Kontroversi Deforestasi

Saat bertugas di Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah tahun 2004,  saya yang mendampingi Bupati Katingan, sempat berdiskusi dan berdebat dengan salah seorang anggota komisi IV DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Jambi, yang sedang berkunjung ke lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di perbatasan antara Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan.

Pramono DS

Pokok persoalan yang diperdebatkan adalah mengenai definisi atau pengertian tentang lahan kritis dalam kawasan hutan. Anggota DPR yang terhormat ini nampaknya kaget dengan lokasi kegiatan RHL yang dikunjungi tersebut. Pasalnya, lokasinya adalah kawasan lahan yang masih hijau, yang terdiri dari semak belukar dan anakan kayu-kayuan dari jenis tidak mempunyai nilai ekonomis karena tidak laku diperdagangkan.

Bayangannya, lahan kritis meski dalam kawasan hutan adalah kawasan lahan hutan yang sudah gundul (tidak terdapat tanaman dan anakan kayu-kayuan), warna tanah kuning akibat pengaruh erosi air, sebagaimana yang pernah dilihat dan dikunjunginya beberapa saat sebelumnya di Wonogiri, Jawa Tengah.

Berhubung pak Bupati yang pertama kali ditanya agak kerepotan untuk menjawabnya, saya yang telah bergelut dengan urusan RHL hampir 25 tahun pada saat itu memberanikan diri dan mohon izin untuk menjawabnya.

Lokasi RHL tersebut yang luasnya 100 hektare (ha), terletak kurang 200 meter dari jalan raya pada km 30, poros jalan antara Palangkaraya dan Kasongan (ibukota Katingan) adalah bekas areal konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang telah berakhir masa kontraknya. Karena lokasinya di pinggir jalan dan sifatnya terbuka (open akses) lokasi semacam ini mudah dan potensial untuk dirambah oleh masyarakat. Oleh karena itu lokasi semacam ini akan ditetapkan sebagai lokasi RHL dari dana DAK DR (dana alokasi khusus, dana reboisasi) yang jumlahny cukup melimpah sebagai daerah penghasil kayu (sekarang DAK DR masuk dalam DBH/dana bagi hasil) dan ditanami dengan jenis lokal, jelutung (Dyera costulata) yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dari hasil getahnya.

Tentang pengertian lahan kritis dalam kawasan hutan, saya jelaskan pengertian secara konvensional lahan kritis baik di dalam kawasan maupun diluar kawasan. Penjelasan saya, nampaknya dapat diterima dengan baik dan anggota DPR itu sehingga  perlu mengucapkan terima kasih karena baru kali ini mendapatkan penjelasan lahan kritis yang sifatnya  clean dan clear.

Pengertian Konvesional Lahan Kritis

Jauh sebelum adanya kemajuan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) dan berkembang menjadi citra satelit resolusi tinggi seperti sekarang, pendekatan konvesional telah dilakukan tentang pengertian lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Lahan kritis dalam kawasan hutan biasa disebut deforestasi, sebaliknya rehabilitasi hutan dikenal dengan nama reforestasi.

Secara konvensional lahan kritis dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu lahan kritis fisik teknis, lahan kritis hidrologis dan lahan kritis sosial ekonomis. Lahan kritis fisik teknis adalah lahan kritis yang secara kasat mata dapat dilihat sebagai lahan yang tidak produktif secara vegetatif (baik tanaman bawah seperti rumput rumputan apalagi kayu kayuan). Kerusakan vegetasi pada lahan kritis sejenis ini hampir mencapai diatas 75%. Lahan kritis hidrologis adalah lahan kritis yang telah terjadi kerusakan hidrolgis, dimana fungsi pengatur keseimbangan air terganggu akibat tutupan vegetasi mulai rusak, khususnya vegetasi kayu kayuan. Surface run off (aliran air dipermukaan) lebih besar dibanding dengan subsurface run off (aliran air yang masuk ke dalam tanah). Akibatnya debit air pada musim hujan meningkat tajam, sedangkan debit air pada musim kemarau sangat kecil. Bila rasio antara debit air maksimum dan minimum pada musim hujan lebih dari 40, maka dapat dipastikan terjadi banjir pada musim hujan. Lahan kritis jenis ini banjak terdapat di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) besar di Jawa, seperti DAS Solo, Brantas, Citanduy, Cimanuk dan sebagainya.

Yang terakhir adalah pengertian lahan kritis secara sosial ekonomis. Secara sosial ekonomis, lahan kritis tipe ini adalah lahan kritis yang secara vegetatif khususnya tanaman/tumbuhan bawah masih baik namun secara sosial apalagi secara ekonomis tidak atau kurang memberi manfaat yang nyata kepada masyarakat. Tipe lahan kritis ini banyak ditemukan di Kalimantan dan Sumatera, khususnya bekas areal lahan HPH yang open akses seperti di Katingan. Inilah yang sebenarnya dimaksud deforestasi, disamping selain kawasan hutan akibat perambahan atau perladangan berpindah (shifting cultivation), dan kebakaran hutan.

Dasar penjelasan di atas ini,  yang saya sampaikan kepada anggota DPR tersebut dan ternyata dapat diterima, dipahami dan dimengerti dengan baik, meski sebenarnya daerah asal dapilnya di Jambi banyak ditemui lahan kawasan hutan yang semacam ini. Namun kurangnya sosialisasi tentang pengertian ini oleh Departeman Kehutanan waktu itu (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai mitra kerja komisi IV, sekelas anggota DPR pusat saja belum paham, apalagi anggota DPRD provinsi dan kabupaten. Nampaknya, dengan latar belakang keilmuan dan pendidikan yang  berbeda-beda dari para anggota DPR komisi IV yang jumlahnya tidak lebih dari 50 orang tersebut, mereka tidak membutuhkan penjelasan yang muluk- muluk, jlimet dan teoritis. Mereka membutuhkan penjelasan yang sederhanamasuk akal (make sense), diterima nalar. Itu saja sudah lebih dari cukup.

Fakta Data

Pada tahun 2000-an, Indonesia memberikan konsesi HPH sebanyak sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta ha. Produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak tahun 2005 dan turun ke titik nadir sejak ditetapkannya moratorium permanen hutan alam tahun 2019 lalu. Pasokan kayu dari hutan alam sekarang hanya bertumpu pada HPH yang tinggal tersisa 255 unit, dengan luas usaha 18,7 juta ha.

Masalahnya, bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas  lebih dari 45,3 juta ha merupakan daerah bebas dan terbuka (open akses) yang mudah dimasuki oleh perambah hutan. Memang, sebagian bekas HPH ini digunakan juga untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha.

Kita berasumsi bahwa sisa lahan hutan yang open akses digunakan untuk pencadangan program perhutanan sosial seluas 12,7 ha dan alih fungsi kawasan hutan, tepatnya pelepasan kawasan hutan untuk  dan atas nama pembangunan sejak tahun 1985 sampai tahun 2017 seluas 6.738.311 ha.

Menurut KLHK rincian pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto, 3.448.053 ha, era Habibie, 678.373 ha, era Gus Dur, 163.566 ha, era Megawati  0 ha, era SBY  2.212.335 ha dan era Jokowi 305.984 ha. Ditambah lagi dengan kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah sekitar lebih dari 1,5 juta ha. Maka deforestasi akibat dari adanya open akses HPH setelah dikurangi luas HTI, luas pencadangan perhutanan sosial, luas pelepasan kawasan hutan dan luas kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah  jumlahnya mencapai 13,1 juta ha yang benar-benar open akses dan merupakan potensi angka deforestasi di samping luas 1,5 juta ha akibat kebakaran hutan, perambahan hutan serta  perladangan berpindah.

Yang Kontroversi

Pemerintah dalam hal ini, KLHK beserta jajarannya tidak secara terbuka merilis angka deforestasi secara kumulatif dari tahun ke tahun berapa jumlah angka deforestasi yang sebenarnya. Belum lagi, berapa luas angka reforestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah atau swasta sekalipun dan berapa tingkat keberhasilannya yang mampu mengurangi angka deforestasi. Penjelasan dan rilis selama ini sifatnya parsial dan tidak komprehensif, sehingga masyarakat dan pemerhati kehutanan banyak bertanya tanya dan menggugat rilis tersebut.

Sebagai contoh Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut angka deforestasi Indonesia menurun tajam (Agro Indonesia, 23 Mei 2020). Dalam artikel itu diebutkan bahwa deforestasi tahunan Indonesia pernah mencapai lebih dari 3,5 juta ha pada periode 1996 hingga 2000, namun telah turun tajam menjadi 0,44 juta ha dan akan terus turun di masa mendatang.

Kemudian dalam artikel “Laju Deforestasi di Indonesia Naik Turun” (Agro Indonesia, 25 April 2020). Disebutkan hasil pemantauan hutan Indonesia menunjukan secara netto deforestasi Indonesia tahun 2018-2019 terjadi kenaikan sebesar 5,2%. Namun demikian untuk deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 5,6%. Deforestasi bruto adalah deforestasi yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan hutan. Sedang deforestasi netto adalah deforestasi yang terjadi setelah dikurangi angka reforestasi. 

Kemudian dalam artikel “Data Perubahan Tutupan Hutan Indonesia, KLHK Menggunakan Definisi Indonesia” (Agro Indonesia, 8 Juni 2020).  Disebutkan Indonesia memiliki terminologi dan definisi soal klasifikasi hutan yang secara ilmiah diakui oleh komunitas internasional. Terminologi dan definisi tersebut harus menjadi rujukan dalam pemantauan hutan di Indonesia. Klasifikasi kelas itu terbagi menjadi hutan alam yang mencakup hutan primer dan sekunder. Selain hutan alam, ada juga satu kelas hutan tanaman. Hutan primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman.

Sementara Data Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Ditjen PDASHL) KLHK tahun 2013 (catatan: data terupdate belum ada) menunjukkan luasan lahan sangat kritis seluruh Indonesia mencapai sekitar 24,3 juta ha, di dalam kawasan hutan mencapai sekitar 15,58 juta ha (64%), sedangkan di luar kawasan hutan mencapai sekitar 8,72 juta ha (36%) (Agro Indonesia, 10 Januari 2018).

Perlu Klarifikasi dan Konfirmasi

Seandainya benar angka yang dirilis oleh Ditjen PDASHL tahun 2013 bahwa luas lahan kritis dalam kawasan hutan mencapai 15,58 juta ha, maka luas deforestasi tersebut harus ditambah angka akumulasi dari 1,92 juta ha  pada kurun waktu 2014-2015 menjadi 0,48 juta ha pada 2016-2017 , sebesar 0,44 juta ha pada tahun 2017-2018, 0,46 juta ha pada tahun 2018-2019. Jadi total lahan kritis dalam kawasan hutan adalah 18,88 juta ha (dihitung sejak tahun 2013-2019). Benarkah data deforestasi ini valid, KLHK yang berhak mengklarifikasi dan konfirmasinya.

Berapakah angka luas reforestasi sesungguhnya yang telah dinyatakan berhasil? Reforestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah cq  Ditjen Kehutanan dan berubah menjadi Departemen Kehutanan serta terakhir menjadi KLHK,  telah dilakukan kegiatan ini selama 44 tahun yang lalu melalui Inpres Reboisasi dan Penghijauan sejak tahun 1976.  Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK menyatakan angka reforestasi (hasil pemantaun citra satelit) sebesar 3.1 ribu ha dianggap berhasil karena dapat mengurangi angka deforestasi angka deforestasi bruto 465,5 ribu ha dari kurun waktu 2018-2019. Berapa umur tanaman hasil reforestasi yang dinyatakan berhasil tersebut? Indikator apa yang digunakan?  Apakah reforestasi ini hasil dari kegiatan RHL yang dilakukan pemerintah  atau hutan tanaman yang dibuat swasta?  Mungkinkah deforestasi termasuk yang berada diluar kawasan hutan?

Bilamana kontroversi tentang deforestasi ini dijadikan topik dalam dengar pendapat (hearing) atau rapat kerja dengan komisi IV DPR, sudah dapat dibayangkan banyak interupsi dan pertanyaan yang tidak mudah, karena banyak angka dan data yang nampaknya sulit dimengerti, dipahami dan yang lebih penting masuk akal (make sense) bagi anggota dewan yang terhormat.