Dinamika Kehidupan Nelayan Lobster: Sejahtera atau Terancam?

Lobster [kkp.go.id]

Oleh: Billy Septian (Mahasiswa Magister Sains Agribisnis, Institut Pertanian Bogor) danFadli, SE, MSi (Praktisi Agribisnis)

Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor kelautan dan sumber daya ikan, terutama subsektor perikanan. Potensi yang dimiliki bangsa ini berkaitan dengan jalur dan perkembangbiakan ikan yang sangat strategis. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia dimandatkan sebagai negara maritim dunia. Sebagai negara maritim, bangsa ini dituntut untuk menjaga sumber daya ikan dan menjadikan sektor perikanan sebagai sumber devisa serta memiliki kontribusi besar terhadap kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.

Salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki potensi pengembangan untuk peningkatan devisa negara adalah udang Lobster. Namun di sisi lain, pengembangan potensi lobster ini masih berbenturan dengan berbagai peraturan yang bisa menjadi hambatan dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. Polemik ini menjadi dilema bagi nelayan dalam mengoptimalkan pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya lobster. Bahkan tidak berlebihan jika penulis menyampaikan bahwa kesejahteraan nelayan dalam posisi terancam. Mari kita uraikan sekilas mengenai lobster, peraturan terkait lobster dan dinamika kehidupan nelayan lobster.

Sekilas Mengenai Lobster

Salah satu jenis lobster yang menjadi primadona bagi konsumen mancanegara adalah lobster laut. Lobster laut merupakan jenis hewan invertebrata yang memiliki kulit yang keras dan tergolong dalam kelompok arthtropoda. Lobster laut memiliki lima fase hidup mulai dari proses produksi sperma atau telur, kemudian fase larva, post larva, juvenil dan dewasa. Secara umum, lobster dewasa dapat ditemukan pada hamparan pasir yang terdapat spot-spot karang dengan kedalaman antara 5-100 meter. Lobster bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) dan melakukan proses moulting (pergantian kulit).

Spence (1989) memberikan gambaran morfologi lobster, dimana lobster terdiri dari kepala dan thorax yang tertutup oleh karapas dan memiliki abdomen yang terdiri dari enam segmen. Lebih lanjut disebutkan bahwa karakteristik yang paling mudah untuk mengenali lobster adalah adanya capit (chelae) besar yang pinggirnya bergerigi tajam yang dimiliki lobster untuk menyobek dan juga menghancurkan makanannya.

Lobster laut atau sering dikenal dengan udang karang merupakan salah satu sumber daya perikanan ekonomis penting di Indonesia. Harganya yang cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas perikanan lain sehingga menyebabkan ekploitasi terhadap lobster menjadi berlebihan. Tinggi harga lobster dipengaruhi oleh tingginya permintaan pada pasar ekspor terutama negara yang berada di wilayah Asia maupun Eropa. Atas dasar permintaan yang tinggi pada pasar ekspor menjadi penting dicermati mengenai manfaat lobster sehingga banyak diminati oleh konsumen mancanegara.

Berdasarkan pendapat dan penelitian dari berbagai sumber menyebutkan mengenai kandungan gizi dan manfaat mengonsumsi daging lobster. Kandungan gizi dari daging lobster, meliputi Natrium, Folate, Fosfor, Magnesium, Seng (Zinc), Protein, Omega-3, Vitamin B12, dan Kalium. Selain itu, lobster juga mengandung kalori sekitar 129 kalori, dan memiliki kandungan protein sebesar 28 gram. Sesuai dengan kandungan gizi yang dimiliki lobster, sehingga berbagai manfaat yang bisa didapatkan jika mengkonsumsi lobster meliputi mencukupi kebutuhan gizi, menjadi sumber protein tinggi, menjaga jantung sehat, meningkatkan stamina tubuh, menjadi multivitamin atau suplemen tubuh, pembentukan sel baru dalam tubuh, mencegah penyakit kwashiorkor atau mal nutrisi, baik untuk perkembangan sel otak, cepat mengatasi memar dan luka lebam, membantu pemasokan energi cadangan, menghaluskan kulit, baik untuk pertumbuhan tulang, dan memperkuat pertumbuhan gigi.

Dinamika Kehidupan Nelayan Lobster

Menjaga sumber daya ikan merupakan suatu tuntutan bersama, karena manfaatnya tidak hanya untuk meningkatkan devisa negara tetapi juga memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan bergizi untuk masyarakat konsumen. Namun demikian peningkatan populasi manusia terutama wilayah pesisir dan laut, ditambah semakin meningkatnya kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dan lautan semakin besar. Produksi perikanan yang termasuk kelompok Crustacea di Indonesia diperkirakan mencapai 23% dari produksi perikanan total dunia. Produksi crustacea ini senilai kurang lebih 2,5-6 Miliar dolar AS, dan menduduki rangking pertama dalam perdagangan perikanan dunia (FAO, 1993).

Semakin tingginya permintaan produk crustacea menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penangkapan udang lobster. Akibatnya adalah akan timbul kecenderungan mengabaikan ukuran penangkapan lobster dan bisa berpotensi terhadap penurunan kuantitas sumber daya crustacea di laut. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 yang didalamnya diatur mengenai penangkapan benih bening lobster maupun yang terkait dengan aturan pembudidaya lobster.

Jika kita flashback kembali mengenai aturan sebelumnya terkait aturan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan yaitu Permen KP Nomor 01 Tahun 2015. Menurut penulis, terdapat beberapa catatan penting mengenai dampak dari terbitnya Permen KP 01/2015. Beberapa diantaranya sebagai berikut ; a) nelayan mengalami kesulitan terhadap pengukuran hasil tangkap lobster (ukuran lebar karapas >8 cm), kepiting (ukuran lebar karapas >15 cm) dan rajungan (ukuran lebar karapas >10 cm) karena sebagian besar penangkapan ikan dilakukan pada malam hari, b) akan menjadi suatu ancaman bagi para nelayan terutama penurunan hasil tangkapan, c) nelayan lobster di wilayah sentral (Nusa Tenggara Barat) akan terancam kesejahteraannya, d) dampak lain dari kebijakan tersebut adalah turunnya harga lobster hasil tangkapan nelayan karena pasar potensial (ekspor) belum tersedia, dan e) seharusnya adopsi teknologi budidaya dan teknologi tangkapan lobster menjadi prioritas.

Terbitnya Permen KP 12/2020  bagi masyarakat nelayan menjadi suatu solusi terhadap berbagai polemik nelayan terhadap peraturan sebelumnya. Melalui Permen KP 12/2020, para Stakeholder Perikanan (lobster) merasakan manfaat ekonomi yang lebih baik dan memicu semangat inovasi dan wirausaha di kalangan nelayan dan masyarakat perikanan dan kelautan.

Peraturan Pengelolaan Lobster Berkelanjutan

Peraturan yang menjelaskan mengenai pengelolaan lobster tertuang dalam Permen KP 12/2020. Dengan diterbitkannya Permen KP 12/2020, semua pihak mendapat keuntungan. Nelayan yang menangkap benih mendapat nilai ekonomi, para pembudidaya menerima juga nilai ekonomi, para pengusaha yang melakukan ekspor juga mendapat untung, serta negara juga memperoleh pemasukan. Oleh karena itu, Permen KP 12/2020 dapat membawa manfaat ekonomi untuk nelayan hingga negara. Selain itu, melalui penerbitan Permen KP 12/2020 sebagai wujud menjawab keluh kesah nelayan penangkap lobster yang mengalami kehilangan mata pencaharian sejak terbitnya Permen KP Nomor 56 Tahun 2016. Salah satu bentuk kehilangan mata pencaharian nelayan penangkap lobster yang dimaksud adalah berkaitan dengan adanya larangan pengambilan benih untuk budidaya sehingga mematikan usaha budidaya lobster masyarakat.

Kondisi yang selama ini menjadi polemik di lingkungan nelayan penangkapan lobster yaitu terkait dengan aturan penangkapan benih bening Lobster. Pada Permen KP 12/2020 pasal 3, menyebutkan bahwa 1) Penangkapan dan/atau pengeluaran benih bening lobster untuk pembudidaya dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan ketentuan berikut : a) kuota dan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster sesuai hasil kajian dari Komnas KAJISKAN yang ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap, b) penangkapan benih bening lobster dan/atau lobster muda dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih bening lobster dan/atau lobster muda, c) penangkapan benih bening lobster dan/atau lobster muda harus dilakukan dengan alat penangkapan ikan yang bersifat statis, d) pembudidaya harus dilaksanakan di provinsi yang sama dengan wilayah perairan tempat penangkapan benih bening lobster dan/atau lobster muda, dan lokasi sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, e) pembudidaya harus melepasliarkan lobster sebanyak dua persen dari hasil panen lobster yang dibesarkan, f) ukuran lobster yang dilepasliarkan sebagaimana dimaksud huruf e disesuaikan dengan lobster hasil panen, g) pelepasliaran lobster dilakukan di wilayah perairan tempat pengambilan benih bening lobsteratau perairan lain sesuai rekomendasi direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan ruang laut, h) pelepasliaran dilakukan oleh pembudidaya yang dilengkapi berita acara dari dinas Kabupaten/Kota yang membidangi perikanan dan ditembuskan ke Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap, i) nelayan kecil penangkap benih bening lobster ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap, dan j) pembudidaya ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan budidaya.

Atas dasar penjelasan pada bagian diatas, sudah jelas mengenai aturan terkait dengan penangkapan benih bening lobster untuk pembudidaya yang diatur dalam Permen KP 12/2020. Yang menjadi polemik dan persolanan adalah implementasi dan transparansi dalam menjalankan serta menginterpretasikan Permen KP tersebut pada ranah aktivitas di lapangan. Permen KP No. 1 Tahun 2015 tentang penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Bertujuan untuk mengelola potensi sumber daya crustacea. Lebih spesifik tentang lobster, yang mana lobster termasuk dalam Famili Palinuridae, lobster dimasukkan kedalam ordo Reptantia sedangkan udang Penaeide (udang windu, udang putih) dimasukkan kedalam ordo Natantia. Lobster sering kali juga disebut spiny lobster. Di Indonesia, selain dikenal sebagai udang barong atau udang karang, lobster juga memiliki berbagai nama daerah. Beberapa diantaranya adalah urang takka (Makassar), koloura (Kendari), loppatasi (Bone), hurang karang (Sunda), bongko (Pangkep),udang puyuh (Padang), udang topeng (Karawang), dan lain-lain (Iskandar, Lobster,Yogyakarta: Kanisius,2010), hlm 18-19.

Berdasarkan paparan tulisan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pembangunan dan pengembangan komoditas sektor Perikanan dan Kelautan diperlukan adanya kerja sama komunikasi stakeholder yang baik dalam mewujudkan pembangunan sektor perikanan dan kelautan berkelanjutan (berkelanjutan secara ekonomi, ekologi dan sosial). Selanjutnya, segala bentuk aturan yang diterbitkan oleh pemerintah pada dasarnya dan seharusnya memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan Nelayan dan tidak menjadi ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan nelayan. Pada akhirnya, Harapan terbesar dari terbitnya aturan atau Permen KP adalah dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan (keberlanjutan ekonomi), dapat meningkatkan kualitas atau ketenteraman kehidupan masyarakat nelayan (keberlanjutan sosial), dan dapat meningkatkan kualitas perikanan dan kelautan (keberlanjutan ekologi).