Kondisi Lapangan, Produksi Gabah Turun

Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim dalam tiga tahun kepemimpinan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mampu mencapai empat swasembada bahan pangan, yaitu beras, jagung , bawang dan cabe.

Namun demikian, peningkatan produksi tersebut belum tercermin dengan harga beras di pasaran. Harga beras dalam minggu terakhir ini terus mengalami kenaikan, karena pasokan dari sentra produksi berkurang.

Dede Samsudin, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sri Asih, Desa Ciptamarga, Kecamatan Jayakerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat mengatakan, produktivitas tanaman padi tahun 2017 di beberapa wilayah, seperti Banten dan Jawa Timur, mengalami penurunan.

“Turun karena tanaman padi di banyak daerah terserang hama wereng. Produktivitas berkisar antara 2-3 ton/hektare (ha). Kalau produktivitas turun, maka pendapatan petani juga turun,” katanya saat di hubungi Agro Indonesia, Jumat (05/01/2018).

Ditanya mengenai angka produksi yang diklaim Kementan, Dede mengatakan kondisi lapangan tahun lalu justru banyak tanaman padi yang terserang hama. Selain itu, beberapa daerah juga mengalami keterlambatan tanam.

“Penggilingan padi kesulitan mendapatkan gabah, karena gabah memang tidak tersedia. Kalaupun ada, harga cukup tinggi, sehingga beras yang dihasilkan tidak bisa masuk katagori beras medium,” ungkapnya.

Meski demikian, Kementan mengklaim produksi empat komoditas pangan meningkat cukup signifikan. Produksi padi, misalnya. Jika tahun 2014, produksi hanya 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG), pada tahun 2016 meningkat menjadi 79,1 juta ton GKG dan tahun 2017 naik lagi menjadi 81,3 juta ton GKG.

Hal yang sama juga terjadi pada produksi jagung. Jika tahun 2014 produksinya hanya 19 juta ton pipilan kering, maka pada tahun 2016 melonjak menjadi 23,2 juta ton pipilan kering dan tahun 2017 produksi tercatat sebesar 26 juta ton pipilan kering.

Untuk bawang merah, produksi tahun 2014 hanya 1,2 juta ton, tahun 2016 naik menjadi 1,3 juta ton dan tahun 2017 produksi naik sedikit menjadi 1,42 juta ton. Cabe produksi tahun 2014 tercatat 1,915 juta ton, tahun 2016 naik menjadi 1,918 juta ton dan tahun 2017 turun menjadi 0,99 juta ton.

Optimis

Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga selalu optimis dan mengklaim Indonesia sudah swasembada pangan strategis. “Hari ini kita sudah bisa menyampaikan kepada publik, Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pangan dan stok kita aman,” ujar Mentan dalam Rapat Koordinasi Gabungan Ketahanan Pangan dan Evaluasi Upsus 2017 di Jakarta, Rabu (03/01/2018).

Menurut Mentan, kinerja dan capaian di bidang pertanian pada tahun 2017 cukup baik. Saat ini Indonesia berhasil meraih swasembada pangan untuk 4 komoditas tersebut selama kurun waktu 3 tahun.

Hal tersebut tidak lepas dari kinerja dan sinergi yang baik dari seluruh aspek baik dari TNI, Bulog dan juga Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Kepala Dinas Pertanian. “Kita sudah bisa mengatakan bahwa kita swasembada beras, bawang, jagung dan cabe. Stok kita aman,” tegasnya.

Prestasi itu terjadi karena pertanian Indonesia saat ini memiliki perubahan paradigma baru yang terkait masa tanam dan masa panen. Dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan, maka tidak ada lagi musim paceklik. “Dulu tanam satu kali sekarang dua kali. Dulu tanam dua kali, sekarang bisa tanam tiga kali,” ujarnya

Mentan mengatakan, strategi baru yang dilakukan untuk menghindari paceklik adalah dengan menggenjot tanam di bulan Juli-Agustus-September dan tidak boleh tanam di bawah 1 juta ha. Sebelumnya, selama tiga bulan itu luas tanam hanya 500.000 ha. “Untuk mendukung strategi tersebut, kita juga melakukan pompanisasi, membangun embung, sumur dan irigasi untuk mengoptimalkan air di Indonesia, sehingga indeks pertanaman dapat naik, otomatis produksi juga naik,” jelas Amran.

Mentan menambahkan, saat ini stok aman dan tidak ada impor. Sejak tahun 2016, Indonesia sudah tidak impor beras. Data BPS tahun 2016 mencatat, impor beras 2016 mencapai 1,2 juta ton itu merupakan beras kontrak Bulog tahun 2015 yang masuk Indonesia awal tahun 2016.

Data Kementan dan Kemendag tahun 2016 hingga sekarang tidak ada rekomendasi dan izin impor beras medium.  Jadi, sejak 2016, Indonesia sudah swasembada beras dan tidak ada impor beras medium hingga Desember 2017.

Data BPS mencatat, selama Januari-November 2017 ada impor beras sebesar 258.436 ton. Namun, beras itu bukan beras konsumsi, tapi beras pecah 100% alias beras menir untuk keperluan industri.

Produksi padi pada ARAM-II tahun 2017 sebesar 81,3 juta ton GKG naik dari sebelumnya 2016 sebesar 79,3 juta ton GKG dan 2015 sebesar 75,3 juta ton. Produksi 2017 naik 15,1% dibandingkan 2014. Produksi ini meningkatkan ketersediaan beras menjadi 45,5 juta ton, sehingga surplus dibandingkan kebutuhan konsumsi sekitar 33 juta ton setiap tahunnya.

Surplus beras ini terkonfirmasi dengan data stok beras di Bulog pada November 2017 sebesar 1,16 juta ton, yang cukup aman hingga April 2018 karena pada akhir Januari 2018 sudah memasuki panen raya.

Pasar Induk

Tak hanya itu. Stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) sepanjang 2017 juga lebih tinggi 2-3 kali lipat dibandingkan stok tahun 2012-2014. Data PIBC tiga bulan terakhir (Oktober-Desember 2017) mencatat stok beras Oktober 2017 sebanyak 53.196 ton atau lebih tinggi 28% dibandingkan periode yang sama 2016; November 2017 sebanyak 43.676 ton atau lebih tinggi 16%; dan Desember 2017 sebanyak 36.701 ton atau lebih tinggi 3,45% dari periode yang sama tahun 2016.

Sukses capaian swasembada beras ini juga ditandai dengan tidak adanya impor beras konsumsi masyarakat. Bahkan, pada 2017 terjadi ekspor beras ke Papua Nugini dan ke Malaysia, bantuan beras ke Srilanka dan Myanmar. Begitu juga dengan jagung. Untuk bawang merah Indonesia telah berhasil mengekspor bawang merah ke 6 negara.

Mentan mengatakan, setelah 4 komoditas berhasil swasembada, maka tahun 2018 Indonesia akan lebih fokus kepada komoditas lainnya, yakni rempah-rempah, bawang putih, gula dan kedelai. “Ke depan kita akan fokus kepada kejayaan rempah-rempah, bawang putih,  gula dan kedelai,” katanya.

Sukses mencapai swasembada beras berkat berbagai program pengungkit produksi sejak Oktober 2014, yaitu  menerbitkan kebijakan dan anggaran pro-petani, merevisi regulasi yang menghambat dan membangun infrastruktur rehabilitasi jaringan irigasi tersier 3,4 juta ha.

Selain itu, membangun 2.278 embung, cetak sawah dan optimasi lahan 1,08 juta ha, pengembangan lajan rawa 367.000 ha, mekanisasi dengan alat mesin pra dan pasca panen 249.680 unit, bantuan benih, membangun 1.313. desa mandiri benih, 714 desa mandiri organik  dan  subsidi pupuk 27,64 juta ton sehingga berdampak langsung pada luas tanam dan produksi. Jamalzen/Sabrina

OP Beras Bulog Gunakan Rastra

Klaim swasembada dan surplus produksi beras oleh pemerintah dianggap tidak masuk akal oleh Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa. Bahkan, Dwi mengaku tak pernah percaya sama sekali dengan data yang dikeluarkan Kementan. “Disparitas data dengan kenyataan terlalu tinggi, antara 20%-25%. Selain itu, banyak kepentingan sehingga data itu tak bisa dipercaya sama sekali,” ujar Dwi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) ini.

Menurutnya, klaim pemerintah tidak masuk akal karena jika surplus bisa dilihat harga di pasar. “Pasar tidak bisa dibohongi. Naiknya harga beras saat ini murni persoalan supply-demand. Kalau supply tidak memadai, berarti produksinya bermasalah. Itu saja,” tandasnya.

Dia khawatir dengan kondisi perberasan saat ini. Apalagi, stok Perum Bulog sudah di bawah 1 juta ton, di mana cadangan beras pemerintah (CBP) yang biasanya dipakai untuk OP beras hanya tersisa 11.000 ton. “Sampai dua hari terakhir, stok Bulog tinggal 945.000 ton, di mana CBP sekitar 11.000 ton dan sisanya rastra (beras rakyat sejehtara), plus sedikit beras komersial.”

Dengan kata lain, jika ingin menggelar OP, maka Bulog akan menggunakan rastra karena menggunakan CBP relatif sudah tidak ada.

Menurutnya, tahun 2018 ini kemungkinan volume rastra akan makin mengecil. Jika semula sekitar 260.000 ton/bulan, “Mungkin tahu ini rastra dibagikan tinggal 115.000 ton/bulan dan sisanya dengan voucher pangan,” paparnya.

Buat Dwi, dari sisi tatakelola dia tidak memasalahkan penurunan volume beras yang dipakai untuk rastra. Hanya saja dia khawatir dengan stok beras Bulog saat ini. Jangan sampai peristiwa 1998 terulang ketika stok Bulog tinggal 500.000 ton dan memicu impor beras terbesar sepanjang sejarah.

Dwi mengaku pemerintah sebetulnya tahu kondisi beras dalam negeri dan apa jawabannya. “Menko Perekonomian, Mendag, dan apalagi Bulog sudah tahu situasinya. Apalagi, Pak JK (Wapres Jusuf Kalla) kan pada Desember sudah memutuskan impor beras, tapi kenyataan belum jalan,” katanya.

Hanya saja, dia menilai persoalannya selalu ada Kementan — yang menjanjikan semuanya cukup dan pasok memadai. Kondisi iniah, menurut Dwi, yang membuat Presiden kemungkinan menjadi ragu-ragu. AI