Satu dasawarsa alias 10 tahun jelas bukan waktu yang pendek. Namun, periode waktu tersebut rupanya belum cukup bagi Norwegia untuk menunaikan janji memberi kompensasi kepada Indonesia atas upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan. Sampai kapan?
Nada Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale begitu mantap. Dalam jumpa pers virtual di tengah pandemi COVID-19, usai bertemu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong di Manggala Wanabhakti, Jakarta, 27 Mei 2020 silam, Kaale menyatakan Norwegia akan segera menyalurkan dana kompensasi Result-based Payment (RBP) pegurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) kepada Indonesia.
Saat itu, Kaale menyatakan, setelah 10 tahun menjalin kemitraan, dirinya senang mendapati reformasi kebijakan Indonesia telah membuahkan hasil. Laju deforestasi Indonesia telah jauh berkurang dibandingkan 10 tahun lalu.
“Kemitraan kita memasuki fase ketiga, yang berarti kami akan mulai melakukan pembayaran,” kata Kaale.
Namun, Kaale buru-buru menambahkan, ada satu syarat lagi yang mesti dipenuhi Indonesia. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ benar-benar telah beroperasi.
Persyaratan demi persyaratan memang banyak diajukan oleh Norwegia sejak ditekennya Letter of Intent (LoI) Indonesia-Norwegia untuk kerja sama REDD+ pada 26 Mei 2010. Berbeda dengan Indonesia yang kontan mengambil sejumlah aksi, termasuk tentu saja menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium). Kebijakan moratorium bahkan diperpanjang dan kemudian dipermanenkan, walau dalam LoI moratorium hanya akan diberlakukan 2 tahun.
Meski sejumlah persyaratan diajukan, toh Indonesia bisa memenuhinya. Ini membuat Norwegia akhirnya setuju untuk menyalurkan dana RBP tahap pertama dari total 1 miliar dolar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) yang dijanjikan. Besarnya 56 juta dolar AS dihitung dari pengurangan emisi GRK Indonesia pada periode 2016-2017 yang sebesar 11,23 juta ton setara CO2 (CO2eq).
Komitmen Norwegia untuk menyalurkan dana tersebut bahkan sudah diumumkan pada situs resmi pemerintah Norwegia www.regjeringen.no, 3 Juli 2020. Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Sveinung Rotevatn menyatakan, angka pengurangan emisi GRK Indonesia, jika telah diverifikasi, akan menjadi dasar untuk penyaluran RBP Norwegia ke Indonesia.
“Jika Indonesia terus menunjukan capaian pada beberapa tahun ke depan, akan memungkinkan kami memenuhi janji sebesar 6 miliar NOK,” kata dia dalam pernyataan tersebut.
Indonesia Tagih
Sayangnya, hingga kini komitmen penyaluran RBP Norwegia sebatas manis di atas kertas. Padahal, Indonesia dijanjikan paling lambat akhir Desember 2020, dana RBP tahap pertama akan masuk ke rekening BPDLH. Dana kompenasi tersebut sangatlah bisa mendukung aksi-aksi Indonesia untuk mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.
“Semua sudah kita penuhi, tinggal pihak Norwegia bayar. Janjinya, akhir tahun 2020 yang lalu akan dikucurkan dananya,” cetus Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong secara ‘blak-blakan’ dalam konferensi pers virtual, Kamis (11/2/2021).
Wamen Alue Dohong menuturkan bagaimana kesepakatan Indonesia-Norwegia soal pembayaran tahap pertama RBP REDD+. Indonesia sebelumnya sudah menyiapkan laporan penurunan emisi GRK sebagai dasar pengajuan pembayaran RBP pertama. Laporan ini memuat penurunan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan periode tahun 2016-2017, dengan data baseline tahun 2006-2007 sampai dengan 2015-2016.
Berdasarkan laporan awal penurunan emisi Indonesia 2016-2017, Norwegia akan membayar penurunan emisi GRK Indonesia sebanyak 4,8 juta ton CO2eq. Angka tersebut diperoleh dari total penurunan emisi GRK Indonesia dikurangi faktor risiko ketidakpastian (risk uncertainty).
Pengajuan resmi kepada Norwegia untuk pembayaran sebanyak itu dilakukan Juni 2019 dan selanjutnya dilakukan verifikasi sesuai yang disepakati dalam dokumen MRV (measurement, reporting, and verification). Verifikasi dilakukan oleh Norwegia pada 1 November 2019 hingga Maret 2020. Adapun lembaga yang melakukan verifikasi adalah Ainor, yang ditunjuk oleh Norwegia.
Hasil verifikasi Ainor, kinerja Indonesia dalam menurunkan emisi pada 2016-2017 ternyata mencapai 11,2 juta ton CO2eq. Jauh lebih besar dari laporan awal yang 4,8 juta ton CO2eq. Dengan harga per ton CO2 dibandrol 5 dolar AS, maka pembayaran RBP tahap pertama dari Norwegia diperkirakan mencapai 56 juta dolar AS atau sekitar Rp840 miliar (kurs Rp15.000/dolar).
“Untuk tahap pertama, sudah dilakukan assessment oleh konsultan independen global, Ainor. Ainor memverifikasi laporan hasil pengurangan emisi Indonesia. Dari 2016-2017, Indonesia berhasil mengurangi emisi 11,23 juta ton CO2eq. Itu nett, bersih setelah dipotong uncertainties. Dengan harga 5 dolar/ton, maka disepakati RBP-nya 56 juta dolar AS,” tutur Wamen Alue.
Penuhi Syarat
Alue menekankan, Indonesia telah memenuhi semua persyaratan yang diminta Norwegia. Termasuk yang paling mutakhir soal penyiapan BPDLH. Dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden No. 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, BPDLH resmi beroperasi pada 1 Januari 2020.
Akuntabilitas BPDLH pun tak perlu diragukan lagi. Pasalnya, kata Wamen Alue, BPDLH menerapkan tata kelola keuangan berdasarkan standard Internasonal. BPDLH juga telah lulus due diligence oleh kantor akuntan internasional PriceWaterhouseCooper (PWC).
Yang paling penting, kata Wamen Alue, BPDLH adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Itu berarti tanggung jawab BPDLH langsung berada di pemerintah Indonesia. “BPDLH sudah siap. Syarat-syarat sudah kita penuhi, tinggal kita tunggu komitmen Pemerintah Norwegia untuk menyelesaikan pembayaran itu,” cetus Wamen Alue lagi.
Wamen Alue mengingatkan lagi , kesepakatan atas angka capaian pengurangan emisi GRK yang terverifikasi dan rencana pembayarannya telah diumumkan bersama antara Wamen LHK dan Dubes Norwegia melalui konferensi pers pada 27 Mei 2020. Kesepakatan tersebut kemudian juga telah diformalkan lewat forum Joint Consultation Group (JCG) meeting antara Pemerintah RI dan Norwegia yang dilaksanakan pada 2 Juli 2020.
Wamen Alue juga merujuk pada apa yang sudah diumumkan Pemerintah Norwegia melalui rilis resmi Menteri Iklim dan LH pada tanggal 3 Juli 2020 yang menyatakan bahwa bersedia untuk membayar 56 juta dolar AS atau setara 530 juta NOK kepada Pemerintah Indonesia.
Wamen Alue memastikan, Indonesia sudah sangat sering berkomunikasi dengan Norwegia soal penyelesaian RBP REDD+. “Intinya, sekarang adalah komitmen positif dari kedua belah pihak,” katanya.
Mengkonfirmasi tagihan dari pemerintah Indonesia soal pembayaran RBP REDD+, Agro Indonesia sudah melayangkan konfirmasi kepada pemerintah Norwegia melalui Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta. Namun, hingga Jumat (26/2/2021), belum ada jawaban yang diberikan. Alasannya, konfirmasi atas pertanyaan mesti mendapat persetujuan dari langsung dari pemerintah pusat Norwegia di Oslo. Sugiharto