
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Rencana pemerintah tentang adanya 20 juta hektar kawasan hutan yang dicadangkan untuk program pangan, energi dan air yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, 30 Desember 2024 belum lama ini mendapat banyak tanggapan dan reaksi dari berbagai kalangan baik yang setuju maupun yang menentang rencana ini. Pasalnya dari luas 20 juta hektar kawasan hutan ini, belum jelas dimana posisi yang dimaksud. Sebagaimana diketahui bahwa secara fungsinya kawasan hutan dibagi menjadi kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Kawasan hutan yang mempunyai fungsi perlindungan lingkungan adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Sedangkan kawasan hutan yang mempunyai fungsi ekonomi adalah hutan produksi.
Dalam undang-undang (UU) tata ruang no. 26/2007, kawasan hutan konservasi dan hutan lindung masuk dalam katagori kawasan lindung yang berfungsi untuk melindungi lingkungan didaerah sekitar dan dibawahnya. Sementara kawasan hutan produksi masuk dalam katagori kawasan budidaya. Namun dalam UU no. 41/1999 tentang kehutanan, meskipun hutan lindung masuk dalam kawasan lindung, namun secara terbatas dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk kegiatan ekonomi baik untuk pembangunan di sektor kehutanan maupun pembangunan non kehutanan.
Luas kawasan hutan Indonesia secara hukum (de jure) yang menempati bentang darat mecapai 120,5 juta hektar, dengan kompoisi hutan konservasi(HK) 21,9 juta hektar, hutan lindung (HL) 29,6 juta hektar, hutan produksi (HP) 68,8 juta hektar (hutan produksi terbatas (HPT) 26,8 juta hektar, hutan produksi biasa (HPB) 29,2 juta hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 12,8 juta hektar). . Namun sayangnya, tidak semua kawasan hutan tersebut mempunyai tutupan hutan (forested). Faktanya dilapangan (de facto), ada sebagian kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan (mon forested). Menurut data yang termuat dalam buku “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020 oleh KLHK, luas kawasan hutan yang masih mempunyai tutupan hutan mencapai 87,1 juta hektar dengan penyebaran HK 17,5 juta hektar, HL 24,0 juta hektar, HPT 21,4 juta hektar, HPB 17,8 juta hektar, HPK 6,3 juta hektar. Sementara kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan penyebarannya adalah HK 4,5 juta hektar, HL 5,6 juta hektar, HPT 5,4 juta hektar, HPB 11,4 juta hektar dan HPK 6,5 juta hektar.
Dalam perspektif rencana pemerintah untuk memanfaatkan 20 juta hektar bagi program pangan dan energi nampaknya diarahkan tidak saja dalam kawasan hutan produksi tetapi juga dalam kawasan hutan lindung. Indikasi ini nampak dari penjelasan Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan, Doni Sri Putra, S.Hut, ME dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) Jakarta, pada Kamis (30/1/25) lalu yang membahas masalah 20 juta hektar tersebut. Doni Sri Putra menyebut bahwa mekanisme penyediaan lahan dapat menjadi alternatif tanpa mengubah status kawasan hutan. Menurut Doni, luas hutan produksi dan hutan lindung 98.106.678,43 hektar serta luas izin di hutan produksi dan hutan lindung mencapai 38.728.247.00 hektar. Sedangkan luas hutan produksi dan hutan lindung yang belum berizin masih 59.378. 431,43 ha. Sementara luas kawasan hutan (daratan) saat ini sekitar 120.219.978,80 hektar, di mana kawasan yang berhutan 74,75 persen sedangkan yang tidak berhutan 25,25 persen. Yang tidak berhutan 25,25 persen setara dengan lebih dari 30 juta hektar (termasuk didalamnya hutan lindung dan hutan konservasi). Bila benar kawasan hutan lindung yang tidak berhutan juga akan dilibatkan dalam program pangan dan energi 20 juta hektar tersebut, maka ini merupakan alarm bahaya bagi kawasan hutan lindung, Kenapa ?.
Peran Strategis Hutan Lindung
Posisi hutan lindung dalam konstelasi kawasan fungsi hutan memang unik. Satu-satunya kawasan fungsi hutan yang berdiri secara tunggal (singular) dan tidak mempunyai derivat (turunan) nya adalah hutan lindung. Sementara hutan konservasi turunannya adalah kawasan suaka alam/KSA (cagar alam/CA dan suaka margasatwa/SM) dan kawasan pelestarian alam/KPA (taman nasional/TN, taman hutan raya /Tahura dan taman wisata alam/TWA) dan taman buru/TB. Sedangkan hutan produksi turunannya adalah hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi boiasa (HPB) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Dalam UU Kehutanan no. 41/1999 tidak ditemukan arti dan penjelasannya. Juga tak ada di PP 44/2004, selain hanya arti dan pengertiannya, serta kriteria penetapannya.
Penetapan hutan lindung berdasarkan kriteria kemiringan lereng paling sedikit 40% atau ketinggian paling sedikit 2.000 meter dari permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 atau lebih. UU no. 26/2007 menyebut bahwa Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah kawasan hutan lindung. Secara teori, keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis, khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Maka daerah tangkapan air sangat penting dalam areal daerah aliran sungai (DAS). Sementara DAS tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintahan. Maka jika terjadi banjir, urusannya tak hanya pemerintah di hilir, juga di hulu.
Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan adalah hutan lindung. Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung di banyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota) apalagi pemerintah pusat. Namun demikian peran strategis hutan lindung dalam melindungi lingkungan semakin strategis dan menonjol belakangan ini ditengah tengah perubahan iklim (climate change) yang makin menjadi-jadi menjurus ke krisis iklim. Tidak seperti hutan konservasi yang mempunyai fungsi ganda yakni disamping untuk melindungi flora dan fauna yang langka, unik dank has daerah tertentu, hutan konservasi juga mempunyai fungsi untuk dan menampung dan menyimpan air hujan dalam menjaga neraca air di ekosistem daerah aliran sungai (DAS), sementara fungsi hutan lindung adalah tunggal yakni menampung dan menyimpan air hujan serta menjaga neraca air dalam ekosistem DAS. Era dimana dampak perubahan iklim makin nyata dengan hujan ekstremnya yang melanda dunia termasuk Indonesia, bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang, tanah longsor) yang banyak terjadi sekarang ini sangat berbanding lurus dengan keberadaan tutupan hutan lindung yang berada di daerah hulu (catachment area) nya.
Keseimbangan Ekologis
Sebenarnya keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di Jawa dan Sumatera. Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan “catchment area” Daerah Aliran Sungai (DAS) suatu kawasan. DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir, sehingga apabila terjadi bencana seperti banjir tanggungjawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan kehilir tetapi juga daerah hulu. Bentuk tanggung jawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda yang di hilir ke pemda yang di hulu. Contoh kasus DAS Ciliwung, bila terjadi banjir pemda provinsi Jabar dan kabupaten Bogor harus ikut bertanggungjawab bersama sama pemda DKI.
DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ekologis tentang ketersediaan air didaerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan lindung yang ada dihulu dapat dijaga dengan baik. Meski UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 18 ayat (2) tentang kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional telah dicabut dalam revisi UU no. 11/2020 tentang cipta kerja bidang kehutanan, namun dalam prakteknya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di Jawa, ketentuan ini luas minimal 30 % dapat menjadi patokan dalam menjaga kesimbangan neraca air DAS. Kondisi beberapa DAS yang besar di P. Jawa, penutupan hutannya jauh di bawah angka 30%. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4% dan DAS Ciliwung tinggal 8,9% saja.
Pada tahun 1980-an pemerintah telah menetapkan 40 DAS prioritas dan super prioritas di seluruh Indonesia yang harus diperbaiki kondisi lingkungannya di daerah hulu dengan melakukan reforestasi lahan kritis pada kawasan hutan lindungnya. Jutaan bahkan miliaran bibit kayu kayu dan ribuan hektare kawasan hutan lindung telah ditanam, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Reforestasi dalam kawasan hutan lindung tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan reforestasi dalam kawasan hutan produksi/hutan tanaman industri. Oleh karena itu, idealnya perlakuan (treatment) dalam reforestasi hutan lindung harus “lebih” dalam kegiatan pembibitan/persemaian, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Persemaian permanen/modern yang menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi dengan media tumbuh non tanah dengan bobot yang ringan sangat diperlukan dalam hal ini. Pemilihan jenis bibit harus juga cermat. Pada daerah yang curah hujan bulanan kurang/kering seperti Provinsi NTT jenis fast growing spesies sangat diperlukan.
Dengan topografi yang cukup berat, bibit yang bobotnya ringan membantu dalam memperlancar proses penamanam. Jumlah bibit yang diangkut secara manual dapat dibawa lebih banyak dan tidak mudah rusak. Pemeliharan tanaman yang selama ini dilakukan sampai tahun kedua (tanaman umur tiga tahun) dinilai kurang tepat karena bibit masih pada tingkat semai (seedling) yang hidupnya masih belum beradaptasi dengan tanah. Seharusnya pemeliharaan dilakukan sampai dengan bibit mencapai umur sapihan (sapling) yaitu umur lima sampai enam tahun yang telah stabil tingkat hidupnya.
Pada akhirnya memang perlu dilakukan reevaluasi keberhasilan rehabilitasi/reforestasi hutan lindung khususnya pada daerah prioritas/super prioritas DAS yang telah dilakukan selama ini. Jangan hanya mengejar jumlah bibit dan luas tanaman tetapi kualitas keberhasilan lebih diutamakan setelah tanaman berumur diatas 10 tahun sekaligus memperbaiki sistim yang telah dilakukan selama ini. Keberhasilan memang membutuhkan anggaran yang besar.
Kebijakan dan Tindakan Tidak Afirmatif
Banyak kebijakan dan tindakan yang diambil pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak afirmatif terhadap keberadaan hutan lindung ini. Akibat adanya kegiatan tidak afirmatif ini menyebabkan kecenderungan dari tahun ke tahun kawasan hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat. Dari data kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan seluas 33,4 juta hektar, hutan lindung menempati nomor dua setelah hutan produksi dengan luas secara berurutan hutan produksi (HP) 23,3 juta hektar, hutan lindung (HL) 5,6 juta hektar, dan hutan konservasi (HK) 4,5 juta hektar.
Kebijakan dan tindakan tidak afirmatif terhadap keberadaan hutan lindung antara lain adalah :
Pertama, penggunaan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan khususnya untuk kegiatan pertambangan (sesuai pasal 38 ayat (1) Undang-Undang (UU) no. 41/1999 tentang kehutanan) perlu diwaspadai. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangandilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) oleh Menteri Kehutanan. Meskipun rambu-rambu regulasi pertambangan di hutan lindung telah dibuat seperti pelarangan melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka ; mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; mereklamasi lahan bekas tambang dan seterusnya, namun dalam prakteknya ketentuan yang dimaksud banyak yang tidak dilakukan akibat lemahnya pengawasan dilapangan.
Kedua, peraturan pemerintah (PP) no. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan pasal 20 ayat (1b) menegaskan bahwa rehabilitasi hutan pada kawasan hutan lindung, ditujukan untuk memulihkan fungsi hidrologis DAS dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Rehabilitasi hutan diselenggarakan antara lain melalui kegiatan reboisasi intensif atau agroforestri. Reboisasi agroforestri dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat. Menteri LHK Siti Nurbaya (waktu itu) mengeluarkan peraturan menteri LHK P.24/2020 yang membolehkan food estate dalam hutan lindung, dengan alasan dengan food estate akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak dan perikanan (pola agroforestry, silvipasture, wanamina). Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung. Padahal, kegiatan food estate dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung yang selama ini memang telah marak terjadi. Kondisi ini akan menjadi potensi meningkatnya laju angka deforestasi, karena food estaste membutuhkan lahan hutan yang cukup luas minimal 30.000 – 50.000 ribu ha. Wajar apabila ada para pihak yang galau dengan terbitnya kebijakan ini.
Ketiga, banyak kepala daerah (gubernur/bupati) yang wilayahnya sebagian besar merupakan kawasan hutan mengusulkan untuk merubah status fungsi kawasan hutan lindung untuk diturunkan statusnya fungsinya menjadi hutan produksi dengan harapan agar hutan produksi yang diusulkan bila disetujui pemerintah pusat akan digunakan untuk kegiatan yang bersifat ekonomi. Padahal untuk menetapkan status fungsi kawasan hutan, seperti hutan lindung tidaklah mudah dan telah dipikirkan masak-masak dari aspek teknisnya khususnya untuk perlindungan lingkungan daerah dibawahnya. Perubahan status fungsi apalagi perubahan dan pengurangan tutupan hutan dalam kawasan hutan tersebut akan merubah pula neraca air daloam konteks hulu dan hilir. Pada batas tertentu, diluar batas toleransi pengurangan tutupan hutan ini, akan menyebabkan keseimbangan debit air maks dan minimum berubah dalam suatu ekosistem DAS. Akibatnya bencana hidrometeorologi sewaktu waktu akan mengancam daerah dibawahnya dimusim hujan.
Keempat, pengawasan dan tanggungjawab tentang pengelolaan hutan lindung tidak jelas dan lemah. Sebelum terbitnya UU no. 41/1999 tentang kehutanan, pemerintah menerbutkan PP no. 62/1998 tentang penyerahan sebagaian urusan pemerintahan dibidang kehutanankepada daerah. Pasal 5 menyebut bahwa Kepala Daerah Tingkat II/Bupati diserahkan sebagian urusan kehutanan antara lain tentang pengelolaan hutan lindung. Dengan terbitnya UU no. 23/2014 tentang pemerintahan daerah urusan pengelolaan hutan lindung ditarik kepemrintahan pusat khususnya untuk pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan lindung. Sedangkan untuk pengawasan diserahkan kepada pemerintahan provinsi sebagaimana pemgelolaan taman hutan raya (Tahura). Meskipun pengawasan hutan lindung telah diserahkan ke pemerintah provinsi, namun pada prakteknya dilapangan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sangat lemah disebabkan karena kekurangan anggaran SDM dan sarana dan prasarana.
Melihat peran strategis hutan lindung kedepan, maka disarankan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran dalam melaksanakan program pangan dan energi 20 juta hektar, sebaiknya jangan mengganggu keberadaan hutan lindung, meskipun hutan lindung tersebut sudah tidak mempunyai tutupan hutan lagi (5,6 juta hektar) apalagi menggunakan kawasan hutan lindung yang masih utuh tutupan hutannya (24,0 juta hektar). Biarlah kwasan hutan lindung seluas 5,6 juta hektar yang tanpa tutupan hutan direhabilitasi/direboisasi kembali dalam program 12,7 juta hektar yang menjadi program unggulan kehutanan juga selain program pangan dan energi dengan reboisasi murni tanpa embel embel reboisasi dengan pola agroforestri.
Untuk program pangan dan energi seluas 20 juta hektar dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang tidak mempunyai tutupan hutan seluas 23,3 juta hektar lagi, rasanya lebih dari cukup tanpa menggangu lingkungan dan fungsi kawasan hutan. ****