Ramai kritik soal aktivitas konstruksi di Pulau Rinca, Taman Nasional (TN) Komodo, Nusa Tenggara Timur. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan, aktivitas tersebut dijalankan dengan tetap memperhatikan kaidah konservasi. Demi menggerakan ekonomi setempat bernilai setengah triliun Rupiah.
Aktivitas konstruksi di Loh Buaya, Pulau Rinca, TN Komodo memicu kritik dari berbagai kalangan, karena dinilai bisa mengancam kelestarian satwa komodo (Varanus komodoensis), satu-satunya satwa purba yang tersisa dari eranya.
Aktivitas konstruksi yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat (PUPR) itu untuk memoles TN Komodo sebagai ‘Bali baru’, sesuai Peraturan Presiden No. 3 tahun 2016 tentang 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Aktivitas konstruksi yang dilakukan mencakup peningkatan dermaga saat ini, bangunan pengaman pantai, elevated deck, pusat informasi serta penginapan ranger, guide, dan peneliti, kantor resort, guest house dan kafetaria.
Kementerian PUPR menyatakan, penataan kawasan Pulau Rinca dengan penuh kehati-hatian. Kementerian PUPR juga bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) c.q. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yang ditandai dengan penandatanganan kerja sama pada 15 Juli 2020.
“Pembangunan infrastruktur pada setiap KSPN direncanakan secara terpadu, baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi,” ujar Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Senin (26/10/2020).
Basuki menjelaskan, koordinasi dan konsultasi publik yang intensif terus dilakukan, termasuk dengan para pemangku kepentingan lainnya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di lapangan untuk mencegah terjadinya dampak negatif terhadap habitat satwa, khususnya komodo.
Saat ini penataan Pulau Rinca tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang. Untuk keselamatan pekerja dan perlindungan terhadap satwa komodo, telah dilakukan pemagaran pada kantor direksi, bedeng pekerja, material, lokasi pembesian, pusat informasi, dan penginapan ranger.
“Kami selalu didampingi ranger dari Balai Taman Nasional Komodo, sehingga proses pembangunan prasarana dan sarana tidak merusak atau mengganggu habitat komodo,” kata Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Provinsi NTT, Herman Tobo.
Izin Lingkungan Hidup terhadap kegiatan Penataan Kawasan Pulau Rinca di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat telah terbit pada 4 September 2020 berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup yang telah memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo.
Lahan Sudah Termanfaatkan
Penjelasan Kemeterian PUPR didukung oleh KLHK. Dirjen KSDAE KLHK Wiratno mengungkapkan, pihaknya terus mengawasi aktivitas konstruksi yang tengah berlangsung untuk memastikan tidak ada komodo maupun pekerja yang terluka.
“Setiap hari ada 10 ranger yang menjaga,” katanya, Rabu (28/10/2020).
Dia menjelaskan, penataan kawasan di Pulau Rinca tidak membuka lahan baru dan hanya memanfaatkan lahan yang saat ini sudah dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana. Penataan dilakukan agar sarpras menjadi terpadu dan berkelas dunia. Saat ini, bangunan seperti pusat informasi terpencar-pencar
Menurut Wiratno salah satu sarpras yang ditata adalah elevated deck yang melayang dari tanah. Ini menggantikan jalan setapak yang saat ini digunakan. Pembangunan elevated deck ditujukan agar pengunjung tidak berinteraksi langsung dengan komodo.
“Pengunjung bisa lihat dari atas, tidak bersentuhan langsung dengan komodo seperti sekarang,” katanya.
Wiratno menegaskan, pembenahan Loh Buaya di Pulau Rinca berada di zona pemanfaatan TN Komodo. Luas TN Komodo mencapai 173.300 hektare (ha) dengan 40.728 ha berupa daratan (23,51%) dan 132.572 ha merupakan kawasan bahari (76,49%).
Sementara luas zona pemanfaatan wisata daratan 824 ha (0,4%) dan luas zona pemanfaatan wisata bahari 1.584 ha (0,9%). Luas areal pemanfaatan saat ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan peta zonasi TN Komodo sebelumnya.
“Luas keseluruhan areal penataan di Loh Buaya seluas 1 hektare. Untuk yang dimanfaatkan berupa bangunan jauh lebih kecil,” kata Wiratno.
Soal foto viral yang menampakan adanya komodo berhadapan dengan truk, Wiratno menjelaskan areal sarpras saat ini yang sedang dalam proses penataan memang menjadi ada sekitar 15 individu komodo yang sering berkeliaran. Beberapa di antaranya memiliki perilaku yang tidak menghindar dari manusia.
Makanya, KLHK menempatkan ranger di area penataan sarpras. Para ranger secara intensif melakukan pemeriksaan keberadan komodo termasuk di kolong-kolong bangunan, bekas bangunan, kolong truk pengangkut material untuk memastikan keselamatan dan perlindungan komodo, termasuk para pekerja.
Soal penggunaan truk, Wiratno menyatakan penggunaan truk lain dilakukan karena tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia untuk mengangkut material pembangunan. “Penggunaan truk dan alat berat lainnya tetap dengan prinsip kehati-hatian,” katanya.
Izin Wisata
Penolakan terhadap aktivitas pembangunan sarpras wisata di TN Komodo sejatinya juga pernah mencuat tahun 2018. Saat itu, salah satu pemegang izin usaha pengusahaan pariwisata alam (IPPA) berencana membangun aktivitas pembangunan sarpras. Namun, rencana tersebut dibatalkan setelah ramai penolakan.
Wiratno menjelaskan, penataan yang saat ini dilakukan murni oleh pemerintah dan bukan oleh perusahaan pemegang IPPA. Menurut dia, semua perusahaan IPPA di TN Komodo, sampai detik ini belum aktif beroperasi meski telah mengantoni izin sejak tahun 2014.
“Semua izin belum aktif meski secara aturan dibolehkan,” katanya.
Perusahaan IPPA yang mendapat izin di TN Komodo adalah PT Komodo Wildlife Lestari yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) pada akhir September 2014 di Pulau Komodo dan Pulau Padar masing-masing seluas 274,13 ha dan 151,94 ha.
Sementara di Pulau Rinca, pulau di mana lokasi penataan sedang dilaksanakan, ada PT Segara Komodo Lestari yang mendapat IUPSWA tahun 2015 seluas 22,1 ha atau 0,1% dari luas Pulau Rinca yang seluas 20.721,09, dengan luas pembangunan sarpras yang dizinkan maksimal 10% dari izin atau 2,21 ha.
Meski ada izin yang diberikan kepada perusahaan swasta, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat tetap dikedepankan. Masyarakat juga bisa mendapat Izin Usaha Jasa Wisata Alam. “Jadi, masyarakat dari Kampung Komodo, Rinca diprioritaskan. Sebagian besar guide dari kampung-kampung tersebut,” kata Wiratno.
Dia menekankan soal besarnya dampak kegiatan wisata di TN Komodo terhadap kesejahteraan dan perekonomian setempat, bahkan meluas hingga Kabupaten Manggarai Barat dan Provinsi NTT. “Tidak fair kalau taman nasional indah, tapi masyarakatnya miskin,” katanya.
Menurut Wiratno, setiap Rupiah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan dari tiket masuk wisatawan mampu memacu perekonomian daerah hingga puluhan kali lipat. “Hitungan saya, tiap Rp1 bisa mem-blast ekonomi daerah hingga 60 kali lipat,” katanya.
Dia menguraikan, pada tahun 2013, PNBP dari TN Komodo mencapai Rp4,4 miliar. Pada saat bersamaan, dampak ekonominya bagi Kabupaten Manggarai Barat mencapai Rp270 miliar. Share terbesar diterima oleh operator kapal wisata sebesar 76%, sementara 22% lainnya diterima oleh hotel, restoran dan suvenir.
Jumlah PNBP dari TN Komodo terus meningkat dan pada tahun 2016 PNBP diterima sebesar Rp22,8 miliar. Dari penerimaan itu, dampak yang dihasilkan adalah mampu menggerak perekonomian hampir setengah triliun Rupiah atau Rp500 miliar. Sebesar 51% dari perputaran ekonomi itu dinikmati oleh operator perahu wisata. Sugiharto
Baca juga:
Katanya, Komodo Tidak Nyaman
Pembangunan P. Rinca Ancam Komodo?
Populasi Komodo Terus Meningkat
Operasionalisasi wisata di Taman Nasional Komodo diyakini tidak mengganggu kelestarian komodo di wilayah itu. KLHK mengungkapkan, populasi komodo tercatat mengalami peningkatan.
Menurut Dirjen KSDAE KLHK Wiratno, populasi komodo pada tahun 2018 tercatat sebanyak 2.897 individu. “Pada tahun 2019 jumlahnya bertambah sebanyak 125 individu menjadi 3.022 individu,” katanya.
Konsenstrasi komodo ada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Namun, ada juga komodo yang hidup Pulau Padar (7 indvidu), Gili Motang (69 individu) dan Nusa Kode (91 individu).
Di lembah Loh Buaya yang luasnya sekitar 500 hektare, lokasi di mana penataan sarpras sedang dilakukan, populasi komodo tercatat ada 66 individu atau sekitar 5% dari seluruh populasi komodo di Pulau Rinca.
Menurut Wiratno, populasi di lembah Loh Buaya relatif stabil dengan kecenderungan meningkat selama 17 tahun terakhir.
Dia menyatakan, pemantauan komodo terus berlangsung berkerja sama dengan Komodo Survival Program (KSP). Untuk pemantauan komodo dipasangi chips. Sudah ada sekitar 1.000 komodo yang telah dipasangi chips. “Ini untuk memantau apakah komodo itu baru atau yang sudah ada sebelumnya,” katanya. Sugiharto