Indonesia telah mencanangkan komitmen FOLU Net Sink 2030 sebagai salah satu kontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global. Pencapaian komitmen tersebut ditentukan oleh kolaborasi yang melibatkan semua pihak termasuk dunia usaha.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja mengatakan pengendalian perubahan iklim sangatlah kompleks.
“Sukses Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 bergantung pada kolaborasi para pihak, baik di dalam negeri maupun Internasional,” kata dia saat membuka Diskusi Pojok Iklim, Rabu 25 Mei 2022.
Indonesia’s FOLU Net Sink adalah kondisi dimana penyerapan gas rumah kaca (GRK) sudah seimbang atau lebih banyak jika dibandingkan emisinya dari sektor kehutanan di tahun 2030.
Dalam FOLU Net Sink 2030, penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan ditargetkan sebesar 140 juta ton CO2e dan kemudian meningkat menjadi 304 juta ton (CO2e) pada tahun 2050.
FOLU Net Sink berkontribusi sekitar 60% dari tercapainya target Net Zero Emissions Indonesia pada tahun 2060. Target ini merupakan bagian dari dokumen Long Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 sebagai kontribusi Indonesia dalam mempertahankan suhu bumi agar tidak naik lebih dari 2 derajat celcius dibandingkan kondisi sebelum revolusi industri.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Belinda Arunarwati Margono mengatakan telah ada Rencana Operasional Indonesia FOLU Net Sink yang menjadi panduan bagi semua pihak untuk mendukung pencapaian komitmen tersebut.
Menurut Belinda, FOLU Net Sink mencakup sejumlah kegiatan untuk mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, serta rehabilitasi untuk peningkatan cadangan karbon.
Untuk memastikan FOLU Net Sink tercapai perlu dilakukan pemantauan, pelaporan, dan evaluasi (MRV). “MRV dilakukan pada aksi mitigasi dan tingkat emisi GRK yang dilakukan setiap tahun,” kata Belinda.
Sementara itu Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Profesor Dodik R Nurochmat memuji dikembangkannya konsep FOLU Net Sink sebagai kontribusi Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim global di tengah kebutuhan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dodik menjelaskan tentang peran akademisi dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030 yaitu menjaga arah sesuai amanat konstitusi, mengawal proses sesuai kaidah ilmiah, dan memastikan target FOLU Net Sink tercapai secara terukur, evidence based, achivable, dan membangun optimisme.
Dodik juga mengingatkan, dalam pengendalian perubahan iklim pemilik tanggung jawab terbesar adalah Negara maju yang mengemisi GRK jauh lebih besar dari negara berkembang. Untuk itu, perlu terus disuarakan agar Negara maju memiliki komitmen yang sama seperti Indonesia dan berkontribusi pada upaya yang sedang dilakukan.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan 567 perusahan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) akan bergerak untuk mengimplementasikan multi usaha kehutanan untuk mendukung FOLU Net Sink.
Pemegang PBPH bisa menerapkan teknik Reduced Impact Logging (RIL-C) dan tata kelola gambut untuk mencegah pelepasan emisi GRK. Sementara untuk peningkatan cadangan karbon bisa dilakukan dengan pengayaan tanaman, silvikultur intensif, dan agroforestry.
Indroyono mengatakan berdasarkan perhitungan pemerintah, investasi yang dibutuhkan untuk mencapai FOLU Net Sink sekitar 14,4 miliar dolar AS dan sekitar 55%-nya atau 8 miliar dolar AS diharapkan dari investasi swasta.
Untuk itu, Indroyono berharap agar carbon pricing bisa segera diwujudkan. Dia mengusulkan sertifikat penurunan emisi GRK (CER) yang diperoleh pemegang PBPH bisa diperdagangan di pasar karbon domestik maupun internasional secara B to B (business to business) sepanjang tidak diklaim sebagai NDC Negara lain dan mendapat persetujuan Menteri.
“Ini sesuai dengan artikel 5 dan 6 Paris Agreement. Uji coba di beberapa Negara terbukti banyak yang berminat dengan skema ini,” katanya. *** AI