Larangan Ekspor Malah Hancurkan Industri Rotan

ilustrasi kerajinan rotan (pixabay.com)

Indonesia boleh berbangga sebagai negara produsen rotan terbesar di dunia. Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan sekitar 85% bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sementara 15% lainnya dihasilkan oleh negara lain seperti Filipina, Vietnam dan negara Asia lainnya.

Adapun daerah penghasil rotan di Indonesia berada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Sementara sentra industri hilir rotan di Indonesia berada di Jawa Barat (Cirebon), Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Gresik), Jawa Tengah (Jepara, Kudus, Semarang, Sukoharjo), dan Yogyakarta.

Potensi rotan Indonesia saat ini mencapai sekitar 622.000 ton/tahun, di mana terdapat 350 spesies rotan yang ada di Indonesia.

Sayangnya, keunggulan yang dimiliki itu tidak tercermin pada industri kerajinan rotan dan petani rotan di dalam negeri. Kondisi kedua pihak sama-sama sulit.  Industri kerajinan rotan tidak bisa berkembang dengan baik disebabkan sulitnya pasokan rotan yang merupakan bahan baku utama produknya.

“Selama ini kami memang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pasokan rotan dari sentra-sentra rotan,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Hubungan Antarlembaga Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Akibat kesulitan mendapatkan bahan baku, daya saing produk rotan Indonesia di pasar internasional pun menurun. Hal itu ditandai dengan merosotnya nilai ekspor produk rotan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pada tahun 2013, ekspor produk rotan mencapai 200 juta dolar AS, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 190 juta dolar AS. Namun, pada tahun 2014 dan 2015 malah terjadi penurunan ekspor, masing-masing sebesar 173 juta dolar AS dan 159 juta dolar AS.

Menurunnya ekspor produk rotan tentu saja sangat merugikan Indonesia. Karena itu, pemerintah memiliki terobosan baru untuk memudahkan industri kerajinan rotan di dalam negeri mendapatkan pasokan bahan baku berupa rotan.

“Pemerintah telah melibatkan BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk membantu industri kerajinan rotan dan petani rotan di dalam negeri,” ujar Direktur IKM Pangan, Barang dari Kayu dan Furniture  Kementerian Perindustrian. Sudarto kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Menurutnya, PPI akan bertindak sebagai penyangga rotan di dalam negeri dengan membeli rotan-rotan milik petani dan kemudian memasoknya ke industri kerajinan rotan di dalam negeri. “Dengan adanya skema tersebut, maka industri kerajinan rotan dan petani rotan bisa sama-sama berkembang dengan baik,” paparnya.

Keberadaan PPI sebagai penyangga rotan diakui Abdul Sobur. Bahkan, dia menyebutkan HIMKI dan PPI telah menandatangani MoU mengenai pasokan rotan dari PPI kepada anggota HIMKI. “Kami telah menandatangani MoU mengenai pasokan bahan baku rotan dengan PPI pada tanggal 16 Mei lalu,” papar Sobur.

Cash and carry

Dia mengaku, dengan adanya kerjasama itu industri kerajinan rotan di dalam negeri bisa bergeliat kembali karena mereka tidak perlu khawatir lagi untuk mendapatkan pasokan rotan sebagai bahan baku kegiatan produksinya.

“Selama ini kan pasokan rotan menjadi masalah. Dengan adanya skema ini industri kerajinan rotan tentu tertolong,” ucapnya.

Karena berdampak positif, Sobur pun meminta MoU itu bisa segera direalisasikan secepatnya di lapangan. Para pelaku industri kerajinan rotan menginginkan adanya pasokan rotan secepatnya agar mereka bisa memenuhi pesanan buyer.

Soal skema transaksi, HIMKI juga siap melakukan dengan sistem cash and carry. “Kami siap menerapkan sistem cash and carry dalam pembelian rotan,” ucap Sobur.

Sementara Sudarto mengatakan, proses pembelian rotan dari petani dan memasok rotan kepada pelaku industri kerajinan rotan telah mulai dilakukan PPI dengan terjun ke lapangan. “Mereka saat ini sedang terjun ke lapangan untuk mencari sentra-sentra rotan di dalam negeri dan membelinya,” paparnya.

PPI juga akan melakukan pertemuan dengan petani untuk mengetahui berapa harga jual rotan yang saat ini mereka terapkan. Begitu juga dengan pelaku industri kerajinan rotan, PPI melakukan pembahasan mengenai berapa harga pembelian rotan yang dilakukan industri kerajinan rotan selama ini.

“Hal itu perlu dilakukan agar diperoleh harga yang sesuai dan sama-sama menguntungkan bagi petani maupun pelaku industri,” papar Sudarto.

Dirut PPI, Agus Andiyani, saat dihubungi, hanya menjawab singkat bahwa pihaknya sedang memproses kegiatan itu.

Butuh dukungan

Keterlibatan PPI sebagai penyangga suatu komoditas bukan hanya terjadi pada komoditas rotan saja. Sebelumnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini juga telah terjun membantu industri cangkul di dalam negeri dengan bertindak sebagai distributor cangkul yang diproduksi IKM.

Sudarto menjelaskan, PPI juga tengah berusaha mencari tahu tentang jenis-jenis rotan yang dibutuhkan industri kerajinan rotan sehingga nantinya rotan yang dibeli dan dipasok PPI tepat, baik secara jenis, kualitas maupun kuantitasnya.

Walaupun begitu, Sudarto menegaskan kalau keberhasilan program tersebut juga bergantung oleh instansi lainnya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)

“Keberhasilan program ini juga membutuhkan dukungan dari instansi pemerintah lainnya, seperti Kementerian LHK,” paparnya.

Dijelaskan, dukungan Kementerian LHK sangat diperlukan bagi jaminan kelangsungan produksi rotan di dalam negeri. Pasalnya, Kementerian LHK merupakan instansi yang memiliki peranan penting dalam perkembangan budidaya rotan di dalam negeri. B Wibowo

Petani Menjerit, Tengkulak Berjaya

Rotan pernah diidentikkan sebagai komoditas asal Tiongkok sebelum tahun 2012. Hal itu terjadi karena sebagian besar produk kerajinan rotan yang beredar di pasar internasional berasal dari negeri Tirai Bambu tersebut.

Untuk mengubah persepsi dunia bahwa rotan bukan komoditi milik Tiongkok, pemerintah kemudian mengatur perdagangan rotan. Melalui Permendag Nomor 35 Tahun 2011 Tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, pemerintah melarang ekspor bahan baku rotan. Aturan larangan itu mulai diberlakukan sejak awal tahun 2012.

Untuk pengawasannya telah dikeluarkan pula aturan tentang perdaganagan rotan antarpulau, di mana aturan yang terbaru adalah Permendag No. 27 Tahun 2016 tentang Perdagangan Rotan Antarpulau.

Kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan itu memang awalnya berdampak positif terhadap perkembangan industri kerajinan rotan di dalam negeri — yang ditandai dengan meningkatnya ekspor produk rotan Indonesia pada tahun 2012 dan 2013. Selain  itu, sejumlah produsen furniture asal Tiongkok juga menyatakan minatnya untuk berinvestasi di dalam negeri.

Namun, nilai ekspor produk rotan Indonesia pada tahun 2014 dan 2015 kembali menurun. “Padahal, seharusnya dengan adanya larangan ekspor itu, ekspor kita meningkat,” kata Direktur IKM Pangan, Barang dari Kayu dan Furniture Kementerian Perindustrian, Sudarto.

Berdasarkan fakta di lapangan, seretnya ekspor produk Indonesia ke mancanegara, selain disebabkan lesunya ekonomi dunia dan lemahnya promosi, juga dikarenakan adanya permasalahan dalam hal penyediaan pasokan bahan baku rotan  itu sendiri.

Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan langkah strategis pemerintah dalam menjamin kelangsungan produksi dan penjualan rotan petani. Dengan adanya larangan ekspor, tentunya rotan hasil budidaya petani menjadi menumpuk dan tidak ada lokasi yang bisa dijadikan penampungan atau adanya badan penyangga yang membeli rotan petani.

Kalangan petani enggan melakukan budidaya rotan lagi karena harga jualnya tidak kompetitif. Sementara pihak industri kerajinan justru menilai harga pembelian mereka sudah cukup tinggi.

Salah seorang pelaku industri kerajinan rotan di Cirebon mengaku, dia membeli rotan dengan harga yang cukup tinggi. Dia menggambarkan jika rotan mentah yang dibeli para pengusaha rotan Cirebon untuk dijadikan bahan kerajinan itu kisarannya antara Rp9.000 sampai Rp13.000/kg.

“Harga itu tergolong tinggi jika dikaitkan dengan laporan petani rotan di Katingan, Kalimantan,” papar pengusaha yang tak mau disebutkan namanya itu.

Dia mengaku mendapatkan laporan bahwa petani rotan di Kalimantan hanya bisa menjual hasil rotannya kepada tengkulak dengan harga sekitar Rp50.000/kwintal. “Ini tentunya ada masalah dalam hal mata rantai distribusi rotan dari petani hingga ke industri pengguna rotan,” katanya.

Karena itu, dia mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong PPI sebagai penyangga rotan di dalam negeri. “Dengan adanya PPI, tentunya mata rantai distribusi rotan bisa dipangkas, sehingga tercapai harga jual yang saling menguntungkan petani dan industri,” ucapnya. B Wibowo

Baca juga:

Agro Indonesia No 643, 20-26 Juni 2017

PPI Jadi Penyangga Rotan

Rotan tak Berharga, Petani pun Mati