Wacana pengurangan bea masuk (BM) biji kakao impor, yang diminta Kadin Indonesia dan disepakati Kementerian Perindustrian, mendapat tentangan. Berbeda dengan permintaan penghapusan PPN 10%, pengurangan BM impor akan memukul petani kakao dalam negeri dan bisa mengganggu rencana peningkatan produksi kakao nasional.
Industri kakao mendesak pemerintah untuk mengurangi beban pajak yang sangat berat agar industri pengolah kakao mampu bersaing. Selain terkena pajak pertambahan nilai (PPN) 10%, industri kakao juga kena tarif bea masuk (BM) biji kakao impor 5% dan pajak penghasilan (PPh) 2,5% atau toal 17,5%. “Hal ini mengakibatkan produk kakao olahan dalam negeri kurang berdaya saing, baik di pasar dalam negeri maupun internasional,” ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman di jakarta, Jumat (27/09/2019).
Itu sebabnya, Jasman berharap pemerintah menghapus PPN kakao dan tarif BM impor biji kakao. Hal itu juga sudah disuarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia guna mendukung industri kakao nasional. Selain membebaskan PPN, tarif BM yang 5% juga diturunkan menjadi 1%.
Langkah Kadin dan industri kakao ini memperoleh dukungan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. “Kita ingin nol kan PPN kakao, selain kapas dan log kayu. PPN tidak dihapus, tetapi tarifnya nol. Ini diharapkan bisa mendorong daya saing industri, karena di dalam era free trade ini dengan negara-negara ASEAN sudah nol tarifnya,” kata Airlangga usai membuka kegiatan Hari Kakao Indonesia di Jakarta, Selasa pekan lalu. Saat ini, rencana penghapusan PPN kakao tengah dibahas dengan pihak Kementerian Keuangan dan instansi terkait lainnya. Sementara pembebasan tarif BM juga sedang dilobi ke negara produsen.
Namun, berbeda dengan pembebasan PPN, keinginan mengurangi BM biji kakao impor mendapat penentangan, terutama dari Kementerian Pertanian. Pasalnya, penurunan BM impor dikhawatirkan berimbas ke harga di dalam negeri. Padahal, Kementan sendiri punya program meningaktkan produksi kakao nasional. “Bagaimana kita bisa memacu produksi kakao nasional jika harga kakao di tingkat petani rendah,” kata Kasubdit Tanaman Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementan, Hendratmojo Bagus Hudoro, Jumat (27/9/2019).
Menurutnya, jika BM impor biji kakao dibebaskan, maka petani bisa tidak tertarik tanam kakao karena harga akan rendah. “Kita tetap berupaya meningkatkan produksi kakao dengan program. Namun, peningkatan produksi ini harus didukung lembaga lain,” katanya.
Dirjen Perkebunan Kementan, Kasdi Subagyono mengaku masih mengkaji dampak penurunan atau pembebasan BM impor biji kakao. “Kita harus perhatikan nasib petani kakao. Apalagi, kita punya program untuk meningkatkan produksi kakao nasional,” katanya. AI