Reforma agaria bergejolak di tanah Jawa. Langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka akses lahan hutan Jawa bagi masyarakat ternyata menimbulkan reaksi di tingkat tapak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil sejumlah langkah progresif untuk menerjemahkan janji reforma agraria yang dinyatakan Presiden Joko Widodo saat kampanye. Selain siap melepas 4,1 juta hektare (ha) kawasan hutan dalam kerangka reformasi aset, KLHK juga akan melakukan reformasi akses kawasan hutan seluas 12,7 juta ha dalam skema perhutanan sosial.
Yang menarik, skema perhutanan sosial juga bakal di gelar di hutan Jawa, yang selama ini dikuasai Perhutani, sang penguasa hutan Jawa. Padahal, semula, hutan Jawa tak dilirik sebagai lokasi pengembangan skema perhutanan sosial. Hal itu setidaknya bisa terlihat dari tak masuknya Jawa dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK No. SK.22 tahun 2017.
Kini, Jawa bahkan boleh jadi akan jadi lokasi pertaruhan, di mana KLHK akan bertempur habis-habisan untuk memastikan skema perhutanan sosial berjalan. Bagaimana tidak. Untuk Jawa, KLHK tak cukup hanya memayungi skema perhutanan sosial dengan Peraturan Menteri (Permen) LHK No P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang berlaku secara nasional, tapi juga menerbitkan Permen LHK No P.39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani — yang terbit Juni 2017.
Berdasarkan Permen LHK No P.39/2017, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK — atas nama Menteri LHK — menerbitkan Izin Pemanfatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di areal Perhutani, baik di hutan produksi maupun hutan lindung. IPHPS diberikan berdasarkan permohonan yang diajukan masyarakat atau bisa berdasarkan penunjukan.
Reaksi
Namun, pertempuran yang dihadapi KLHK sepertinya tak bakal mudah. Maklum, pagi-pagi sudah ada reaksi penolakan terhadap Permen LHK P.39/2017. Penolakan datang dari seantero Jawa, baik dari Jawa Timur, Jawa Tengah, sampai Jawa Barat-Banten. Penolakan disuarakan sejumlah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang merupakan binaan Perhutani dalam kerangka Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Muhammad Adib, Ketua LMDH Agrowilis yang terletak di hutan Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, Jawa Tengah menyatakan, penolakan terjadi karena P.39/2017 meminggirkan keberadaan LMDH. Padahal, masyarakat desa hutan, kelompok tani hutan dan pemangku kepentingan lain yang tergabung dalam LMDH selama ini telah berperan untuk menjaga kelestarian hutan. “Ada kesan sepihak dalam penerbitan P.39/2017,” kata dia ketika dihubungi, Senin (21/8/2017).
Adib menyatakan, tanpa melibatkan LMDH, maka Permen LHK P.39/2017 bisa memicu konflik sosial di tingkat tapak. Ini tak lepas dari tawaran menggiurkan IPHPS, di mana masyarakat bisa mengelola lahan hingga 2 ha selama 35 tahun dan bisa diwariskan. “Konflik bisa terjadi antar-masyarakat,” kata dia memperingatkan.
Dia mengakui, masih ada LMDH yang berkinerja kurang baik. Namun, hal itu tidak selayaknya menjadi alasan untuk meminggirkan peran LMDH. Apalagi, faktanya, banyak LMDH yang berkinerja baik. “Kalau mau obyektif, banyak kok LMDH yang berhasil dari sisi ekonomi dan ekologi. Jadi, jangan ditiadakan,” kata Adib.
Jual-beli lahan
Masih adanya LMDH yang belum berkinerja baik seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membantu. Selama ini, kata Adib, kehadiran negara untuk mendukung LMDH hampir nihil. Pembinaan kesejahteraan LMDH dilakukan sepenuhnya oleh Perhutani.
Ditanya soal adanya praktik miring jual-beli lahan garapan oleh LMDH, Adib mengakui praktik tersebut terjadi pada beberapa LMDH. Namun, dia meminta hal itu tidak dipukul rata. “Tidak semua LMDH ada jual-beli lahan garapan. Saya pastikan praktik itu tidak terjadi di LMDH Agrowilis,” tegasnya.
Untuk mencegah terjadinya konflik, pemerintah diminta untuk menunda dan merevisi Permen LHK P.39/2017. Kalaupun dijalankan, maka harus dilakukan secara selektif pada lokasi-lokasi yang memang layak untuk dilaksanakan. “Kalau dipaksakan, kami khawatir kuantitas dan kualitas hutan Jawa makin menurun, yang akhirnya berdampak pada kami, masyarakat yang benar-benar hidup di desa hutan,” kata Adib.
Adib menambahkan, LMDH seluruh Jawa berencana melakukan pertemuan Selasa (29/8/2017) untuk mengambil sikap resmi terhadap Permen LHK P.39/2017.
Masalah besar
Kisruh perhutanan sosial di Jawa ini makin seru ketika manajemen Perhutani di tingkat tapak juga ikut buka suara mendesak Permen LHK P.39/2017 ditunda dan direvisi. “Permen LHK P.39/2017 menimbulkan masalah besar,” kata Administratur (Adm) Perhutani KPH Bojonegoro, Daniel Budi Cahyono saat Jagongan Rimbawan di Joglo Graha Inovasi Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, Senin (21/8/2017). Kegiatan tersebut ditayangkan langsung Pusat Inovasi dan Kajian Akademik UGM melalui akun PIKA UGM di media sosial YouTube.
Desakan untuk menunda dan merevisi Permen LHK P.39/2017 oleh pejabat Perhutani di tingkat tapak juga mengemuka saat Rapat Kerja Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani di Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Daniel menyatakan, kelestarian hutan Jawa bisa terancam karena dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan yang bisa memaksa pemegang IPHPS melakukan pengaturan kelestarian sumber daya hutan.
Seharusnya, lanjut dia, pengaturan kelestarian pemegang izin mengikuti rencana pengelolaan hutan, dalam hal ini Perhutani. Namun, hal itu tidak diatur dalam Permen LHK P.39/2017.
Daniel memberi contoh pengaturan jenis tanaman pada IPHPS yang berlokasi di hutan lindung. Berdasarkan Permen LHK P.39/2017, persentase tanaman non fast growing species yang berfungsi untuk tata air dan perlindungan tanah ditetapkan hanya 20%. “Padahal, fungsi hutan lindung itu ya untuk tata air dan perlindungan tanah. Lah kok jenisnya cuma dikasih 20%. Lalu jaminannya hutan lindungnya jadi apa?” kata dia.
Daniel juga menyatakan, P.39/2017 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 tahun 2006 jo. PP 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam pasal 48 ayat 2 ketentuan tersebut, pemberi izin dilarang menerbitkan izin pada wilayah kerja BUMN kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan. “Jadi, jelas, Menteri juga tidak boleh menerbitkan izin di kawasan hutan yang dikelola BUMN,” katanya.
Makin rumit, karena dalam Permen LHK P.39/2017, PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tidak dijadikan sebagai konsideran hukum, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran implementasi di lapangan.
Daniel memperingatkan, kelestarian hutan Jawa adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Apalagi, hutan Jawa menjadi penyangga kehidupan 60% masyarakat Indonesia. “Jadi, kalau mau menghancurkan Indonesia nggak usah pakai bom. Hancurkan hutan Jawa, selesai,” cetusnya.
Selesaikan dengan kepala dingin
Sementara itu, anggota Dewan Pengawas Perhutani Haryadi Himawan memahami adanya kekhawatiran bakal habisnya hutan Jawa. Dia menuturkan, dalam IPHPS, setiap penggarap bisa mengelola lahan seluas 2 ha. Nah, anggota LMDH sekarang ada 1,1 juta orang dan ini potensial meminta perlakuan yang sama seperti dalam skema IPHPS. Padahal, wilayah kerja Perhutani hanya 2,4 juta ha. Itu pun sekitar 600.000 ha berupa hutan lindung. “Habis (areal Perhutani) kalau seperti itu, ” katanya.
Haryadi, yang juga Tenaga Ahli Menteri LHK, menyatakan, masih adanya lahan yang tidak produktif tak bisa lantas dinyatakan sebagai kekurangan Perhutani secara keseluruhan. Lahan tidak produktif seluas sekitar 460.000 ha yang ada saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah pengelolaan di masa lalu, di mana ada beberapa pemanfaatan yang tidak sesuai seperti untuk perkebunan tebu dan sawah.
Dia juga mengingatkan, keberadan hutan rakyat di Jawa tak bisa sepenuhnya dijadikan indikator untuk menilai pengelolaan hutan di Perhutani, karena kenyataannya luas hutan rakyat di Jawa stagnan sekitar 940.000 ha.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Bina Perhutanan Sosial di era Kementerian Kehutanan ini mengingatkan, upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak boleh semata hanya dilihat pada penyediaan lahan. Menurut dia, ada hal lain yang mempengaruhi, seperti nilai tukar petani yang terus melorot dan perubahan pola konsumsi rumah tangga petani.
Haryadi pun berharap agar polemik tentang Permen LHK P.39/2017 bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Sugiharto
Baca juga: