Ketergantungan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia terhadap impor energi makin tinggi seiring lambannya kegiatan eksplorasi ladang minyak dan gas serta masih minimnya penggunakan energi baru terbarukan (EBT).
Hal itu dilontarkan Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Saleh Abdurrahman, pada seminar bertajuk ,“Outlook Ketahanan Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Nasional 2018,“ yang digelar Forwin di Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Saleh mengatakan, untuk energi berbentuk minyak bumi, Indonesia sejak 2006 sudah harus melakukan impor karena produksi minyak buminya tidak mampu menutupi kebutuhan masyarakat di dalam negeri terhadap jenis energi itu.
Sementara untuk energi gas, Saleh mengakui kalau saat ini konsumsinya masih bisa ditutupi oleh produksi gas nasional. Bahkan Indonesia mampu mengekspor gas alam cair ke sejumlah negara.
Walaupun begitu, dia mengingatkan kalau kebutuhan gas nasional juga bisa saja mengalami kekurangan pasokan dari dalam negeri jika tidak ada upaya penambahan produksi gas.”untuk energi berupa gas, memang baru pda tahun 2025 terjadi perimbangan antara pasokan dan kebutuhan di dalam negeri,” jelasya.
Sementara untuk energi berupa batubara, Saleh mengakui kalau saat ini produksi batubara Indonesia jauh lebih besar dibandingkan tingkat konsumsi di dalam negeri.
Sedangkan untuk energi baru dan terbarukan (EBT) , konsumsi energi jenis ini di dalam negeri masih minim, yakni hanya sekitar 7% dari total konsumsi energi di Indonesia pada tahun 2017.
Walaupun begitu, Saleh menyebutkan kalau kontribusi EBT terhadap konsumsi energi masyarakat akan terus mengalami peningkatan. Diperkirakan di tahun 2025 nanti kontribusinya akan mencapai angka 23 %.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) energi hijau dan lingkungan hidup Kemenperin, Teddy Sianturi mengatakan perlunya mendorong industri untuk menggunakan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan.
“Penggunaan energi hijau harus terus didorong karena ramah lingkungan,” ujarnya.
Untuk mendorong pelaku industri menggunakan EBT, Teddy mengatakan saat ini Kemenperin akan mengusulkan perlunya pemberian insentf kepada industri-industri yang terbukti menggunakan EBT dalam kegiatan produksinya.
“Soal dalam bentuk apa insentif itu dibarikan, kami sedang membahasnya,” jelas Teddy,
Saat ini, kebanyakan pelaku industri masih menggunakan minyak bumi dan gas sebagai bahan bakar dari kegiatan produksinya, seperti minyak bumi dan gas.
Teddy sendiri tidak mempermasalahkan tingginya penggunaan gas dalam kegiatan produksi. “Namun saya ingin kalau gas tidak hanya digunakan sebagai bahan bakar dalam kegiatan produksi, tetapi menjadi bahan energi yang menghasilkan produk lainnya, seperti pupuk, petrokimia .
“Jika penggunaan gas lebih dilakukan untuk menghasilkan suatu produk, itu lebih baik karena akan muncul nilai tambah dari penggunaan energi gas tersebut,” paparnya.
Sementara itu terkait dengan masih tingginya harga gas di dalam negeri, Sekjen Kemenperin Harris Munandar menyatakan kalau pemerintah saat ini masih berusaha untuk menekan harga gas agar produk industri pengguna gas bisa memiliki daya saing tinggi di pasaran.
“Kami masih melakukan pembahasan mengenai penurunan harga gas itu, dimana bisa saja dengan meminta produsen mengurangi keuntungannya atau pemerintah memangkan penerimaannya dari sektor gas,” jelas Harris.
Namun Harris belum bisa memastikan kapan harga gas di dalam negeri bisa lebih murah lagi dari yang terjadi pada saat ini. Buyung