Kemenangan Donald Trump tak saja memukul kubu Partai Demokrat, tapi menjadi awan kelabu buat aksi-aksi iklim global. Apalagi, kemenangan itu hanya berselang beberapa hari dari acara pertemuan puncak iklim PBB COP-29 yang akan digelar pekan depan di Azerbaijan.
Namun, para pemimpin perjanjian iklim bersejarah yang ditandatangani di Paris 2015 optimis dan yakin momentum dekarbonisasi tidak akan berhenti.
Seperti diketahui, dalam kampanyenya Trump menyatakan jika terpilih dirinya akan menarik mundur lagi Amerika dari Perjanjian Paris, seperti yang dilakukannya pada masa jabatan periode pertama.
Yang menyedihkan lagi, perundingan ikim paling penting di dunia ini juga makin kurang mendapat perhatian dari para pemimpin politik dan bisnis, di mana banyak yang mengundurkan diri dari acara yang digelar di negara penghasil minyak Azerbaijan ini menjelang Pilpres AS.
Presiden Uni Eropa (UE) Ursuula von der Leyen dan Presiden Prancis Emmanuel Macron diperkirakan tidak akan menghadiri acara di Baku tersebut. Sementara Kanselir Jerman Olaf Scholz dan PM Inggris Sir Keir Starmer masih akan hadir.
Para pentolan industri keuangan dunia, seperti Bank of America, BlackRock, Standard Chartered dan Deutsche Bank juga tidak akan hadir. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh pemimpin aliansi iklim sektor keuangan Mark Carney, yang menonjol sejak ditunjuk menjadi utusan PBB tahun 2020. Salah seorang eksekutif perminyakan AS mengaku dirinya tak akan hadir karena kedekatan Azerbaijan dengan Rusia.
Seorang juru runding iklim dari negara G20 menukas: “Apakah kita semua harus berangkat ke COP-29 sekarang? Ini jadi makin sulit. (Trump) sudah jelas posisinya tentang perubahan iklim. Ini membuat segala suatunya menjadi sulit. Dia bukanlah pendukung globalisasi atau multilateraisme. Dia adalah orang yang sangat (berprinsip) Amerika duluan.”
Pada COP-29 tahun ini, negara-negara diharapkan menyepakati tujuan pembiayaan iklim baru, yang bertujuan membantu negara-negara berkembang menciptakan sistem energi hijau dan beradaptasi dengan dunia yang semakin memanas. AS, sebagai negara terkaya di dunia, dianggap sangat penting untuk tujuan tersebut.
Namun, penasihat iklim Bank Pembangunan Inter-Amerika, Avinash Persaud mengatakan, hal itu “sangat bergantung pada Menteri Keuangan AS berikutnya”.
“Dunia perlu berkumpul kembali, dan COP adalah tempat yang baik untuk itu, guna mempertimbangkan bagaimana kita maju dengan atau tanpa sang konsumen dan produsen bahan bakar fosil terbesar di dunia tersebut. Kita tidak punya pilihan lain. Sistem fisik planet tidak (sejalan dengan) siklus pemilihan AS.”
Eamon Ryan, menteri iklim Irlandia yang akan memimpin pembicaraan adaptasi di COP-29 mengatakan, kemenangan Trump menjadikan kesepakatan untuk menyetujui pembiayaan baru menjadi “lebih penting” dan fokus pada “reformasi mendasar sistem keuangan untuk menyatukan iklim dan pembangunan”.
“Ini tidak mengubah apa yang perlu kita lakukan di Baku, meski mungkin membuatnya lebih sulit. Tapi itu tidak mengubah alasan strategis kita untuk perlu mengambil tidnakan.”
Dia mengatakan, kepentingan setiap negara adalah melindungi rakyatnya dari perubahan iklim, dengan dorongan ekonomi dan geopolitik bagi banyak negara untuk mentransformasi ekonomi mereka dan memastikan mereka tidak bergantung pada impor bahan bakar fosil.
Kampanye Trump
Selama kampanyenya, Donald Trump menyuarakan dukungan terhadap industri bahan bakar fosil, yang merupakan salah satu donor besarnya, dan juga berjanji untuk mencabut Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang disebutnya “sosialis”.
Undang-undang tersebut telah mengalirkan investasi swasta sekitar 450 miliar dolar AS ke sektor energi AS, menurut Clean Investment Monitor. Konsultan BloombergNEF memperkirakan pencabutan IRA akan mengakibatkan penurunan 17% dalam penambahan kapasitas energi terbarukan baru dari 2025 hingga 2035, dengan pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai turun hingga 45%.
Namun, menurut analisis Financial Times, diperkirakan tiga perempat dari semua proyek manufaktur yang diumumkan dalam tahun pertama pemberlakuan undang-undang itu menguntungkan distrik Republik, dan 18 anggota DPR dari Republik baru-baru ini mengirim surat yang isinya menentang “pencabutan dini kredit pajak energi” yang mendukung investasi baru IRA.
Rajani Ranjan Rashmi, mantan negosiator iklim India mengatakan, pendekatan Trump terhadap transisi energi domestik “lebih penting” daripada sikapnya terhadap Perjanjian Paris.
Aliansi dengan pendiri Tesla, Elon Musk juga mungkin berarti bahwa “Trump mungkin tidak sepenuhnya melarang” IRA, tambahnya. “Meskipun dia kemungkinan akan memanfaatkan perdagangan, akan menarik untuk melihat bagaimana dia bereaksi terhadap ancaman tarif berbasis karbon Eropa. Secara keseluruhan, sinyal-sinyal tampaknya bercampur.”
Christiana Figueres, yang memimpin Perjanjian Paris sebagai kepala iklim PBB mengatakan dirinya tidak percaya perubahan yang sedang berlangsung untuk dekarbonisasi ekonomi global akan berhenti.
“Teknologi energi bersih akan terus mengalahkan bahan bakar fosil, bukan hanya karena lebih sehat, lebih cepat, lebih bersih, dan lebih berlimpah, tetapi karena mereka mengurangi bahan bakar fosil di titik terlemah mereka: volatilitas dan inefisiensi yang tak terpecahkan,” katanya.
Arsitek kunci lain dari Perjanjian Paris, Laurence Tubiana mengatakan, perjanjian itu telah terbukti tangguh dan akan bertahan dari penarikan diri AS, dan konteks ekonomi global sudah berubah. “Ada momentum ekonomi yang kuat di balik transisi global, yang dipimpin dan diuntungkan oleh AS, tetapi sekarang berisiko kehilangan.”
Namun, dia mencatat bahwa tanggung jawab akan jatuh kepada Uni Eropa untuk meningkatkan tindakannya “untuk menunjukkan bahwa aksi iklim yang ambisius melindungi orang, memperkuat ekonomi, dan membangun ketahanan”.
Utusan iklim Jerman Jennifer Morgan mengatakan, negaranya akan bekerja dengan pemerintahan AS berikutnya “sejauh mungkin… untuk mengatasi tantangan keamanan bersama, termasuk krisis iklim”.
Seorang negosiator Eropa mengamati bahwa AS selalu menjadi mitra yang sulit dalam pembicaraan pembiayaan iklim. “Biden juga tidak memenuhi janji pembiayaan iklim,” kata mereka.
Para ilmuwan pesimistis terhadap dampak yang mungkin dari Pilpres AS terhadap pembatasan pemanasan global. “Ini akan memencet tombol jeda pada aksi iklim selama empat tahun — mampukah kita melakukannya? Jawabannya adalah tidak,” ujar Johan Rockström dari Potsdam Institute. AI