Target Meleset, Tataniaga Kayu Disorot

Janji industri furnitur dan kerajinan menghasilkan devisa ekspor 5 miliar dolar AS ternyata sekadar janji. Sementara Vietnam malah mampu meraup devisa 8,5 miliar dolar AS dari produk yang sama. Bahan baku kayu dan rotan yang melimpah tak bisa dimaksimalkan. Belakangan, tataniaga kayu malah disorot sebagai biang keladi. Benarkah?

Ekspor furnitur dan kerajinan pernah punya target hebat. Akhir tahun 2014, pengusaha yang bergabung di wadah Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) optimis, tahun 2019 ekspor furnitur dan kerajinan nasional bakal berkibar menembus 5 miliar dolar AS. Tapi, siapa sangka, ekspor dalam lima tahun berputar di kisaran 1,49-1,71 miliar dolar AS. Jangankan kepala 5, angka 2 miliar dolar AS saja tak pernah tembus.

Bahkan, asal tahu, kinerja furnitur dan rotan bisa mencapai 1 miliar dolar AS sebetulnya ada peran Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang justru sering dikritik pelaku furnitur dan kerajinan. Data yang berbicara. Tahun 2013, saat pertama kali diterapkan, devisa furnitur dan kerajinan masing-masing baru 48 juta dolar AS dan 992.256 dolar AS. Raihan devisa terus melonjak sampai tertinggi pada 2015 sebesar 1,71 miliar dolar AS.

Bahkan, Kepala Sub Direktorat Notifikasi Ekspor dan Impor Produk Industri Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Pramono, punya penilaian menarik. Dari analisis kode HS yang dibebani SVLK dan tidak dibenani SVLK, terjadi tren peningkatan devisa untuk 9 kode HS terkena kewajiban SVLK, sementara 34 kode HS bebas SVLK malah melorot. “Jadi, total nilai ekspor furnitur dan kerajinan terlihat turun akibat terseret produk-produk yang tidak dikenai kewajiban SVLK,” kata Sigit.

Namun, di mata Sekjen HIMKI, Abdul Sobur, seretnya kinerja furnitur dan kerajinan itu akibat ketidakpastian dalam memperoleh bahan baku. Maksudnya? Tataniaga yang ada tidak benar. “Tataniaganya yang salah. Kita ini punya hutan segitu luas kok pasokan bisa kurang? Lucu itu namanya. Kurang karena selama ini hanya menebang-menebang saja tanpa memikirkan keberlanjutannya bagaimana. Seharusnya diatur dengan jelas mana yang boleh ditebang, kapan boleh ditebang, wajib ditanam kembali,” katanya.

Selain itu, Sobur juga menyinggung perlu insentif untuk perusahaan yang berorientasi ekspor. Salah satunya yang ditunggu adalah pembebasan PPN log. “Belum lagi soal pajak dan suku bunga bank. Di Vietnam besaran pajak semua flat 17%. Di kita, pajak badan saja 24%, PPN 10%, bunga bank 10%. Total ada 44%, sehingga menyebabkan biaya tinggi,” jelasnya.

Klasik, memang. Tapi, buat Jajag Suryo Putro, owner produsen furnitur PT Jawa Furni Lestari, melempemnya ekspor furnitur akibat pergeseran tren di pasar global. Konsumen lebih memilih mebel berbahan dasar daur ulang, dan tak lagi berbasis kayu. “Negara produsen kayu tak lagi punya keunggulan komparatif di pasar furnitur global,” kata Jajag. AI

Selengkapnya baca: Tabloid AgroIndonesia, Edisi No. 746 (5-11 November 2019)