

Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)
Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No P.24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate pada tanggal 26 Oktober 2020 membuat galau para rimbawan dan pemerhati kehutanan dan lingkungan. Betapa tidak, penyediaan kawasan hutan untuk penyediaan food estate dengan mekanisme kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) di samping dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dapat juga dilakukan di kawasan hutan lindung.
Hutan lindung yang dimaksud tersebut adalah yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga, penyediaan kawasan hutan untuk food sstate yang diklaim untuk mendukung ketahanan pangan itu dapat dilakukan pada kawasan yang memenuhi sejumlah syarat. Misalnya telah dibebani hak pengelolaan oleh BUMN bidang kehutanan, kemudian kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan setelah dikeluarkan dari areal kerjanya dan terakhir yang telah dicadangkan atau telah dibebani izin perhutanan sosial.
Pertanyaan yang muncul di benak rimbawan adalah apakah tidak ada lagi kawasan hutan produksi yang layak untuk food estate sehingga menggunakan dan memanfaatkan kawasan hutan lindung atau ada alasan lain, misalnya aksesibilitas kawasan hutan produksi yang tersedia sekarang kurang baik dibanding dengan aksesibilitasnya kawasan hutan lindung, atau apa lagi? Padahal, kalau menilik luas kawasan hutan Indonesia yang 125,2 juta ha itu, luas kawasan hutan produksi dapat dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia totalnya adalah 68,6 juta ha (54,79 %). Rinciannya adalah 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai kawasan hutan produksi terbatas dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Mengapa hutan lindung yang luasnya hanya 29,5 juta ha (23,56 %) mesti dikorbankan?
Wilayah Abu-Abu
Dari sejak lahir dan adanya regulasi kehutanan, 3 kawasan fungsi hutan –yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi— yang mempunyai posisi abu abu adalah hutan lindung. Kenapa demikian? Dimulai dengan Undang-undang (UU) No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan, UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) No 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, hanya hutan lindung saja yang tidak mempunyai turunannya (derivative) sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi. Dalam UU 41/1999 tidak ditemukan arti dan penjelasannya. PP 44/2004 pun juga tidak ditemukan arti dan pengertian hutan lindung, hanya disebutkan kriteria penetapan hutan lindung.
UU 41/1999 menjelaskan bahwa turunan hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Sementara UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, turunan kawasan hutan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan turunan kawasan hutan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata. PP 44/2004 menjelaskan bahwa turunan hutan produksi terdiri dari hutan produksi biasa, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah kawasan hutan lindung. Hutan lindung ditetapkan berdasarkan kriteria mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40%; atau ketinggian paling sedikit 2.000 meter di atas permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 atau lebih. Sementara itu, hutan produksi, dengan faktor yang sama, jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 174 ke bawah. Rinciannya 125-174, hutan produksi terbatas, 125 ke bawah hutan produksi tetap dan di bawah 124 hutan produksi yang dapat dikonversi.
Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung di banyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota) apalagi pemerintah pusat. Itulah sebabnya hutan lindung dianggap sebagai kawasan hutan masuk dalam wilayah abu-abu.
Penggunaan dan Pemanfaatan
Dalam pasal 26 UU 41/1999 yang diubah dengan UU 11/2020 tentang UU Cipta Kerja paragraph 4 tentang kehutanan, ayat (1) menyatakan bahwa pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ayat (2), pemanfaatan hutan lindung dilakukan dengan pemberian perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Esensi pemanfaatan hutan lindung adalah pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mengurangi fungsi utama hutan dan dengan tidak mengambil hasil hutan berupa kayu, seperti budidaya jamur, penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti mengambil rotan, mengambil madu, dan mengambil buah. Pasal 29A UU 11/2020 tentang Cipta Kerja bagian kehutanan, pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan kegiatan Perhutanan Sosial.
Dari 5 skema kegiatan perhutanan sosial (hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan), menurut Peraturan Menteri LHK (PermenLHK ) P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, hanya kegiatan hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan yang bisa dilakukan di hutan lindung.
PermenLHK P.27/2018 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) menyebut bahwa kawasan hutan lindung tanpa mengubah fungsi utama kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan meliputi: religi, meliputi tempat ibadah, tempat pemakaman non komersial dan wisata rohani; pertambangan meliputi pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas bumi termasuk sarana, prasarana, dan smelter; ketenagalistrikan meliputi instalasi pembangkit, transmisi, distribusi listrik dan gardu induk serta teknologi energi baru dan terbarukan; panas bumi; telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi serta stasiun bumi pengamatan keantariksaan; jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; fasilitas umum; industri selain industri primer hasil hutan; pertahanan dan keamanan, antara lain sarana dan prasarana latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai, pos lintas batas negara (PLBN), jalan inspeksi; prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat, karantina dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; jalur evakuasi bencana alam, penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya yang bersifat sementara; pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan; pertanian tertentu dalam rangka ketahanan energi; pembangunan bandar udara dan pelabuhan; atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.
Kontroversi
Yang terbaru adalah dengan terbitnya PermenLHK P. 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Food Estate yang menjadi pokok pembahasan di atas dan dianggap kontroversi itu. Kontroversi yang dimaksud adalah:
Pertama, pengertian tentang kawasan hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum jelas. Apakah yang dimaksud dengan kawasan hutan lindung yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung adalah hutan lindung yang secara defacto telah mengalami deforestasi dan degradasi yang cukup parah yang penutupan vegetasi kurang dari 25% dalam satu satuan kawasan ekosistem DAS?
Secara teoritis, sebenarnya keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di Jawa dan Sumatera. Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan “catchment area” Daerah Aliran Sungai (DAS) suatu kawasan. DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir, sehingga apabila terjadi bencana seperti banjir tanggung jawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan ke hilir tetapi juga daerah hulu. Bentuk tanggung jawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda yang di hilir ke pemda yang dihulu. Contoh kasus DAS Ciliwung, bila terjadi banjir pemda provinsi Jabar dan kabupaten Bogor harus ikut bertanggungjawab bersama-sama pemda DKI.
DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ekologis tentang ketersediaan air di daerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan lindung yang ada dihulu dapat dijaga dengan baik. UU 41/1999 yang disempurnakan dengan UU 11/2020 yang baru tentang kehutanan pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam PP. Dalam praktiknya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di Jawa, penutupan hutannya jauh dibawah angka 25%. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4% dan DAS Ciliwung tinggal 8,9% saja.
Kedua, kenapa tidak menggunakan mekanisme yang diatur dalam PP 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yakni perubahan antar fungsi kawasan hutan antara hutan lindung berubah menjadi hutan produksi? Sesungguhnya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi hutan produksi lebih masuk akal untuk kegiatan KHKP yang membutuhkan kawasan hutan (lahan) yang sangat luas. Sebagai contoh food estate di kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalteng membutuhkan lahan lebih dari 300 ribu ha.
Ketiga, data pemanfaatan kawasan hutan lindung untuk kegiatan yang menggunakan kawasan hutan lindung seperti untuk IPPKH sejak 1979-2018 seluas 563.463 ha, hutan desa seluas 1.551.601 ha, hutan kemasyarakatan seluas 743.406,82 ha, dan kemitraan kehutanan seluas 424.940 ha, masih gabung dengan pemanfaatan hutan produksi sehingga data hutan lindung yang dimanfaatkan angkanya masih belum riil karena belum dipisahkan dari hutan produksi.