Pemerintah Indonesia terus mendorong program hilirisasi industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu program hilirisasi yang tengah gencar dilakukan Kementerian Perindustrian adalah program hilirisasi industri sawit.
Hilirisasi industri sawit memang sangat diperlukan. Pasalnya, bahan baku untuk program hilirisasi tersebut, yakni minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sangat berlimpah di Indonesia.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan produksi CPO Indonesia tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15 persen dari tahun 2022 sebesar 46,73 juta ton.
Sebelum program hilirisasi industri sawit digaungkan, sebagian besar produk kelapa sawit Indonesia diekspor ke mancanegara dalam bentuk CPO atau produk setengah jadi.
Kondisi itu membuat suplai CPO di pasar internasional menjadi membludak karena negara-negara produsen kelapa sawit lainnya juga mengekspor CPO dalam jumlah besar. Akibatnya, harga CPO di pasar internasional dipengaruhi oleh pembeli dan harga jualnya sering mengalami penurunan.
Namun, secara perlahan tapi pasti, setelah program hilirisasi digaungkan dan diterapkan Kementerian Perindustrian, Indonesia tidak lagi menggantungkan ekspor produk kelapa sawitnya dalam bentuk CPO tetapi dalam bentuk produk turunan lainnya.
Berkat program hilirisasi kelapa sawit, ragam jenis produk hilir sawit semakin meningkat signifikan. Data Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian menyebutkan jika pada tahun 2010 hanya terdapat 54 jenis produk turunan kelapa sawit, maka pada tahun 2023 jumlahnya meningkat menjadi 193 jenis produk turunan.
Rasio ekspor bahan baku dan produk hilir sawit juga kian melonjak. Tahun 2010, rasionya 40 persen dan 60 persen (bahan baku dan produk hilir sawit), dan naik drastis menjadi 7 persen dan 93 persen pada 2023. Ini menandakan bahwa kebijakan hilirisasi berjalan dengan baik,
Multiplier effect atau dampak berganda dari aktivitas hilirisasi industri sawit juga telah terbukti nyata, antara lain adalah meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menarik investasi masuk di tanah air.
Menurut data Kementerian Keuangan, sektor sawit di Indonesia saat ini telah melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Sektor ini juga telah mendorong PDB di sektor perkebunan pada angka yang positif di Triwulan II 2024 di 3.25 persen, sehingga PDB Indonesia di Triwulan II 2024 bertumbuh positif.
Industri pengolahan sawit juga telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru khususnya di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lainnya di timur Indonesia. Penumbuhan pusat baru industri berbasis sawit di luar Jawa, yang sudah ada saat ini antara lain di Dumai-Riau, Sei Mangkei-Sumut, Tarjun-Kalsel, Kotawaringin Barat-Kalteng, Bitung-Sulut, dan Balikpapan-Kaltim. Ini juga artinya menumbuhkan aglomerasi atau kawasan industri baru berbasis sawit.
Selain itu, penumbuhan industri pengolahan sawit pun telah mampu menggerakkan aktivitas produktif kegiatan usaha, khususnya di daerah terluar, tertinggal, dan terpencil (3T).
Melihat kondisi di atas, program hilirisasi industri sawit yang diterapkan Kementerian Perindustrian telah memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi bangsa. Program hilirisasi industri sawit telah menjadi salah satu motor penggerak perekonomian nasional.
Tantangan
Walaupun sudah berjalan baik, program hilirisasi industri sawit harus terus dilanjutkan karena potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional masih sangat terbuka, khususnya pada pemanfaatan biomassa sawit untuk kebutuhan energi. Apalagi Indonesia masih tertinggal jauh oleh Malaysia yang telah memproduksi sekitar 260 jenis produk turunan dari CPO.
Pemerintah sendiri memang terus melanjutkan program ini.Beberapa produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam mendukung dinamika industri kelapa sawit sepanjang 2024 ini antara lain adalah melalui PERMENPERIN 32 Tahun 2024 tentang klasifikasi komoditas turunan kelapa sawit.
Namun, tantangan yang dihadapi masih ada , antara lain penurunan produktivitas akibat penyakit tanaman, kendala agroklimat dan perubahan iklim, penerapan gap yang belum optimal, dan luas perkebunan yang masuk usia tua sehingga perlu di-replanting.
Tantangan lainnya adalah menurunkan emisi karbon dari kegiatan usaha perkelapasawitan nasional dan mengoptimalkan nilai ekonomi karbon yang menyertainya.
Tentunyaa, semua tantangan itu tidak hanya tanggungjawab satu lembaga atau kementerian saja. Diperlukan kolaborasi antar pihak agar program hilirisasi industri sawit terus melaju. Buyung Nareh Wibowo