Provinsi Bangka Belitung (Babel) dikenal sebagai penghasil timah bahkan yang terbesar di Indonesia. Sayangnya, aktivitas penambangan timah banyak meninggalkan lubang-lubang bekas galian yang oleh masyarakat setempat disebut kolong. Kondisi lahan bekas tambang pun sangat mengenaskan.
Melihat situasi tersebut Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Baturusa-Cerucuk Idi Bantara S Hut. T. MSc tak tinggal diam. Pria jebolan dua kampus terkemuka penghasil rimbawan, IPB dan UGM itu melakukan inovasi penanaman pohon untuk merehabilitasi lahan-lahan eks tambang timah.
“Saya kembangkan penggunaan kompos blok agar pohon bisa tumbuh di lahan bekas tambang timah,” katanya kepada Agro Indonesia.
Pria kelahiran Klaten, 20 Agustus 1966 itu sepertinya punya garis tangan untuk selalu berdekatan dengan lahan dalam kondisi kritis. Idi pernah bekerja di wilayah Wonogiri dan harus menghadapi tantangan penanaman pohon di batu-batu karang. Idi juga pernah bekerja di Timor-timur (ketika masih menjadi wilayah Indonesia) dimana musim hujan sangat pendek. Hanya tiga bulan.
Kini Idi kembali harus berurusan dengan lahan kritis. Dia mengaku rela merogoh kocek pribadi untuk melakukan ribuan pohon. Jenis pohon yang ditanam adalah pohon kayu-kayuan dan multi guna (buah-buahan). Dia berharap, keberhasilan penanaman pohon bisa diikuti oleh masyarakat sekitar sehingga rehabilitasi lahan eks tambang bisa semakin cepat.
Berikut petikan wawancara dengan pria ramah yang mudah bergaul dengan berbagai kalangan itu:
Wilayah kerja BPDAS Baturusa-Cerucuk di Bangka-Belitung menghadapi persoalan lahan kritis akibat pertambangan. Bagaimana anda merespons hal itu?
Saat ini saya sedang memperbanyak penanaman pohon. Pohon jenis apa saja saya coba. Jambu mete, sirsak, jeruk, jambu kristal, alpukat, kayu putih, mangga. Ada juga tanaman lokal yang disebut pelawan.
Saya mulai menanam sekitar 1,5 tahun lalu. Sejauh ini ada tiga jenis tanaman yang paling dominan menunjukan daya tahannya, sirsak, mete dan cemara. Pohon sirsak bahkan sempat berbunga.
Tak mudah bagi pohon untuk hidup di lahan bekas tambang. Apa kuncinya?
Saya sedang mengembangkan inovasi kompos blok. Ini sederhana saja, kompos pupuk kandang yang dipres dengan ukuran 20x20x15 centi meter. Harus dipres, agar air asam di lokasi tambang tidak bisa masuk. Kompos yang digunakan adalah kompos yang baik yang sudah siap pakai, bukan yang belum matang.
Buat lubang di tengah kompos blok tersebut lalu keringkan. Saat penanaman, kompos blok itu ditempatkan dalam lubang tanam. Kemudian bibit yang sudah kita siapkan, ditempatkan di lubang kompos blok.
Kompos blok ini akan menjadi starter yang menyuplai makanan kepada pohon setidaknya dua tahun. Setelah itu, saya percaya tanaman punya sistem untuk beradaptasi dengan kondisi yang super kritis.
Sejak kapan anda mengembangkan inovasi ini?
Sekitar 1,5 tahun lalu. Tanpa kompos, sangat sulit bagi tanaman untuk hidup di lahan eks tambang timah. Kalaupun bisa hidup, merana. Kompos blok ini menambah energi bagi tumbuhan untuk hidup, memperbanyak biomasa tanah dari daun dan ranting yang rontok, yang akan menjadi pemicu kelembaban, menambah bahan organik di lantai tanah. Nanti akan terjadi siklus hara. Semua bahan organik yang jatuh diharapkan akan menjadi makanan alam kembali.
Saat ini kompos blok diperkenalkan sebagai kompos Babel dan sudah diluncurkan penggunaannya lebih luas saat Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia 2018.
Anda optimis penggunaan kompos blok bisa membantu rehabilitasi lahan eks tambang timah?
Secara teknis, lahan yang sudah habis unsur hara-nya tetap bisa direhabilitasi. Saya punya pengalaman kerja di sejumlah lahan kritis. Tapi memang belum pernah di lokasi yang separah tambang timah. Di Wonogiri, lahannya berupa batu karang, berhasil. Di Timor-timur, musim hujan hanya berlangsung selama tiga bulan. Berhasil juga. Tanaman bisa menghasilkan buah.
Nah di Babel ini, curah hujan cukup. Hanya tanahnya asam. Kondisi lahan ini terbentuk dari limbah pasir sedot untuk mengambil timah. Di limbah itu tidak ada campuran kimia apapun sebenarnya. Tapi karena yang disedot pasir hingga kedalaman 40 meter, mungkin asamnya meningkat. Saat habis ditambang, tak ada tanaman yang bisa hidup.
Sebenarnya kompos blok cukup lama dimanfaatkan. Di Solo, di Lampung juga saya pakai. Tapi memang paling cocok untuk dikembangkan di Babel ini.
Sudah berapa banyak pohon yang ditanam?
Saat ini penggunaan kompos blok untuk momen tertentu saja karena harganya cukup mahal. Saya kan pakai uang pribadi. Jadi mungkin yang tertanam baru sekitar 500-1000 pohon. Tapi untuk kompos yang dicampur dengan tanah, ada sekitar 3.000-an pohon.
Harus diakui, tanaman yang ditanam dengan kompos blok tumbuh lebih bagus. Kalau ada campuran tanah, kurang bisa menyimpan air sehingga air asam bisa masuk. Dengan kompos blok, air bisa disimpan sehingga kelembaban cukup. Bahkan di puncak musim kering, daun tanaman masih hijau.
Anda tadi bilang pakai uang pribadi untuk melakukan penanaman ini, benarkah?
Ya begitulah. Program penggunaan kompos blok ini belum ada. Makanya uji coba yang saya lakukan ini diharapkan bisa memancing berbagai pihak untuk terlibat.
Memang berapa sih biaya untuk membuat kompos blok?
Membuat kompos blok di Babel, biayanya tinggi karena kotoran sapi sebagai bahan pembuat kompos harganya mahal di sini. Harganya bisa mencapai Rp2.500 per kilogram. Untuk membuat kompos blok, campurkan juga kotoran gajah sebagai perekat. Kalau tidak tidak ada, bisa digunakan tepung kanji. Tambahkan juga bahan organik lain seperti serasah, dan batu gamping.
Jika ditotal biaya pembuatan kompos blok itu sekitar Rp12.000 per unit.
Apa harapan anda dengan berbagai kegiatan penanaman yang dilakukan?
Secara teknis tentu saja lahan kritis bertambah hijau. Tapi tujuan lain adalah saya ingin agar masyarakat melihat bahwa lahan eks tambang ternyata bisa dimanfaatkan secara luas. Kalau nanti tanaman yang saya tanam berbuah, maka masyarakat akan mengikuti.
Lahan eks tambang ini potensinya luar biasa. Bukan hanya tanaman. Bisa juga untuk perikanan. Begitu tingkat keasaman airnya 4-7, maka sudah bisa dimanfaatkan untuk perikanan.
Kita jangan menyalahkan siapapun dengan kondisi saat ini. Kenyataannya, banyak lahan tidak dikelola dengan baik. Padahal, potensinya besar. Makanya saya ‘komporin’ terus. Sugiharto