Ekspor Jeblok, HIMKI Tuding SVLK

Kinerja ekspor mebel dan furnitur ternyata terus memburuk dan sejumlah pabrik besar menutup usaha dan memindahkan investasinya ke Vietnam dan Malaysia. Ekspor tahun 2016 pun menurun tajam sampai 16%. Buntutnya, penerapan SVLK kembali digugat dan minta dibebaskan untuk industri hilir, terutama untuk produk mebel dan furnitur.

Di tengah membaiknya permintaan pasar terhadap produk kayu tropis, terutama di Uni Eropa dan Amerika Utara, kinerja ekspor mebel dan furnitur nasional malah melempem. Padahal, nilai impor produk kayu Uni Eropa (UE) tahun 2016 naik 1,3% menjadi 17,48 miliar Euro dibanding impor 2015 dan ini impor tertinggi sejak krisis keuangan global 2008. Sementara di pasar Amerika, impor furnitur kayu tahun 2016 juga mencetak rekor, naik 3% dari 2015 menjadi 16,71 miliar dolar AS.

Namun, alih-alih menikmati kenaikan permintaan di dua pasar besar itu, produk mebel dan furnitur kayu nasional malah melorot tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor mebel dan furnitur tahun 2016 hanya 1,608 miliar dolar AS. Ini penurunan tajam sampai 16% dari kinerja 2015 sebesar 1,93 miliar dolar. Bahkan angka ekspor 2016 masih jauh di bawah kinerja 2014 yang mencetak angka 2,2 miliar dolar AS.

Wakil Ketua Umum Himpunan Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur mengakui, nilai ekspor furnitur Indonesia di tahun 2016 terjun bebas akibat berbagai kendala. Dia menyebut iklim investasi di sektor furnitur Indonesia kurang menarik, dan itu dibuktikan dengan kepindahan beberapa pabrik furnitur besar ke luar negeri. “Dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, ada beberapa pabrik besar yang sudah memindahkan kegiatan produksinya ke Vietnam, seperti WWI dan Maitland Smit,” ujar Sobur, Jumat (10/03/2017).

Dia menilai penurunan kinerja ekspor mebel dan furnitur sangat ironis dan memalukan. Yang menarik, dia menuding kepindahan pabrik besar ke Vietnam justru akibat penerapan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). “Sejumlah buyer mengalihkan pesanan dari Indonesia ke negara-negara yang tidak menerapkan SVLK terhadap industri hulu dan hilir kayunya, seperti Vietnam, Malaysia dan China,” katanya. Itu sebabnya, Sobur minta kebijakan SVLK direvisi untuk industri hilir.

Kinerja Vietnam tahun 2016 memang kinclong. Di pasar Amerika, data ITTO memperlihatkan ekspor furnitur kayu tumbuh 6% dengan devisa 3,19 miliar dolar AS, nomor dua setelah China di pemuncak dengan ekspor 7,81 miliar dolar AS. Indonesia? Terpuruk di posisi enam dengan pertumbuhan devisa minus 9% (terbesar) sebesar 532,8 juta dolar AS bersama Malaysia yang juga minus 5% di posisi keempat (640 juta dolar AS).

Namun, penilaian Sobur soal SVLK malah menuai kritik balik. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor produk kayu. Ada gairah pasar, desain produk dan harga kompetitif, tak semata SVLK. “Ada faktor selera dan daya beli pasar yang mempengaruhi ekspor produk kayu Indonesia. Jadi, jangan mikir pendek, sebentar-sebentar SVLK-nya dinyatakan memberatkan,” ujar Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rufi’ie di Jakarta, Kamis (9/3/2017). AI