Aroma Politik Perhutanan Sosial

Hutan Perhutani

Reforma agraria menjadi salah satu janji kampanye yang mengantarkan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini. Jadi, jangan heran jika program perhutanan sosial yang menjadi bagian dari reforma agraria sudah diincar oleh para politisi sebagai jualan pada Pemilu Kepala Daerah 2018 dan Pemilu 2019.

Kuatnya aroma politik itu tercium juga oleh kalangan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Apalagi sampai ada intervensi yang dilakukan sebuah yayasan untuk penetapan lokasi Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No P.39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.

Meski yayasan tersebut berbasis di Pekalongan, Jawa Tengah, namun intervensi yang dilakukan terasa mewarnai penetapan lokasi IPHPS di seluruh Jawa. Pengelola yayasan itu diketahui memiliki orientasi pada partai politik tertentu. “Teman-teman melihat adanya agenda politik pada intervensi yang dilakukan yayasan itu,” kata Muhammad Adib, Ketua LMDH Agrowilis, yang terletak di hutan Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, Jawa Tengah, Senin (22/8/2017).

Di lapangan, lanjut Adib, aroma politik juga terlihat dari masuknya orang-orang yang bukan penggarap setempat pada beberapa IPHPS yang sudah diterbitkan KLHK. Kenyataan ini sangat kontradiktif dengan Permen LHK P.39/2017. Berdasarkan ketentuan tersebut, IPHPS hanya dialokasikan bagi masyarakat penggarap setempat.

“IPHPS ternyata ada yang diberikan bukan kepada masyarakat asli lokal. Ini jelas kontradiktif,” kata Adib, yang merupakan pengasuh Sekolah Kader Desa Brilian, sebuah sekolah yang dirancang untuk mendidik calon manajer LMDH.

Adib melanjutkan, diliriknya IPHPS sebagai bagian dari strategi perolehan suara dalam Pemilu tak lepas dari besarnya potensi suara yang bisa diperoleh. Masyarakat yang dijajikan lahan 2 hektare per kepala keluarga (ha/KK) dipastikan akan tergiur. Pada kasus konflik lahan Perhutani di Cilacap, misalnya. Lewat jualan IPHPS, dipastikan para politisi bisa meraup suara di lokasi tersebut.

“Jika ada 1,1 juta penggarap di desa hutan, maka potensi suara yang bisa diraup sudah tergambar,” kata Adib.

Dia mengingatkan, kepentingan politik yang mewarnai implementasi IPHPS bisa memicu konflik sosial antar-masyarakat desa hutan. “Kami tentu saja tak ingin situasi itu terjadi,” katanya.

Panas-panasi masyarakat

Sinyalemen kuatnya aroma politik dalam impelementasi IPHPS juga diakui anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial KLHK, Muayat Ali Muhsi. Namun, Muayat punya pandangan yang sebaliknya dengan apa yang diurai Adib.

“Ada memang aroma politik pada implementasi IPHPS,” katanya.

Namun, Muayat menilai kisruh soal implementasi IPHPS yang terjadi saat ini justru karena ada politisi yang menunggangi. Menurut Muayat, politisi itu adalah mereka yang pada Pemilu 2014 lalu mengambil posisi berseberangan dengan Presiden Jokowi.  “Mereka memanas-manasi masyarakat,” cetus Muayat.

Penggiat perhutanan sosial Diah Suradireja menyatakan, isu politis memang tak bisa dilepaskan dalam pengelolaan hutan dan lahan di Jawa serta resolusi konflik yang perlu dilakukan. Ini tak lepas dari jejak historis yang berbeda-beda di setiap daerah.

Itu sebabnya, Diah mengingatkan pentingnya pemetaan komplet sebelum IPHPS diterapkan pada satu daerah. “Pemetaan bukan hanya soal lahan, tapi juga masyarakat calon penerima IPHPS,” katanya.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Hadi Daryanto mencoba meredam isu soal kepentingan politik dalam implementasi perhutanan sosial. Dia menegaskan, tujuan pemerintah dalam menjalankan program perhutanan sosial adalah untuk menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Soal adanya penerima IPHPS yang bukan petani penggarap setempat, Hadi menegaskan, sesuai P.39/2017 penerima IPHPS harus petani penggarap setempat. Jika belakangan diketahui ada penerima IPHPS yang bukan petani penggarap setempat, maka non petani penggarap setempat itu pasti akan dikeluarkan dari daftar penerima IPHPS. “IPHPS-nya pasti akan direvisi,” tegasnya. Sugiharto

Perhutani tak Takut Hutan Berkurang

Kala manajemen Perhutani di tingkat tapak ramai-ramai menyerukan desakan penundaan implementasi Permen LHK P.39/2017 dan perlunya revisi ketentuan tersebut, manajemen Perhutani di tingkat pusat justru mengambil sikap sebaliknya. Manajamen Perhutani di Manggala Wanabakti justru mendukung sepenuhnya impelementasi P.39/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.

Direktur Utama Perhutani, Denaldy M Mauna menyatakan, implementasi P.39/2017 akan membantu Perhutani untuk memperbaiki pengelolaan hutan di lokasi yang selama ini belum tertangani dengan baik. “Jadi, ini akan saling mengisi,” kata dia ketika ditemui, Senin (14/8/2017).

Meski nantinya akan banyak wilayah kerja Perhutani yang dibebani IPHPS, Denaldy juga tidak memandang hal itu menjadi pengurangan luas hutan Perhutani.

Sementara Direktur Operasi Perhutani, Hari Priyanto menegaskan, Perum Perhutani mendukung sepenuhnya program perhutanan sosial yang dijalankan KLHK. Dia memastikan program yang dijalankan tetap akan mengakomodir masyarakat desa hutan yang selama ini sudah bekerjasama dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

“Apapun program pemerintah kita dukung untuk kesejahteraan masyarakatnya, untuk kelestarian hutannya,” tandas Hari.

Dia menyatakan, tak semua areal kerja Perhutani bakal menjadi sasaran pelaksanakan P.39/2017. Hanya pada kawasan hutan yang tutupan hutannya kurang dari 10%. Kalaupun dilaksanakan pada kawasan hutan dengan tutupan lebih dari 10%, itu dikarenakan perlu adanya penanganan khusus. “Kami nggak takut hutannya akan berkurang,” katanya.

Untuk diketahui, PHBM Perhutani dan LMDH mulai berjalan sejak tahun 2001. Skema tersebut merupakan pengembangan dari skema perhutanan sosial yang telah dijalankan sebelumnya di areal kerja Perhutani. Berdasarkan data Perhutani pada laman resmi www.perhutani.co.id yang diakses Senin (21/8/2017), sampai tahun 2015 sudah ada 5.390 unit LMDH dengan jumlah anggota mencapai 1,17 juta orang di 5.390 desa hutan yang bekerjasama dalam PHBM. Selain dengan LMDH, PHBM juga bekerja sama dengan 995 koperasi desa hutan. Sementara luas kawasan hutan Perhutani yang dikerjasamakan dengan LMDH seluas 2.405.767 ha. Ini berarti kerjasama Perhutani dengan LMDH telah dilakukan di hampir seluruh areal kerja Perhutani yang total luasnya 2.445.006 ha.

Dalam PHBM, anggota LMDH boleh memanfaatkan kawasan hutan untuk memproduksi berbagai komoditas dengan pola agroforestry. Seluruh hasil produksi komoditas pangan yang dihasilkan dengan pola PHBM sepenuhnya menjadi milik anggota LMDH.

Di satu sisi, LMDH dan anggotanya wajib menjaga kelestarian hutan. Perhutani pun mengalokasikan bagi hasil untuk berbagai produksi kayu dan non kayu yang dihasilkan. Sampai 2015 lalu, nilai bagi hasil produksi yang disalurkan Perhutani kepada LMDH mencapai Rp25,6 miliar.

Sementara itu Ketua Dewan Pengawas Perhutani Bambang Hendroyono memperingatkan agar tak ada pejabat Perhutani baik di pusat maupun di tingkat tapak yang menolak implementasi P.39/2017. Dalam nada tinggi dia menegaskan, sebagai bagian dari pemerintahan, tak patut jika ada ‘orang dalam’ Perhutani yang mengganjal program pemerintah.

“Saya ingatkan, kita bagian dari pemerintahan yang harus menyukseskan program perhutanan sosial. Jadi, jangan malah menghambat,” cetus Bambang yang juga Sekjen KLHK saat Rapat Kerja Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani di Jakarta, Selasa (22/8/2017). Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh KLHK dan mengundang manajemen Perhutani. Sugiharto

Baca juga:

Ditolak, Perhutanan Sosial di Jawa

Konflik Sosial di Hutan Jawa

Pemerintah pun Menjawab