Di tengah melonjaknya harga gula, petani tebu dalam negeri malah was-was. Pasalnya, pemerintah memutuskan merealokasi ratusan ribu ton gula mentah (raw sugar), yang harusnya untuk gula kristal rafinasi (GKR), menjadi gula kristal putih (GKP). Apalagi, musim giling sudah menjelang. Banjir gula pun membayang.
Harga gula yang terus tinggi dan melonjak tajam sampai Rp19.000/kg, jauh dari harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500/kg, membuat pemerintah seolah kalap. Apalagi, harga tinggi terjadi saat pandemi COVID-19 dan menjelang Ramadhan. Alhasil, serangkaian kebijakan ditempuh untuk meredam harga, dan semuanya adalah jalan pintas: gula impor.
Semua itu berawal dari produksi gula konsumsi (GKP) tahun 2019 yang jauh dari harapan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi gula 2019 hanya 2,2 juta ton (bahkan diyakini kurang dari itu), sementara konsumsi 2,8 juta ton. Jadi, defisit 600.000 ton atau setara dengan konsumsi 3 bulan karena konsumsi nasional 200.000 ton/bulan.
Defisit itu sebetulnya sudah terbaca. Terbukti, Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada September dan Desember 2019 mengamanatkan impor 495.000 ton GKP atau setara 521.000 ton gula mentah (raw sugar). Kemendag juga sudah menerbitkan 15 Persetujuan Impor (PI) sebanyak 520.802 ton gula, yang sudah terealisasi 422.052 ton atau 81,04%. Namun, sejak Februari sampai menjelang Ramadhan ini, harga gula terus menggila. Naik 50% lebih dari angka HET Rp12.500. Di Jakarta per 18 April, harga menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencapai Rp19.150/kg.
Ketika harga tetap bertahan tinggi, pemerintah menugaskan dua BUMN: Bulog dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Mereka ditugaskan impor GKP masing-masing 50.000 ton atau total 100.000 ton. Tender pun sudah dilakukan. Namun, lagi-lagi harga bergeming, sampai jurus pamungkas dikeluarkan. Industri gula rafinasi diminta membantu mengalokasikan 250.000 ton gula produknya dijadikan gula konsumsi. “Ini sesuai risalah Rakortas 20 Maret 2020 dan telah mendapatkan persetujuan Presiden RI,” ujar Mendag Agus Suparmanto.
Jurus terakhir ini membuat meriang petani. “Kebijakan pemerintah itu sudah kelewatan. Memanfaatkan kondisi yang terjadi di dalam negeri,” sergah Ketua DPP Andalan APTRI, Soemitro Samadikun kepada Agro Indonesia, Sabtu (18/04/2020). Dia khawatir, impor besar-besaran di saat musim giling menjelang, akan membuat banjir stok gula di dalam negeri. Dan jika itu terjadi, sudah bisa ditebak, harga gula petani terinjak. “Dengan mulainya musim giling, tentunya pasokan gula di dalam negeri akan banyak. Jika ditambah lagi dengan impor, ya kasihan petani tebu di dalam negeri karena mereka akan merugi,” tandas Soemitro. AI
Laporan selengkapnya baca:
Tabloid AgroIndonesia Edisi No. 763 (21-27 April 2020)
PG Baru Didorong Perluas Areal Tebu