Hadapi UE, RI Jangan Emosi

Pemerintah diminta hati-hati untuk melakukan tindakan balasan terkait kebijakan diskriminasi Uni Eropa (UE) terhadap produk biofuel berbahan baku minyak sawit (CPO). Jalur diplomasi dan komunikasi lebih baik didahulukan. Apalagi, Renewable Energy Directive (RED) II Uni Eropa lebih banyak menggunakan asumsi dan tidak berbasis ilmiah.

Hati-hati. Ini memang imbauan yang berupaya meredam emosi agar tidak menimbulkan komplikasi serius terkait dengan keputusan Komisi Eropa bahwa budidaya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan. Keputusan Komisi Eropa ini memang pahit buat Indonesia dan Malaysia, produsen 85% minyak sawit global.

Tidak aneh jika pemerintah meradang. Tidak hanya mengancam akan melakukan retaliasi dan memboikot serta membawa kasus ini ke WTO, bahkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sampai menyebut kemungkinan Indonesia mundur dari Kesepakatan Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.

Kemarahan yang sama juga dikemukakan PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan menyebut langkah diskriminasi Uni Eropa itu berisiko membuka perang dagang dengan Malaysia. Mahathir menyebut makin kencangnya sikap bermusuhan Uni Eropa terhadap minyak sawit tak lain merupakan sikap protektif untuk melindungi produksi minyak nabati dalam negeri mereka, yakni minyak rapak (rapeseed).

Namun, Senior Advisor for Sustainability and Clime Yayasan Kehati, Diah Suradiredja meminta Indonesia tidak bertindak tergesa-gesa dan mengibarkan perang dagang. Diplomasi dan komunikasi masih bisa diandalkan. “Secara substansi, saat ini RED II hanya menggunakan asumsi dan bukan scientific based. Asumsi yang dibangun adalah berdasarkan kondisi di Afrika yang secara alam sangat berbeda dengan kondisi hutan hujan tropis yang dimiliki Indonesia,” tegas Diah, Jumat (29/3/2019).

Hal senada dikemukakan pengamat ekonomi UGM, Mudrajad Kuncoro. “Penyelesaian melalui jalur perundingan sangat penting,” katanya, seraya mencontohkan keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan ekspor CPO ke UE dan Amerika awal tahun 2019. Apalagi, UE adalah mitra dagang terbesar ketiga Indonesia, di mana tahun 2018 total perdagangan RI-UE mencapai 31,2 miliar dolar AS.

Pengusaha pun sependapat. “Jika boikot dilakukan, ini namanya perang dagang. Pasti akan ada dampaknya dan dampaknya negatif. Bukan hanya terhadap produk tekstil dan produk tekstil, tetapi juga produk lainnya yang banyak bergantung pada pasar Eropa,” kata Sekretaris Ekskekutif Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPN API), Ernovian G Ismy, Jumat (29/3/2019). Jadi, sekali lagi, hati-hati lah. AI