan pariwisata premium di TN Komodo diduga akan berdampak buruk bagi keberlanjutan komodo. Dia menyatakan, langkah pemerintah saat ini juga telah membuktikan kekhawatiran bahwa pembangunan di Pulau Rinca akan lebih didominasi kepentingan pariwisata.

“Foto yang viral menjadi bukti ketidaknyamanan komodo terhadap aktivitas pembangunan skala besar itu,” katanya.

Dia menyatakan, proses pembangunan ‘Jurassic Park’ di Pulau Rinca  telah mengganggu dan mengancam ekosistem komodo. Menurutnya, komodo merupakan jenis binatang yang soliter atau memiliki sifat penyendiri, kecuali saat musim kawin. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan pembangunan yang berdampak pada perubahan habitat alamiahnya, tentu akan mengganggu keberadaan komodo.

Umbu mengingatkan, habitat terbesar komodo berada di Pulau Rinca dan Pulau Padar. Secara ekologi kedua pulau ini mempunyai topografi yang paling cocok dalam mendukung bertumbuh dan berkembangnya spesies itu. Jadi, semestinya pemerintah menjaga keaslian habitat komodo dengan tidak mengubah habitat komodo dengan bangunan-bangunan beton yang sudah pasti mengancam keberlangsungan hidup komodo.

Umbu menegaskan, WALHI NTT mengecam segala bentuk pembangunan yang menghilangkan keaslian habitat komodo. Pemerintah, katanya, harus mengembalikan spirit awal pembentukan TN Komodo sebagai kawasan konservasi.

Dia meminta pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menghentikan pembangunan skala besar di kawasan TN Komodo. WALHI NTT juga meminta agar pemerintah provinsi dan nasional lebih fokus pada urusan sains dan konservasi kawasan ekosistem komodo dibandingkan urusan pariwisata yang berbasis pada pembangunan infrastruktur skala besar.

Evaluasi

Sementara itu Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan, eksploitasi di Pulau Rinca yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat membuka wajah asli proyek pariwisata KSPN yang selalu diklaim sebagai proyek yang ramah lingkungan.

“Faktanya, proyek pariwisata KSPN di Pulau Rinca merusak lingkungan dan tidak mempertimbangkan habitat asli Komodo. Proyek ini juga mendapatkan perlawanan dari masyarakat lokal di Pulau Rinca dan di Labuan Bajo secara umum,” ungkap Susan.

Susan menambahkan, di banyak tempat di Indonesia, proyek KSPN terbukti merampas tanah-tanah masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan pesisir, seperti yang terjadi di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.

“Di Mandalika, banyak terjadi perampasan tanah masyarakat. Ini membuktikan bahwa KSPN tidak menempatkan hak dan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama,” jelasnya.

Wajah asli proyek KSPN, kata Susan, adalah merusak lingkungan dan merampas hak dasar masyarakat yang dimandatkan oleh UUD 1945, yaitu hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Dia mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang pembangunan proyek pariwisata KSPN, khususnya di Labuan Bajo.

“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi proyek pariwisata di Labuan Bajo yang hanya melayani kepentingan industri pariwisata skala besar. Jika tidak bisa memprioritaskan kepentingan masyarakat, proyek pariwisata KSPN ini harus dihentikan di semua tempat,” kata Susan.

Precautionary approach

Sementara itu, pakar ekowisata berkelanjutan Dr Suhartini Sekartjakrarini mengingatkan perlunya dilakukan  pemetaan yang terintegrasi dan komprehensif untuk agar dampak yang ditimbulkan dari penyelenggaraan ekowisata bisa seminimal mungkin (precautionary approach).

Precautionary approach bukan hanya pada kawasannya, tapi juga dari aspek sosial budaya,” kata Tinuk, sapaan akrab Suhartini ketika dihubungi, Jumat (30/10/2020).

Dia mengimbau pemerintah — yang sedang mengembangkan kawasan TN Komodo — bersabar dan mau berkomunikasi lebih intensif dengan seluruh pihak agar pro-kontra yang saat ini mencuat bisa diselesaikan dengan baik. “Namanya saja taman nasional, jadi wajar jika secara nasional orang ingin tahu,” katanya.

Pengajar di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata IPB University itu menuturkan, sesuai Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, ditetapkannya Pulau Komodo dan sekitarnya sebagai taman nasional bertujuan untuk melindungi spesies komodo. Namun, undang-undang itu juga mengamanatkan agar taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang memberi ruang untuk pemanfaatan agar ada keseimbangan dari aspek konservasi dan ekonomi.

Untuk itu, setiap kawasan taman nasional, termasuk di TN Komodo, harus dilakukan pemetaan komprehensif dan terintegrasi dari berbagai aspek untuk mengetahui area mana yang harus dilindungi total dan area mana yang bisa dikembangkan untuk pemanfaatan.

“Perlu studi perilaku komodo, bagaimana ruang geraknya, bagaimana cara makannya,” kata Tinuk.

Dia mengingatkan, kalaupun ada zona pemanfaatan, bukan berarti area tersebut harus diutilisasi penuh. Pemanfaatan, katanya, sebisa mungkin harus less intensive.

Terkait pembangunan sarana dan prasarana ekowisata, Tinuk menyatakan ada rambu-rambu yang harus ditaati. Seperti, tidak menebang pohon, koefisien dasar bangunan seminimal mungkin, tidak berada di jalur satwa, dan tidak pada lahan dengen kelerengan lebih dari 30%.

Rambu-rambu pembangunan sarana dan prasarana ini sejatinya sudah tertuang pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 13 tahun 2020.

“Aturan-aturan itu dilaksanakan melalui proses perencanaan yang menuntuk integrasi dan komprehensif. Apalagi, Komodo ini kan satu-satunya di dunia, barang mewah. Harus kita eman-eman (sayang),” kata Tinuk.

Tinuk menekankan prinsip-prinsip ekowisata yang harus dipatuhi. Pertama, konservasi kawasan. Maksudnya dalam pemanfaatan untuk ekowisata, harus tetap seimbang dengan pelestariannya.

Kedua, partisipasi masyarakat. Menurut Tinuk, masyarakat harus sejak awal dilibatkan dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata. Masyarakat tidak bisa sekadar diikutkan dalam sosialisasi melain harus mendapat peran penuh dalam penyelenggaran ekowisata.

Ketiga, edukasi. Eksowisata, menurut Tinuk, harus memiliki muatan edukasi selain rekreasi. Bentuknya bisa presentasi, atau melalui desain sarana dan prasarana. Jika tidak ada pemandu yang menjelaskan, harus ada tanda-tanda  informasi kepada pengunjung.

Prinsip keempat adalah ekonomi. Menurut Tinuk, penyelenggaraan ekowisata harus bisa memberi manfaat ekonomi bukan hanya kepada masyarakat setempat pada juga pada kawasan yang lebih luas sehingga bisa menggerakan perekonomian.

Prinsip kelima adalah kendali, yang berarti dampak dari penyelenggaran ekowisata harus ditekan seminimal mungkin. Sugiharto

Baca juga:

Pembangunan P. Rinca Ancam Komodo?

Pembangunan di Zona Pemanfaatan