Luasan tanam padi bisa saja bertambah di sepanjang tahun 2017 dan diyakini tidak ada masa paceklik di akhir tahun. Namun, kondisi itu belum bisa berdampak positif terhadap pasokan dan harga jual beras di bulan Desember 2017.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikeluarkan pekan lalu menunjukkan, harga beras mulai dari kelas medium hingga kelas premium mengalami kenaikan sepanjang bulan Desember dibandingkan dengan harga bulan sebelumnya.
Sepanjang Desember 2017, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani mengalami kenaikan sebesar 2,69% dari Rp4.995/kg di bulan November menjadi Rp5.081/kg di Desember. Kenaikan juga terjadi pada gabah kering giling (GKG). Rata-rata harga GKG di petani naik 0,22% pada Desember 2017, menjadi Rp5.689/kg dari harga bulan sebelumnya Rp5.689/kg.
Bahkan, harga gabah kualitas rendah juga ikut naik. Di tingkat petani, komoditas itu naik 0,88% menjadi Rp4.615/kg, dibandingkan bulan sebelumnya Rp4.534/kg.
Dalam pernyataannya kepada pers, BPS juga menyebut rata-rata harga GKP tertinggi di tingkat petani terjadi pada Desember 2017 secara year–on–year (yoy) yakni Rp4.995/kg.
Untuk harga beras tertinggi jenis beras berkualitas medium juga terjadi pada Desember 2017 (yoy), yakni mencapai Rp9.526/kg yang terjadi pada bulan Desember 2017. Sedangkan rata-rata harga terendah Rp8.654/kg terjadi pada April 2017.
Dari transaksi penjualan gabah di 1.473 titik, yang tersebar di 21 provinsi selama Desember 2017, BPS juga mencatat transaksi gabah kering panen (GKP) mencapai 65,79%, sementara gabah kualitas rendah 20,50% dan gabah kering giling (GKG) mencapai 13,71%.
Melonjaknya harga beras akhirnya berakibat negatif terhadap laju inflasi. BPS menyebutkan, laju inflasi selama bulan Desember 2017 mencapai 0,71%. Inflasi ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebesar 0,42%.
Adapun penyebab inflasi menurut kelompok pengeluaran tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 2,26% dengan andil 0,46% dan kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 0,75% dengan andil 0,14%.
Ketua Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, bahan makanan kenaikan tertinggi terjadi pada komoditas pangan utama beras yang mengalami inflasi dengan andil 0,08% di Desember 2017. Selain itu, komoditas cabe rawit masih mendorong inflasi meski tak setinggi bulan sebelumnya.
Kenaikan harga beras di tingkat petani dan penggilingan tercermin juga di pasar. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat harga beras secara nasional hingga awal tahun 2018 masih cukup tinggi dan cenderung mengalami tren kenaikan.
Untuk beras kualitas medium II, pada tanggal 5 Januari 2018 harganya secara nasional mencapai Rp10.800/kg. Padahal, pada tanggal 29 Desember 2017 harga beras kualitas ini masih berada di posisi Rp10.500/kg.
Tren kenaikan harga juga terjadi pada beras kualitas bawah II. Pada tanggal 5 Januari 2018, harga rata-rata beras kualitas ini mencapai Rp9.200/kg atau mengalami kenaikan Rp50/kg dibandingkan dengan harga jualnya di tanggal 29 Desember 2017.
Posisi harga beras medium di pasar ini tentunya sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan aturan HET beras yang diterapkan sejak awal September 2017 lalu, HET beras medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali dan NTB adalah Rp9.450/kg, premium Rp12.800/kg.
Untuk wilayah Sumatera lainnya: medium Rp9.950/kg, premium Rp13.300/kg. Sedangkan untuk NTT dan Indonesia Timur, beras kualitas medium HET-nya Rp9.950/kg dan beras premium Rp13.300/kg.
Tidak semua naik
Menanggapi kondisi harga beras sepanjang Desember 2017, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Tjahya Widayanti mengatakan, tidak semua daerah mengalami kenaikan harga beras.
“Di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi beras, harga beras berjalan normal. Hanya saja di beberapa daerah yang bukan merupakan sentra produksi beras harganya naik,” katanya.
Menurutnya, kenaikan harga beras di beberapa daerah itu disebabkan oleh berbagai hal, misalnya saja pasokan yang tidak lancar. “Hambatan berupa cuaca, jalur distribusi bisa menjadi penyebab terganggunya pasokan ke beberapa daerah,” ujar Tjahya kepada Agro Indonesia akhir pekan lalu.
Untuk menstabilkan pasokan dan harga beras, dia menyebutkan Kemendag dan Perum Bulog serta instansi lainnya terus berupaya memasok beras ke daerah-daerah yang harga berasnya masih tinggi. “Kita terus melakukan upaya seperti operasi pasar secara intensif,” ucapnya.
Operasi pasar (OP) beras sendiri sudah diterapkan Kemendag dan Perum Bulog sejak pertengahan Oktober 2017. Adapun target dari OP tersebut adalah sebanyak 82 kota yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga kini OP masih dilakukan di pelbagai kota.
Untuk meningkatkan dampak positif kegiatan OP beras, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan Kemendag akan mengerahkan 150 staf untuk mendampingi divre-divre Perum Bulog dalam melakukan kegiatan OP di pelbagai daerah.
“Mulai pekan depan, kami akan sebar staf kami untuk mendampingi pejabat Perum Bulog di daerah-daerah dalam melakukan kegiatan OP,” ujar Enggar, akhir pekan lalu.
Menurutnya, pendampingan itu diperlukan agar pejabat Perum Bulog bisa menjalankan kegiatan OP dengan baik tanpa takut dikenakan tuduhan yang melanggar aturan.
“Pejabat Perum Bulog di Divre-Divre tak perlu lagi takut dituduh melanggar aturan dalam menggelar OP beras karena sudah didampingi oleh staf Kemendag dan satgas pangan,” ujarnya.
Enggar juga menjelaskan, kegiatan OP sekarang ini bukan lagi berupa menyediakan dan menjual beras di pasar-pasar atau tempat keramaian saja, tetapi juga melalui kerjasama dengan mitra Bulog. “OP dilakukan dengan melibatkan mitra Bulog yang akan menyalurkan beras kepada pedagang-pedagang,” paparnya.
Mendag Enggartiasto optimis mulai minggu ini pasokan dan harga beras di daerah-daerah yang saat ini harga berasnya masih tinggi akan berangsur normal. Apalagi, bulan Januari ini sudah mulai banyak sentra produsen yang mengalami panen. “Kita sudah minta stok digelontorkan secara masif. Minggu depan tersedia barang ini dan harga akan terseret,” yakinnya.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik (OPP) Perum Bulog, Karyawan Gunarso mengatakan, Perum Bulog siap menggelontorkan beras dalam jumlah berapapun yang diperlukan untuk kegiatan operasi pasar guna menstabilkan harga komoditas beras di dalam negeri. “Berapapun yang diminta untuk operasi pasar, kami siapkan,” ujarnya.
Menurutnya, Perum Bulog sebagai operator stabilisasi harga dan pasokan bahan pangan akan melakukan tugas sesuai yang diperintahkan oleh Kementerian Perdagangan. “Kami akan melakukan tugas sesuai yang diminta Kemendag dan kemudian berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait seperti Pemerintah Provinsi dan Dinas Perdagangan-Dinas Perdagangan,” ujarnya.
Beras yang digunakan untuk OP itu, ungkapnya, berasal dari cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di gudang Bulog. Saat ini, sudah 25.000 ton beras CBP pemerintah yang dilepas ke pasar untuk tujuan operasi pasar (OP) yang digelar pemerintah sejak 10 Oktober 2017 lalu.
Data Perum Bulog menunjukkan stok beras yang dimiliki Perum Bulog hingga akhir Desember 2017 mencapai sekitar 1,1 juta ton. Stok itu cukup untuk memasok kebutuhan beras di dalam negeri hingga bulan April 2018. B Wibowo
TNI Pacu LTT
Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Sumardjo Gatot Irianto mengakui bahwa luas tanam padi tahun 2017 menurun dibandingkan tahun 2016. Perluasan itu merupakan bagian dari peningkatan produksi pangan, terutama beras, melalui peningkatan perluasan tanaman komoditas padi, jagung dan kedele (Pajale), yang menggandeng TNI dalam memacu Luas Tambah Tanam (LTT) dan pemanfaatan cetak sawah.
Luas tanam padi tahun 2016 tercatat 5.241.597 hektare (ha), tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 4.827.872 ha. Penurunan LLT pada tahun 2017 ini karena beberapa daerah yang belum mencapai target seperti Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau.
Selain itu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.
Sedangkan, daerah yang mencapai target yang diinginkan adalah Sumatera Barat, Aceh, Banten, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua.
“Tolong yang masih belum optimal untuk dikerjakan di tahun ini (2018, Red.),” kata Gatot saat acara Ketahanan Pangan dan Evaluasi Upsus 2017 di Jakarta, Rabu (03/01/2018).
Gatot mengatakan, setelah melihat hasil capaian luas tanam per provinsi untuk komoditas Pajale ada beberapa provinsi yang surplus dan ada juga yang tidak mencapai sasaran.
Bagi provinsi yang LT (luas tanam) padi Oktober 2016-September 2017 lebih rendah dibandingkan Oktober 2015-September 2016 agar dikompensasi pada LT (luas tanam) Januari tahun 2018 dan provinsi yang LT (luas tanam) padi Oktober-Desember 2017 lebih rendah dibanding Oktober-Desember 2016 dikejar pada LT (luas tanam) padi Januari tahun 2018.
Meningkat
Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (Aster Kasad) Mayjen TNI (AD) Supartodi menyatakan, program Upsus tahun 2017 merupakan awal dari kepercayaan Kementan terhadap TNI AD. Pencapaian LTT Jagung pada tahun 2017 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2016 dengan selisih 4.373.546 ha. Luas tanaman jagung 2016 sebesar 23.578.413 ha. Tahun 2017 tercatat 27.951.959 ha dengan target 25.200.000 ha.
Capaian cetak sawah tahun 2016 dengan target 129.096 ha dan realisasi 124.156 ha. Sedangkan tahun 2017 target 62.179 ha yang sudah teralisasi 60.320 ha.
Menurut Supartodi, adapun beberapa yang perlu dievaluasi dalam LTT tahun 2017, yaitu masih ada petani yang menerapkan budaya tanam tradisional. Petani masih kurang memanfaatkan musim-musim tertentu untuk menanam padi.
Selain itu, pemanfaatan alsintan dirasakan masih kurang. Tanam serentak belum optimal. Bantuan sarana produksi (sarpodi )yang diberikan ke petani masih lambat datang. Pola tanam padi menjadi palawija berdampak kurangnya capaian LTT padi.
Guna meningkatkan LTT, masih perlu dilakukan motivasi petani untuk menerapkan budaya tanam modern. Petani harus bisa memanfaatkan cuaca hujan untuk tanam, terutama untuk daerah-daerah tadah hujan. Selain itu, petani harus optimal dalam penggunaan alsintan. Jadikan tanam serentak sebagai budaya.
Terkait cetak sawah, Supartodi menilai waktu pelaksanaan efektif hanya 5 bulan yang dimulai Juli 2017. Selain itu keterbatasan alat berat di masing-masing wilayah harus segera diatasi, dan Studi Investigasi Desain (SID) tidak valid serta lahan tidak clear and clean. “Sinergi TNI AD dan petani melalui pendampingan harus terus ditingkatkan untuk menghadapi tantangan terkait masalah pangan,” jelasnya. Sabrina