Kasus terbitnya kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Hutan (KHDPK) yang dikeluarkan melalui SK Menteri LHK Nomor 287/2022 tanggal 5 April 2022 terus menimbulkan gejolak di lapangan.
Gugatan hukum dari pihak Serikat Karyawan Perhutani Bersatu terhadap SK Menteri LHK 287/22 tersebut melalui PERATUN Jakarta sedang memasuki pertimbangan umum tanggal 5 Desember 2022. Kebijakan politik yang selayaknya secara idiil dimaksudkan untuk didukung, namun pada kenyatannya banyak menuai kecaman akibat pelaksanaannya yang sangat dipaksakan, tanpa penyiapan yang bijak, mendorong konflik masyarakat tani hutan secara masif, mendorong pelanggaran-pelanggaran hukum, perusakan hutan serta bencana banjir besar dan bencana lingkungan yang saat inipun sudah merajalela.
“Kecerobohan pelaksanaan KHDPK yang dianggap kebijakan politik pemerintah tersebut telah menyulitkan pengadilan TUN menetapkan keputusan yang bijak. Bahkan cenderung bisa salah”, duga Dr. Ir. Transtoto Handadhari, M Sc, rimbawan senior UGM yang juga Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2005 itu.
Pemerintah bahkan dalam posisi yang sangat sulit mengingat hutan Jawa sudah terlanjur terusak akivat KHDPK. Kondisi manajemen hutan Jawa sudah berantakan, kepercayaan publik terhahap Perhutani juga telah terkikis.
“Pemerintah dalam posisi ‘maju kena, mundur kena’ menghadapi KHDPK yg bak binatang buas Si Malakama itu”, tambah Transtoto.
Namun apapun resikonya Transtoto menegaskan bahwa keselamatan masyarakat dan pembangunan Jawa sangat lebih penting. Kebijakan KHDPK selayaknya perlu didukung, tetapi sangat perlu diperbaiki dulu sebelum dilaksanakan.
“Perum Perhutani juga selayaknya ditugasi membangun hutan lindung Pulau Jawa yang memang membutuhkan sekitar 80% daratannya hutan bersifat lindung. Dan janganlah Menteri BUMN menugasi Perhutani hanya mengurus bisnis hutan saja. Sangat berbahaya”, tandasnya.AI