Dengan dalih menarik minat investor membangun gula terintegrasi dengan kebun tebu, pemerintah memberi insentif izin impor gula kristal mentah (raw sugar). Harapannya, swasembada gula, yang tak pernah tercapai, bisa diraih sesuai target tahun 2019. Petani, yang sudah tergencet ketiadaan Harga Patokan Pemerintah (HPP) dan dibolehkannya Perum Bulog mengimpor raw sugar pada 2016, kontan menolak.
Swasembada gula, yang tak pernah bisa dilakukan Indonesia, kembali mendorong pemerintah mengobral kebijakan. Insentif fiskal berupa pengurangan pajak (tax allowance) sampai pembebasan pajak (tax holiday) untuk perusahaan yang mau membangun industri gula terintegrasi dengan perkebunan tebu ternyata dianggap tidak menarik.
Buntutnya, pemerintah kembali mengalah. Kali ini, gula kristal mentah (GKM) — yang jadi makanan industri gula rafinasi — diberikan sebagai iming-iming investor membangun pabrik gula terintegrasi kebun. “Di samping pemberian insentif pajak, perlu diberikan fasilitas memperoleh bahan baku Gula Kristal Mentah (GKM) impor,” ujar Menteri Perindutrian Airlangga Hartarto.
Insentif ini berlaku untuk semua pabrik gula (PG) di Jawa dan luar Jawa, tapi yang memegang Izin Usaha Industri (IUI) pasca terbitnya Perpres No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Selain itu, untuk PG di Jawa, izin impor raw sugar hanya diberikan maksimal 5 tahun, sementara luar Jawa maksimal 7 tahun. Untuk PG perluasan, mereka juga diberikan izin impor maksimal 3 tahun.
Sejauh ini, ada lima PG baru yang akan menikmati insentif tersebut, yakni PT Gendhis Multi Manis, PT Kebun Tebu Mas, dan Glenmoore (ketiganya di Jawa), serta PT Adi Karya Gemilang (Lampung) dan PT Sukses Mantap Sejahtera (Dompu, NTB). Volume impor memang belum bisa dipastikan. Namun, dari hasil taksasi gula 2017, produksi gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi sekitar 2,2-2,3 juta ton sementara demand mencapai 3,2 juta ton. Berarti defisit bisa mencapai 1 juta ton.
Besarnya potensi impor ini membuat petani pagi-pagi menolak kebijakan Menperin. “Kami minta kebijakan itu ditinjau lagi karena akan memberi dampak negatif bagi petani,”ujar Ketua DPN APTRI, Soemitro Samadikoen, akhir pekan lalu. Apalagi, saat ini petani tebu rakyat sedang mengalami tekanan akibat kebijakan impor GKM kepada Bulog serta penetapan HET untuk gula. “Dengan tidak adanya HPP, maka petani yang ditekan untuk menurunkan harga jual tebunya,” katanya.
Yang menarik, Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Bambang justru bisa menerima kebijakan ini karena bisa menutuo kekurangan gula konsumsi. “Dampaknya, harga gula konsumsi terjangkau bagi konsumen dan diusahakan tidak berdampak bagi industri gula dalam negeri yang melibatkan petani tebu,” katanya. AI
Baca juga: Agro Indonesia Edisi No 640, 30 Mei-5 Juni 2017