UE Diskriminasi Produk Kayu Indonesia

Uni Eropa melakukan diskriminasi tidak sehat dengan mengenakan bea masuk lebih tinggi terhadap ekspor produk kayu Indonesia, yang menggunakan kayu meranti tanpa alasan jelas. Akibatnya, ekspor jeblok karena sulit bersaing dan diambil Malaysia yang juga menggunakan kayu meranti tapi dengan nama dagang seraya.

Uni Eropa kembali menunjukkan praktik buruk dalam perdagangan bebas. Di tengah kesulitan pandemi COVID-19, benua biru ini menerapkan bea masuk rata-rata 10% untuk produk kayu Indonesia. Pengenaan bea masuk ini terutama untuk produk berbahan baku kayu meranti (Shorea sp.) tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, kinerja ekspor produk kayu Indonesia ke Uni Eropa rontok 34,6% dalam empat bulan pertama 2020 (Januari-April) tinggal 38.000 m3.

Besarnya penurunan ini selain karena COVID-19, juga adanya perubahan kebijakan Uni Eropa, yang menghentikan pengenaan tarif bea masuk preferensi dari negara penerima manfaat Generalized System of Preferences European Union (GSP-EU) untuk tahun 2020-2022 mulai 1 Januari 2020. Kayu dan produk kayu (HS Bab 44) merupakan barang yang terkena product graduation baru atau pembatasan karena telah melampaui ambang batas impor.

Dengan fasilitas GSP, kayu dan produk kayu Indonesia terkena bea masuk 3,5%. Namun, dengan dihentikannya GSP, maka bea masuk kayu dan produk kayu Indonesia naik 100% lebih menjadi sekitar 7% sampai 10%. Namun, penghentian fasilitas GSP tidak membuat resah pengusaha Indonesia seandainya Uni Eropa berlaku fair. Sayangnya, tidak. Rata-rata produk kayu Indonesia dikenakan bea masuk 10% karena produk nasional menggunakan bahan baku kayu meranti sebagai kayu unggulan. “Ini kan namanya diskriminasi,” sergah anggota pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang Bahan Baku, Produksi, dan Pemasaran, Gunawan Salim, Jumat (7/8/2020). “Kenapa meranti putih, meranti merah, dan jenis meranti lain dikenakan tarif 10%?”

Dia tidak tahu alasan Uni Eropa memberlakukan bea masuk yang lebih tinggi untuk jenis kayu andalan Indonesia tersebut. Menurutnya, jika Uni Eropa berdalih meranti menghadapi ancaman kepunahan (endangered), jelas tidak tepat. Pasalnya, meranti tidak masuk dalam CITES sebagai spesies tanaman yang diatur perdagangannya. “Lagi pula 60%-70% kayu yang dihasilkan dari hutan Indonesia itu meranti.  Nggak mungkin endangered, kecuali hanya 2%,” kata Gunawan.

Yang menyakitkan, jiran Malaysia sebagai saingan utama produk kayu Indonesia, malah melenggang di pasar Eropa. Jika ekspor produk kayu negara lain rontok ke pasar Uni Eropa, Malaysia malah satu-satunya yang menikmati kenaikan dan ekspor mereka meroket 47,1% menjadi 27.000 m3 pada periode yang sama berkat bea masuk yang lebih rendah. Padahal, produk kayu Malaysia juga menggunakan bahan baku meranti, meski nama dagangnya berbeda, yakni seraya. Sikap Uni Eropa ini memang ironis. Apalagi, Indonesia adalah negara satu-satunya yang memiliki sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang telah disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) oleh Uni Eropa. Itu sebabnya, Indonesia harus menyuarakan masalah ini karena mereka menerapkan standar ganda. Namun, Indonesia tak perlu mengemis diberlakukannya kembali GSP. Karena itu akan jadi pintu buat Uni Eropa bernegosiasi dagang yang bisa merugikan Indonesia. “Malah seperti politik dagang sapi,” katanya. AI

Selengkapnya baca: Agro Indonesia, Edisi No. 773 (11-17 Agustus 2020)