Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mendukung terwujudnya pola kemitraan yang kuat antara petani dan perusahaan. Salah satunya melalui kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagai skema kemitraan baru setelah berakhirnya program pemerintah yang “mengawinkan” perusahaan dengan petani seperti Program Inti Rakyat (PIR) Bun, PIR NES, PIR KKPA.
“Dengan berakhirnya berbagai program PIR tadi sekitar 2005. Maka pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar menjadi salah satu solusi mengatasi ketimpangan kesejahteraan di perkebunan dan menjaga hubungan yang harmonis antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya,” ujar Heru Tri Widarto, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI.
Dukungan kemitraan ini disampaikannya dalam Diskusi Virtual Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertemakan”Memperkuat Kemitraan Sawit Melalui Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat”, di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Heru mengatakan pola FPKM oleh Perusahaan Perkebunan dimulai sejak Permentan No. 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, sebagaimana telah diubah melalui Permentan No. 98 Tahun 2013 dan dikuatkan dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang.
Selanjutnya, ada tiga fase pelaksanaan FPKM oleh perusahaan perkebunan. Fase pertama ini berlaku bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007. Khusus bagi perusahaan perkebunan yang telah melaksanakan kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerjasama inti-plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan kembali kewajiban FPKM.
“Kalaupun belum mengimplementasikan FPKM, perusahaan dapat memilih pola usaha produktif sebagaimana diatur pasal 7 Permentan 18/2021,” ujar Heru.
Fase kedua dijalankan oleh perusahaan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah tanggal 28 Februari 2007 sampai dengan 2 November 2020. Di fase ini, pemerintah memberikan kemudahan dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, jumlah keluarga masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta dan kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar.
“Apabila tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam kewenangan perizinan, maka dilakukan kegiatan usaha produktif sesuai kesepakatan antara perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar,” jelas Heru.
Berikutnya, bagi perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha perkebunan setelah tanggal 2 November 2020. Jadi perusahaan yang izin usaha budidaya untuk lahan seluruh atau sebagian dari APL (areal penggunaan lain) di luar HGU dan pelepasan kawasan hutan diwajibkan menjalankan FPKM. Maka, perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% dari luas lahan tersebut.
Sesuai Permentan No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, perusahaan diberikan berbagai opsi kemitraan antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan bentuk kemitraan lainnya.*** Atiyyah