Pemerintah pun Menjawab

Petani hutan

Para elite dan penikmat rente dari eksistensi LMDH dituding menjadi pemicu kisruh perhutanan sosial di Jawa. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan skema perhutanan sosial yang akan diimplementasikan bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.

Kritik dan suara penolakan mencuat seiring terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.  P.39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Namun, suara sumbang itu dituding berasal dari mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari status quo pengelolaan hutan Perhutani.

“Yang ribut mereka yang kerjanya megang  HP, laptop. Petani penggarap justru merespon positif,” cetus anggota Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Muayat Ali Muhsi di Jakarta, Selasa (22/8/2017).

Muayat mengungkapkan, ada praktik buruk dalam pengelolaan hutan yang menjadi wilayah kerja Perhutani. Pola PHBM yang menggandeng LMDH ternyata banyak dinikmati oleh sekelompok elite di tingkat tapak. Mereka inilah yang keberatan dengan adanya insiatif dari KLHK untuk memberikan akses yang lebih luas dan tegas langsung kepada petani penggarap. “Selama ini yang untung elite. Petani penggarap hanya jadi buruh,” ujarnya.

Bahkan, bisik Muayat, ada praktik jual-beli lahan garapan di beberapa LMDH yang disurvey. Praktik jual-beli tersebut ditemukan pada survey yang dilakukan di Teluk Jambe dan Muara Gembong, Jawa Barat. “Di lokasi lain juga terjadi,” ungkapnya.

Menurut Muayat, akibat praktik semacam itu, banyak lokasi di Perhutani yang memiliki tutupan hutan kurang dari 10%. Data Direktorat Planologi dan Tata Lingkungan KLHK menunjukkan, ada sekitar 465.961 hektare (ha) areal kerja Perhutani yang tutupannya kurang dari 10%.

Sosialisasi lebih intensif

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto menyatakan, Permen LHK P.39/2017 bertujuan untuk meningkatkan kualitas hutan Jawa sekaligus diharapkan menjadi jalan untuk menyejahterakan pemangku pihak yang paling penting, yaitu masyarakat di desa hutan. “Supaya hutannya lestari, masyarakat sejahtera,” kata Hadi.

Dia menjelaskan, Izin Pemanfatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) diberikan langsung kepada petani penggarap, baik yang selama ini sudah menjadi anggota LMDH ataupun belum. Ini mencegah peluang terjadinya penyimpangan.

LMDH juga akan ditata-ulang sesuai dengan pola Kemitraan Kehutanan berdasarkan Permen LHK No P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. “Jadi, mereka yang bukan petani penggarap tidak boleh terdaftar,” kata Hadi.

Pemerintah, lanjut Hadi, memastikan dukungan penuh terhadap program perhutanan sosial. Untuk pembiayaan, misalnya, tiga bank BUMN besar sudah menyatakan komitmen untuk mendukung jalannya perhutanan sosial di Jawa. “Ada Bank Mandiri, BNI, dan BRI yang siap mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR),” ujar Hadi.

Soal masih adanya penolakan dari banyak LMDH, Hadi menyatakan akan melakukan sosialisasi lebih intensif, sehingga Permen LHK P.39/2017 bisa lebih dipahami publik. Hadi juga menanggapi positif berbagai kritik yang disampaikan. Menurut dia, kritik yang disampaikan justru bisa mengawal agar implementasi perhutanan sosial sesuai jalur.

Tidak bertentangan

Hadi memastikan Permen LHK P.39/2017 tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2006 jo. PP 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dia menjelaskan, obyek yang diatur pada PP 6/2007 jo. PP 3/2008 adalah hutan alam produksi di luar Jawa. Ini juga yang menjadi alasan mengapa PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tak dijadikan salah satu konsideran pada PP  No. 72 tahun 2010 tentang Perhutani.

Soal adanya pasal pada PP No. 6 tahun 2006 jo. PP 3 tahun 2008 yang melarang penerbitan izin di dalam areal yang dikelola BUMN Kehutanan, Hadi menjelaskan bahwa ketentuan tersebut dibuat untuk mengantisipasi pembentukan BUMN pengelola hutan di luar Jawa. Sebagai arsitek dari PP No. 6 tahun 2006 jo. PP 3 tahun 2008, Hadi mengklaim tahu persis filosofi dari beleid tersebut.

“Dulu ada inisiasi agar PT Inhutani bisa menjadi pengelola hutan di luar Jawa seperti Perhutani mengelola hutan Jawa. Tapi, diskusinya kemudian tidak berlanjut,” kata Hadi.

Hadi juga memastikan, terbitnya IPHPS pada areal kerja Perhutani tak berarti ada izin di atas izin. Pasalnya, PP 72/2010 bukanlah izin yang diberikan pemerintah melainkan penugasan pengelolaan. PP 72/2010 juga bukan pelimpahan atau pendelegasian pengelolaan hutan Jawa. Ini menjadikan wewenang pengelolaan hutan Jawa tetap ada di tangan Menteri LHK. “Baca PP-nya jangan sepotong-sepotong,” katanya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, yang dimintai tangapannya terhadap situasi yang berkembang terkait Permen LHK P. 39/2017, menyatakan dirinya mencermati setiap perkembangan yang terjadi. Dia menyatakan, kebijakan yang diambil pemerintah dilakukan dengan pertimbangan matang. “Tentunya agar tujuan untuk menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bisa tercapai,” katanya.

Teliti dengan benar

Sementara itu, penggiat perhutanan sosial, Diah Suradireja mengingatkan, pemerintah harus melakukan pemetaan secara detil pada lokasi-lokasi target IPHPS. Langkah itu untuk memastikan kawasan hutan Jawa tetap lestari dan izin yang diterbitkan tepat sasaran demi mencegah munculnya konflik sosial.

“Bagi saya, hutan dengan kelerengan di atas 40% harus tetap dikelola penuh oleh Perhutani,” katanya.

Sementara untuk kelompok hutan yang lokasinya dekat dengan kawasan taman nasional, Diah menyarakan agar kelompok hutan itu tersebut dijadikan satu pengelolaannya dengan taman nasional. “Baru kemudian dialokasikan hutan yang memang layak untuk dikelola dalam skema IPHPS,” katanya.

Diah menekankan tidak boleh ada pemaksaan skema IPHPS di lapangan. Jika ada hutan yang memiliki tutupan hutan bagus, dengan LMDH yang memiliki kapasitas mumpuni, lebih baik skema yang dilaksanakan adalah kemitraan. “Kan sama-sama perhutanan sosial,” ujarnya.

Pemetaan lanjutan juga mesti dilakukan terkait masyarakat yang akan menerima IPHPS. Diah menjelaskan, calon penerima IPHPS harus diteliti benar, apakah masyarakat setempat atau tidak. Untuk mencegah konflik, pemetaan juga harus mempertimbangkan faktor sosial dan politik. “Jangan sampai mereka yang pendatang dari luar justru bisa mendapat IPHPS,” tegasnya.

Untuk itu, jika calon areal IPPHPS telah terpetakan, maka langkah lanjutan yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan dari wilayah kerja Perhutani untuk mencegah tumpang-tindih perizinan. Sugiharto

Beberapa Pasal Penting Permen LHK P.39/2017

Pasal 4

(1) Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% (sepuluh perseratus) secara terus-menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih.

(2) Dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10% (sepuluh perseratus).

Pasal 6

(1) IPHPS dalam Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur pada lahan efektif untuk produksi dengan pola tanam:

  1. budidaya tanaman pokok hutan seluas 50% (lima puluh perseratus);
  2. budidaya tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 30% (tiga puluh perseratus);
  3. budidaya tanaman semusim seluas 20% (dua puluh perseratus).

Pasal 7

IPHPS dalam hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur pada lahan efektif dengan pola tanam:

  1. tanaman kayu non fast growing species untuk perlindungan tanah dan air seluas 20% (dua puluh perseratus);
  2. tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 80% (delapan puluh perseratus); dan
  3. tanaman di bawah tegakan berupa tanaman selain jenis umbi-umbian dan/atau tanaman lainnya yang menyebabkan kerusakan lahan.

Pasal 15

(1) IPHPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan oleh anggota kelompok dengan luas lahan garapan efektif diberikan paling banyak 2 (dua) hektar per kepala keluarga.

(2) Untuk areal yang mempunyai kelerengan lebih dari 40% (empat puluh perseratus), sempadan sungai, sempadan pantai, mata air, kebun bibit, bukit batu dan jalan patroli/setapak dikelola oleh kelompok dan koperasi/koperasi mitra BUMDes.

Pasal 16

Jangka waktu IPHPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf e diberikan selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dilakukan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

Pasal 17

(1) IPHPS bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.

(2) IPHPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dipindahtangankan, diubah status dan fungsi kawasan hutan, serta digunakan untuk kepentingan lain.

Baca juga:

Ditolak, Perhutanan Sosial di Jawa

Konflik Sosial di Hutan Jawa

Aroma Politik Perhutanan Sosial