Tagihan Ini Bentuk Tanggung Jawab Publik

Wakil Menteri LHK Alue Dohong (tengah) bersama Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman (kanan), saat melakukan pertemuan dengan Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale, Rabu (27/5/2020).
Langkah pemerintah Indonesia c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menagih pembayaran dana Result-based Payment (RBP) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari degradasi hutan dan deforestasi (REDD+) dinilai sudah tepat demi akuntabilitas publik untuk masyarakat Indonesia.

Norwegia berjanji untuk menyelesaikan komitmen mencairkan dana RBP REDD+ periode 2016-2017 sebesar 56 juta dolar AS kepada Indonesia paling lambat Desember 2020. Namun sampai saat ini, belum sepeserpun dana tersebut telah dicarikan.

Indonesia cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun mengingatkan Norwegia soal tunggakan komitmen yang mesti dilunasi.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat Profesor Gusti Hardiansyah menilai langkah KLHK seperti dinyatakan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong untuk mempertanyakan keterlambatan pembayaran kompensasi RBP REDD+ sudah sangat tepat.

“Sudah sangat tepat karena ini menyangkut tanggung jawab kepada publik di tanah air. Agar publik juga jelas,” kata Gusti ketika dihubungi, Jumat (26/2/2021).

Menurut Gusti, komunikasi dan melakukan rekonfirmasi atas keterlambatan Norwegia menunaikan komitmen perlu dilakukan agar ada kejelasan atas situasi yang terjadi.

“Ibarat anak dijanjikan permen, lalu nggak jadi. Nanti Indonesia bisa kecewa. Makanya perlu dijelaskan oleh Norwegia,” katanya.

Gusti menyatakan, penjelasan dari Norwegia diperlukan untuk menjaga kredibilitas negara itu dalam percaturan pengendalian perubahan iklim global.

Menurut Gusti, dalam situasi saat ini di mana pandemi COVID-19 menerjang seluruh dunia tanpa kecuali, pasti juga dirasakan oleh Norwegia. Oleh sebab itu, jika Norwegia bisa memberi penjelasan yang jernih atas keterlambatan pencairan dana RBP REDD+, Gusti meyakini pemerintah dan publik Indonesia bisa memahami.

“COVID-19 ini membuat banyak agenda bergeser. Jadi, mau tidak mau kita harus maklum,” katanya.

Meski demikian, Gusti mengingatkan perlunya Norwegia memberi klarifikasi. “Kita percaya kredibilitas Norwegia. Tapi kredibilitas itu mesti dijaga oleh mereka dengan memberi klarifikasi agar tidak ada prasangka,” katanya.

Gusti merujuk pada situasi lambannya proses untuk pencairan RBP REDD+ dari Green Climate Fund. Menurut dia, GCF sudah memberi penjelasan kepada Kementerian Keuangan atas situasi tersebut. Penjelasan diberikan kepada Kementerian Keuangan sebagai leading sector dalam kerja sama tersebut.

“Jadi, kalau dengan Norwegia, KLHK memang perlu meminta penjelasan karena menjadi leading sector-nya,” kata Gusti.

BPDLH

Selain dengan Norwegia, Indonesia memang punya kerja sama RBP REDD+ dengan pihak-pihak internasional lain. Kerja sama itu adalah dengan Green Climate Fund (GCF) dan Program Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) World Bank untuk provinsi Kalimantan Timur.

RBP GCF diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta ton setara karbon dioksida (CO2eq) dengan nilai 103,8 juta dolar AS. Untuk RBP GCF, saat ini dalam proses menyelesaikan project document yang menyajikan detail pemanfaatan dana yang harus disampaikan oleh Indonesia kepada GCF selambat lambatnya pada April 2021.

Selanjutnya RBP dari kerja sama FCPF Carbon Fund World Bank di Provinsi Kalimantan Timur diberikan atas kinerja penurunan emisi GRK dari kegiatan REDD+ sebesar 22 juta ton CO2eq dengan nilai 110 juta dolar AS untuk 3  kali tahap pembayaran antara tahun 2021-2025.

KLHK dan World Bank  sudah menandatangani emission reduction purchase agreement (ERPA). Nantinya, RBP REDD+ FCPF akan dibayar  3 tahap. Pertama, sebesar 5 juta ton CO2eq sebesar 25 juta dolar AS, yang akan dikucurkan tahun ini. Kedua, senilai 8 juta ton CO2eq setara 40 juta dolar AS yang akan diberikan tahun 2023; dan ketiga sebesar 9 juta ton CO2eq  senilai 45 juta dolar AS pada tahun 2025.

Belum adanya RBP REDD+ yang cair membuat Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup saat ini masih mengelola dana lungsuran dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan KLHK. Dana BLU PPPK sendiri bersumber dari Dana Reboisasi (DR) warisan masa lalu.

Direktur Utama BPDLH, Djoko Hendratto menjelaskan, BPDLH selain mengelola dana dari program REDD+ juga diberikan mandat untuk mengelola Dana Reboisasi dengan total nilai Rp2,014 triliun yang didistribusikan dengan skema dana bergulir untuk usaha kehutanan.

“Usaha kehutanan yang dapat dibiayai dengan dana tersebut bervariasi, mulai dari usaha kehutanan on-farm, antara lain pembiayaan terhadap usaha pembuatan tanaman kehutanan, tunda tebang tanaman kehutanan, pemungutan tanaman kehutanan dan usaha kehutanan off-farm, antara lain pengelolaan hasil hutan dan sarana produksi,” ujarnya, Kamis (11/2/2021).

Total dana yang telah disalurkan sampai akhir tahun 2020 sebesar Rp1,434 triliun, di mana pada tahun 2019 telah disalurkan sebesar Rp578.910.150 dan pada tahun 2020 telah disalurkan sebesar Rp151.414352.390.

Atas sisa dana  sekitar Rp580 miliar telah masuk dalam pipeline BPDLH, di mana pada tahun 2021-2022 akan disalurkan kepada 4.220 debitur yang telah berkomitmen sebelumnya dengan nilai sebesar Rp606,393,430,862.

Selain itu, sisa dana tersebut juga akan disalurkan kepada debitur baru. Beberapa proposal baru telah diterima BPDLH sebanyak 2.430 proposal dengan nilai sebesar Rp777.500.000.000 dan sedang dalam proses penilaian. Sugiharto

Baca juga:

Norwegia Hambat Gerak BPDLH

Indonesia Masih Menunggu Pembayaran