Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Pada pertengahan tahun 1976, menjelang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Cepu Kabupaten Blora, Jateng, sekolah kami mengadakan study tour di Pantai Baron dan Kukup Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Seingat saya, dari Kota Yogyakarta, memasuki daerah Kabupaten Gunung Kidul kita disuguhkan pemandangan yang cukup memprihatinkan. Disana-sini di sepanjang jalan yang dilalui rombongan siswa-siswi kelas III Paspal, banyak dijumpai tanah yang tandus dan gersang yang kurang sedap dipandang mata. Kesimpulan saya waktu itu, Gunung Kidul adalah daerah minus dengan penduduk yang mayoritas dibawah garis kemiskinan.
Tiga puluh tujuh tahun kemudian (2013), setelah saya menjadi ASN di Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan secara kebetulan membawa rombongan Jambore Penyuluh Kehutanan seluruh Indonesia yang melakukan studi banding ke Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan UGM, di Wanagama menjadi tercengang dan heran akan kondisi Wanagama yang sudah hijau dan menjadi tempat hutan pendidikan. Demikian juga, daerah yang dulunya tandus dan gersang berubah menjadi hijau dengan tanaman jati, mahoni dan kayu-kayuan lainnya. Ini membuktikan bahwa SDM Indonesia mampu membangun hutan meskipun membutuhkan proses dan waktu.
Oleh karena itu, wajar apabila Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan beberapa waktu lalu, dalam silaturahmi alumni dan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Desember 2017 bahwa bangsa kita mampu membangun hutan sebagaimana hutan Wanagama yang mengubah lahan kritis dan gundul menjadi hutan kembali. Masalahnya adakah kemauan yang sungguh-sungguh untuk mengerjakannya? KLHK seharusnya mampu membangun hutan asal dikerjakan secara detail dari hulu ke hilir. Mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan sampai ke penebangan, semuanya dikerjakan dengan cara-cara manajemen yang sangat detail sekali. Sambil menyitir dan menimba pengalaman dari salah satu negara di Skandinavia yaitu Kerajaan Norwegia yang kaya dan makmur hanya mengandalkan dari hasil hutannya. Program RHL belum mampu memberikan keberhasilan yang nyata. Joko Widodo, menyarankan agar meninggalkan paradigma lama dengan jargon menanam satu miliar pohon secara nasional atau satu juta pohon di daerah, namun faktanya tidak ada yang berhasil. Cukuplah fokus berapa hektare yang penting dijamin harus berhasil menjadi hutan yang sebenarnya setelah beberapa tahun kemudian.
Puluhan tahun, Indonesia membangun hutan dari sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan 1976 dan berubah menjadi program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) hingga sekarang dengan biaya triliunan rupiah, namun hasilnya tidak nampak sebagai ekosistem hutan yang utuh. Apa yang keliru dengan program ini? Selama ini pola dan mekanisme RHL yang dilaksanakan pemerintah sejak era orde baru hingga hari ini, pada prinsipnya tidak berubah sama sekali. Dalam membangun hutan melalui kegiatan penanaman tanaman hutan (revegetasi) masih menggunakan pola dan mekanisme pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun). Selebihnya, mulai tanaman umur 4 tahun dan seterusnya untuk menjadi pohon dewasa yang berumur minimal 15 tahun, pemeliharaan dan proses tumbuhkembangnya tanaman diserahkan sepenuhnya kedalam mekanisme alam tanpa adanya sentuhan manusia lagi. KLHK masih juga menggunakan paradigma lama dengan menyodorkan angka-angka dan data luas tanaman yang ditanami tanaman hutan saja setiap tahun, tanpa mampu melaporkan berapa luas tanaman hutan yang benar-benar menjadi hutan dalam arti yang sebenarnya.
Keberhasilan dan Portofolionya
Dalam refleksi akhir tahun 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan menyatakan bahwa luas rehabilitasi hutan dan lahan 2022 seluas 77.103 hektare, termasuk rehabilitasi mangrove. Tak ada penjelasan nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk kategori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total. Di era krisis iklim, rehabilitasi hutan mestinya menjadi kegiatan prioritas karena menaikkan serapan emisi karbon sebagai satu cara mitigasi iklim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa MRV (measurement, reporting and verification) untuk program RHL baik rehabilitasi hutan dan maupun rehabilitasi mangrove hingga saat ini belum terdapat perubahan yang signifikan dan tata kelola administrasinya sangat lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 menyebutkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur tiga tahun) yang telah diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan, dinas provinsi/kabupaten/kota sesuai kewenangannya dilakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan. Sinergi ini yang belum ada. Tata kelola administrasi pengukuran, pemantauan, dan verifikasi (MRV) rehabilitasi hutan belum menjadi portofolio pemerintah dan terdokumentasi dengan baik. Rehabilitasi tak sekadar menanam, karena pohon yang berfungsi menciptakan iklim mikro biasanya pohon dewasa dengan usia 15 tahun.
Dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 ada data rehabilitasi hutan dan lahan pada 2015 seluas 200.447 hektare, 2016 198.346 hektare, 2017 200.900 hektare, 2018 seluas 188.630 hektare, 2019 396.168 hektare, 2021 seluas 152.454 hektare, dan 2022 seluas 112.418 hektare. Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015,2 016 dan 2017 sampai akhir tahun 2022 ini tidak berubah. Padahal waktu membuat pohon bertumbuh. Sehingga datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya.
Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015,2 016 dan 2017 sampai akhir tahun 2022 ini tidak berubah. Padahal waktu membuat pohon bertumbuh. Sehingga datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya. KLHK sebagai otoritas dan penanggung jawab kegiatan RHL di Indonesia, belum mampu menyusun dan menyajikan data keberhasilan RHL (khususnya hutan yang telah dibangun seperti hutan Wanagama) berdasarkan time series yang runut dan logis berikut bukti portofolionya.
Seharusnya sejak tahun 2017, KLHK telah membuat dan mempunyai konsep dan paradigma baru tentang kegiatan RHL seperti yang diarahkan dan diinginkan Presiden Joko Widodo dalam silaturahmi di Fakultas Kehutanan UGM tersebut. Kita khawatir apabila paradigma lama kegiatan RHL diteruskan dan dilanjutkan maka kegiatan RHL akan menjadi cost center bagi kegiatan kehutanan secara keseluruhan yang membebani KLHK setiap tahunnya tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Padahal kegiatan RHL bukanlah cost center karena kegiatan RHL adalah kegiatan utama KLHK yang anggaran disediakan secara khusus melalui dana reboisasi (DR) dan secara resmi dimuat dalam UU no.41/1999 tentang kehutanan yang disempurnakan kemudian dengan UU no.11/2021 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan. Jadi untuk menghilangkan kesan bahwa kegiatan RHL bukan cost center maka KLHK agar segera merubah paradigma kegiatan RHL yang lama yang memberikan kesan memboroskan uang negara, tanpa menghasilkan yang diharapkan yakni terbangun hutan baru yang nyata dan sesungguhnya di lapangan. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. ***