Pemerintah India diperkirakan bakal melanjutkan kebijakan perdagangan yang proteksionis dalam beberapa bulan ke depan guna menyeret turun angka inflasi dan pengangguran menjelang Pemilu April-Mei 2024. Kondisi ini akan mempersulit pasok pangan global akibat langkah pengurangan dan larangan ekspor dari salah satu produsen pertanian top global ini.
Dalam beberapa pekan terakhir, pemerintah PM Narendra Modi sudah melakukan pelarangan ekspor sejumlah komoditi pangan untuk mengamankan pasok di dalam negeri dan meredam kenaikan inflasi harga pangan yang disebabkan oleh krisis terkait iklim yang memukul produksi pertanian India. Pada Juli, India — produsen beras terbesar di dunia — mengumumkan larangan ekspor beras non-Basmati. Pada Agustus, giliran beras pratanak (parboiled) dikenakan pajak ekspor 20%, serta pajak ekspor 40% untuk bawang bombay, dan dilaporkan sedang berunding dengan Rusia untuk melakukan impor gandum dengan harga diskon.
Di samping itu, India — yang juga salah satu produsen gula terbesar di dunia — diperkirakan akan menerapkan larangan ekspor gula pada Oktober, yang akan menghentikan ekspor komoditi pemanis tersebut pertama kalinya sejak 7 tahun terakhir, demikian hasil analisis stratfor.com. Terlebih lagi, dalam beberapa pekan terakhir, New Delhi telah mempercepat upaya-upaya lamanya mendorong industri manufaktur dalam negeri di bawah bendera program “Buatan India”, termasuk dengan menerapkan pembatasan impor komputer dan laptop guna menghidupkan bisnis baru dan lapangan kerja di sektor teknologi India.
Pemerintah India mengumumkan pertama kali inisatif Buatan India tahun 2014. Kampanye ini dimaksudkan untuk mencipatakan lapangan kerja, meningkatkan kemandirian India dan menarik investasi asing dengan mendorong perusahaan-perusahaan India untuk mengembangkan, membuat dan merakit produk di dalam negeri.
Pada 8 Agustus, India juga melarang wahana tanpa awak militer (drone) menggunakan komponen-komponen dari China dalam pembuatannya. Meskipun hal ini sebagian besar merupakan tindakan keamanan yang didorong oleh rivalitas dan ketidakpercayaan New Delhi terhadap China, tapi langkah itu juga mencerminkan upaya India untuk memodernisasi angkatan perangnya dan mendorong produksi perlengkapan militer di dalam negeri, terutama ketika invasi Rusia ke Ukraina telah mengancam ketergantungan India terhadap pasok senjata dari Rusia.
Sumber:Thai Rice Exporters Association
Inflasi tinggi
Penerapan kebijakan proteksionis diambil ketika India sedang menghadapi inflasi tinggi akibat buruknya produksi pangan yang disebabkan pola cuaca yang tidak teratur. Banyaknya kejadian cuaca ekstrem di India selama tahun lalu — termasuk hujan lebat, suhu tinggi dan kekeringan berkepanjangan — mengakibatkan tingginya inflasi dan harga pangan yang disebabkan oleh terganggunya produksi pertanian dan rantai pasok.
Inflasi harga pangan India melonjak dari angka revisi 4,5% pada Juni menjadi 11,5% pada Juli, yang mendorong inflasi secara keseluruhan mencetak angka tertinggi dalam 15 bulan di posisi 7,4%. Di saat sejumlah negara bagian di wilayah utara dan baratlaut India mengalami hujan berlebihan dan kebanjiran, kawasan selatan dan timur India malah mencetak rekor suhu kering, di mana Agustus tercatat sebagai bulan dengan suhu paling kering dan bulan terpanas India sejak tahun 1901.
Yang tak kalah penting, pengurangan angka pengangguran menjadi perhatian utama partai berkuasa Perdana Menteri Narendra Modi, Partai Bharatiya Janata (BJP). Terutama di daerah-daerah pedesaan, mengingat pentingnya suara mereka untuk BJP. Angka pengangguran di pedesaan India turun dari 8,7% pada Juni menjadi 7,9% pada Juli berkat naiknya permintaan tenaga kerja untuk pertanian, meskipun angka pengangguran di perkotaan malah naik dari 7,87% menjadi 8,06% ada periode yang sama.
Bantuan pangan mencari suara
Dengan jadual Pemilu April-Mei 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah India secara jangka pendek kemungkinan akan lebih mengambil kebijakan menurunkan inflasi pangan ketimbang berusaha meningkatkan produksi industri dalam negeri yang sudah lama disuarakan, yang harapannya akan menurunkan harga pangan dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja.
Mengurangi pengangguran dan inflasi pangan akan jadi jantung dari prioritas kebijakan PM Modi menjelang Pemilu April dan Mei 2024. Guna menciptakan lapangan kerja lebih banyak, India kemungkinan akan melibatkan perusahaan domestik dan asing untuk meningkatkan manufaktur dalam negeri, di samping lebih membatasi produk-produk impor. Meski akan membantu menciptakan lapangan kerja baru buat India dalam jangka panjang, namun menahan impor berbagai produk yang dipakai secara luas seperti lapotop, kemungkinan malah bakal memicu kelangkaan dan meningkatkan inflasi dalam jangka pendek.
Dalam upaya memerangi krisis pangan yang dipicu oleh iklim, pemerintah kemungkinan juga menerapkan lebih banyak larangan ekspor untuk beragam produk, seperti gula, untuk menjamin ketahanan pangan dan pada gilirannya menurunkan harga pangan dan menenangkan para pemilih. Selain itu, partai BJP Modi pun bisa memperpanjang program pangan gratis (yang memberikan beras/gandum gratis kepada 800 juta orang) sampai memasuki Pemilu April-Mei. Mengingat keberhasilan program ini pada awal penerapannya, kebijakan memperpanjang program tersebut akan membantu meningkatkan dukungan suara buat BJP di TPS-TPS dan berpotensi meredam tantangan inflasi pangan yang tinggi pula.
Menurut Departemen Meteorologi India, bulan September ini dilaporkan akan membawa curah hujan rata-rata, yang jika ditambah dengan kebijakan larangan ekspor, maka akan membantu memitigasi krisis pangan India dengan mengurangi kemunduran pertanian akibat kekeringan panjang pada Agustus.
Menurut hasil survey pada Juli-Agustus, 59% pemilih India menyatakan puas dengan BJP dan kepemimpinan Modi, turun dari kepuasan sebesar 67% pada survey Januari. Namun, meski warga India tidak senang dengan situasi ekonomi negaranya saat ini, BJP kemungkinan akan tetap menang untuk ketiga kalinya pada Pemilu tahun depan. Hal ini karena Modi tetap sebagai tokoh yang populer, dan pemerintahannya berupaya mengatasi keluhan masyarakat dengan memperpanjang program bantuan dan menerapkan langkah proteksionis yang akan berhasil meraup dukungan pemilih, meskipun kebijakan itu tidak bisa segera atau memperbaiki angka inflasi dan pengangguran.
Efek domino
Mengingat India adalah eksportir top sejumlah bahan pangan pokok, seperti beras, gula dan bawang bombay, sikap proteksionis New Delhi kemungkinan juga akan menaikkan terjadinya kekurangan pangan dan inflasi global, mengingat penegakan larangan ekspor saat ini dan larangan lainnya kemungkinan akan diberlakukan dalam beberapa bulan mendatang.
Sebagai produsen beras terbesar di dunia, India menguasai 40% pasar beras global, disusul oleh Pakistan, Thailand dan Vietnam — di mana ketiga negara terakhir ini menguasai 30% pasar beras dunia. Meski Pakistan, Thailand dan Vietnam masih tetap mengekspor beras, tapi mereka tetap tidak akan menutup bolongnya ekspor yang ditinggal India.
Gangguan pasok beras global akan meningkatkan permintaan — dan pada gilirannya, harga — beras ekspor, sehingga memperburuk harga pangan global yang sudah tinggi. Karena beras adalah bahan pangan pokok, trader dan ilmuwan sudah mengingatkan bahwa kekurangan pasok global bisa menciptakan efek domino dengan mengurangi bahan pangan pokok lainnya yang sering dijadikan pengganti beras, seperti jagung dan gandum — yang terakhir ini malah sudah terjadi pasok yang ketat menyusul ambruknya kesepakatan ekspor biji-bijian Laut Hitam antara Rusia dengan Ukraina.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), naiknya biaya pangan global juga berisiko “merongrong kepercayaan terhadap sistem perdagangan global”, yang bisa memicu negara-negara lain mengambil langkah-langkah pembatasan ekspor komoditi pertanian tertentu untuk melindungi diri dari kemungkinan guncangan pasok di masa depan dengan menumpuk cadangan pangan mereka lebih dulu.
Menurut International Food Policy Research Institute, sebanyak 42 negara di Asia dan Afrika sub-Sahara memperoleh lebih dari 50% impor beras mereka dari India. AI