Rotan tak Berharga, Petani pun Mati

ilustrasi rotan (pixabay.com)

Suara Sarwepin terdengar bergetar ketika dihubungi via telepon, Jumat (16/6/2017). Ketua Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) itu tak kuasa menahan kesedihannya ketika ditanya bagaimana kondisi usaha rotan saat ini.

“Sekarang tidak ada lagi pengambilan rotan di Katingan. Demikian juga di Gunung Mas, Pulang Pisau, Murung Raya, dan kabupaten lain di Kalimantan Tengah. Kalaupun ada, hanya sedikit di Kota Waringin Timur,” katanya parau.

Harga rotan yang rendah adalah penyebabnya. Saat ini harga rotan hanya Rp1.500/kg basah. Padahal, saat sedang bagus-bagusnya, jelang tahun 1990-an, harga rotan bisa mencapai Rp250.000/kg basah. Sebagai perbandingan, saat itu biaya kuliah satu semester hanya sekitar Rp120.000. Itu sebabnya, banyak petani rotan yang bisa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

“Sekarang sulit. Kebutuhan lain juga meningkat harganya. Saya tak bisa membayangkan masa depan anak-anak kami,” kata dia terisak.

Sejak rotan tak lagi ada harganya, banyak petani menjadi buruh kasar di perkebunan sawit. Apalagi, hutan tempat tumbuhnya rotan yang dulu menjadi sandaran hidup kini telah dikonversi menjadi perkebunan swasta dengan dukungan pemerintah setempat.

“Dulu kami raja. Cukup berangkat mengambil rotan jam 7 pagi, jam 2 siang sudah bisa pulang dan mendapat hasil. Sekarang kami jadi kuli. Sebab, harus berangkat jam 4 dan pulang sore dengan gaji pas-pasan,” kata Sarwepin.

Sebagian petani rotan kini juga mengandalkan hidup dari memancing ikan. Karena pendapatan yang sekadarnya, tak jarang mereka harus menangkap ikan yang berukuran masih kecil. Akibatnya, sumber daya ikan semakin dieksploitasi — yang mengancam kelestariannya.  “Jadi, hilangnya sumber usaha dari rotan memberi dampak lingkungan yang panjang, mulai dari konversi kebun sawit hingga kelestarian populasi ikan,” katanya.

Untuk mendongkrak pemanfaatan rotan, Sarwepin yang kini menjadi Ketua Lembaga Kolaborasi Rotan Ramah Lingkungan Kalimantan Tengah sedang mempromosikan pemanfaatan produk rotan untuk instansi pemerintah, swasta dan sekolah.

Tumbang

Sulitnya situasi usaha rotan tak serta merta membuat Sarwepin menyalahkan kebijakan larangan ekspor rotan setengah jadi. Meski demikian, dia mengakui semakin hari kemampuan industri jadi (mebel) membeli rotan semakin berkurang.

Larangan ekspor setengah jadi diberlakukan sejak 5,5 tahun lalu terhitung Januari 2012. Hal itu diatur berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 35 Tahun 2011 tentang Larangan Ekspor Rotan yang terbit 30 November 2011.

Sejak saat itu, industri pengolahan rotan setengah jadi pun bertumbangan. Dari 67 unit industri pengolahan yang sempat berdiri di Sulawesi pada tahun 2005, tinggal tersisa 7 unit saja. Di Sumatera juga serupa. Dari 25 unit, tinggal tersisa 5 unit saja. “Itupun dengan kapasitas yang tidak penuh,” kata pengusaha rotan setengah jadi Julius Hoesan ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (15/6/2017).

Dia menjelaskan, pengusaha industri pengolahan tak punya banyak pilihan. Pasalnya, hanya rotan jenis dan ukuran tertentu yang laku dijual. Buntutnya, hanya rotan tertentu saja yang dibeli dari petani.

Situasi tersebut sangat disayangkan. Sebab, akhirnya petani tak lagi melihat nilai ekonomi dari rotan. Padahal, nilai ekonomi itulah yang ikut mendorong masyarakat menjaga hutan sebagai tempat tumbuh rotan. “Masyarakat menjaga hutan karena mereka tahu di sana bisa diperoleh komoditas yang menguntungkan,” katanya.

Julius menuturkan, di beberapa desa di Sulawesi bahkan ada patroli masyarakat yang segera bergerak begitu terdengar suara gergaji mesin. Ini untuk memastikan tidak ada kegiatan penggundulan hutan. “Sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi,” katanya.

Sambut baik

Itu sebabnya, Julius menyambut positif rencana pemerintah untuk menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai badan peyangga rotan. Ini sesuai dengan usulan yang pernah di sampaikan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) sejak 7 tahun lalu. “Kami menyambut baik dan menghargai keinginan untuk membentuk lembaga yang menyangga rotan yang tidak terserap oleh industri mebel di tanah air,” katanya.

Meski demikian, dia mengingatkan perlu dipikirkan bagaimana pemanfaatan rotan yang disangga tadi. Dia menyatakan, dengan berbagai jenis dan ukuran rotan, hanya sekitar 30% saja yang diserap di tanah air. “Nah, yang tidak diserap di tanah air mau disalurkan kemana?” kata Julius.

Ujung-ujungnya, lanjut dia, rotan yang disangga tersebut dipasarkan ke luar negeri. “Kalau akhirnya diekspor juga, untuk apa disangga?” katanya.

Julius melanjutkan, jika ekspor menjadi opsi yang akhirnya bakal ditempuh, maka harus ada dua hal yang dipastikan. Pertama, harus ada pajak ekspor sehingga rotan yang diperdagangkan di luar negeri punya harga lebih mahal. Ini demi menjaga daya saing produk mebel rotan Indonesia di pasar internasional.

Kedua, wajib pasok untuk industri dalam negeri. “Jangan sampai ada kebijakan ekspor, industri hilir di tanah air malah tidak mendapat bahan baku,” katanya.

Julius menyatakan, untuk memastikan usulan tersebut diterima pemerintah, dia akan menyalurkannya lewat Asmindo yang kini bangkit lagi setelah sempat melebur dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki). Dia menuturkan, salah satu keputusan dari Musyawarah Nasional Asmindo, 18 Mei 2017 di Solo, adalah mengkaji kembali kebijakan tataniaga rotan.

Julius juga menyatakan, jika pemerintah ingin menggairahkan industri rotan dari hulu hingga hilir, maka harus diikuti dengan political will yang kuat. Dia menyinggung soal penggunan produk rotan pada instansi pemerintah yang sempat dikampanyekan. Nyatanya, sampai saat ini kampanye tersebut tak menuai hasil.

Dia juga mengingatkan agar tidak ada lagi aturan yang menghambat, seperti verifikasi ekspor dan perdagangan antarpulau oleh Sucofindo. Aturan ini sekarang sudah dicabut atas instruksi Presiden Joko Widodo. “Aturan itu aneh, hanya berlaku pada rotan. Padahal, hasil hutan lain seperti kayu, malah tidak diverifikasi,” katanya.

Tak punya data

Sementara itu, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan IB Putera Parthama setuju jika ada kajian ulang terhadap kebijakan tataniaga rotan. Dia menuturkan, informasi yang diterimanya ada anomali dari kebijakan saat ini.

“Larangan ekspor rotan diharapkan bisa mengamankan kesediaan bahan baku rotan untuk industri mebel. Yang terjadi, pasokan rotan malah kesulitan,” katanya, Kamis (8/6/2017).

Ditanya soal seberapa besar pasokan rotan, Putera mengaku pihaknya tak memiliki data pasti. Apalagi, urusan perizinan pemanfaatan rotan menjadi kewenangan pemerintah daerah cq. Gubernur seperti diatur pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.54/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Tata cara Pemberian dan Perpanjangan Izin Pemungutan Hasi Hutan Kayu atau Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Negara. Meski ada ketentuan pemerintah daerah harus menyampaikan laporan ke Kementerian LHK, nyatanya tak semua rutin melaksanakan amanah tersebut.

Putera juga sepakat pentingnya kerjasama semua pihak untuk menggairahkan pemanfaatan produk rotan. Saat ini produk rotan alam semakin tertekan oleh produk rotan plastik. “Kerjasama semua pihak diharapkan bisa kembali menggairahkan usaha rotan,” katanya. Sugiharto

 

Rekapitulasi Izin Pemungutan HHBK tahun 2016

No Provinsi Jumlah izin (unit) Jenis HHBK Volume Satuan
1 Kalimantan Barat 31 Gaharu Buaya 620 Ton
2 Maluku 3 Gaharu Buaya 60 Ton
3 Nusa Tenggara Barat 1 Bambu 20.000 Batang
4 Sulawesi Selatan 6 Getah Pinus 520 Ton
5 Sulawesi Tengah 4 Rotan 80 Ton
6 Sulawesi Tenggara 77 Rotan 1.540 Ton
7 Sumatera Barat 10 Getah Pinus 140 Ton
Rotan 77 Ton
Rotan 40.000 Batang
 
  Jumlah 132 Gaharu buaya 680 Ton
Bambu 20.000 batang
Getah PInus 660 Ton
Rotan 1.697 Ton
Rotan 40.000 Batang

Sumber: KLHK

Baca juga:

Agro Indonesia No 643, 20-26 Juni 2017

PPI Jadi Penyangga Rotan

Larangan Ekspor Malah Hancurkan Industri Rotan