Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara dalam UUCK

Ilustrasi. rimbawan melakukan pemeliharaan tata batas kawasan hutan (foto: dok ksdae.menlhk.go.id
Dr. Pernando Sinabutar

Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XXII Kendari)

Dalam praktik pengelolaan kawasan hutan negara ditemui banyak konflik, antara lain klaim-klaim sepihak terhadap kawasan hutan negara misalnya oleh instansi, badan hukum, yayasan/badan sosial, atau masyarakat sebagai tanah-tanah bekas hak-hak barat seperti hak eigendom dan atau hak erfpacht, atau dianggap sebagai tanah-tanah bekas hak-hak adat, atau juga sebagai “tanah negara bebas” yang kemudian diduduki, digarap, dibangun serta dimohon hak atas tanah (surat keterangan tanah), bahkan khususnya masyarakat tidak paham bahwa tanah yang didudukinya adalah kawasan hutan.

Klaim itu biasanya terungkap saat tata batas sebagai salah satu tahapan dalam pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan adalah rangkaian penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan negara dengan tujuan memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas dan luas kawasan hutan negara dimaksud.

Klaim yang dapat diselesaikan langsung saat tata batas kawasan hutan adalah permukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum di sepanjang trayek batas yang tidak memerlukan pembuktian tertulis dengan ketentuan : (1) berdasarkan sejarah, keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan; (2) berdasarkan sejarah, keberadaannya ada setelah penunjukan kawasan hutan dapat dikeluarkan dari kawasan hutan dengan kriteria telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah; tercatat pada statistik desa atau kecamatan; dan penduduk di atas 10 (sepuluh) kepala keluarga dan terdiri dari paling kecil 10 (sepuluh) rumah dan ketentuan tersebut tidak berlaku pada provinsi yang kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan kurang dari kecukupan luas kawasan hutan pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi.

Sedangkan hak pihak ketiga lainnya, misalnya lahan garapan harus dapat ditunjukkan bukti kepemilikannya oleh instansi yang membidangi urusan pertanahan sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal terdapat hak pihak ketiga yang berada di dalam kawasan hutan, diselesaikan dengan penataan kawasan hutan.

Kawasan Hutan sebagai Sumberdaya Milik Bersama (Common Pool Resources/CPRs)

Kawasan hutan termasuk ke dalam CPRs yang memiliki karakteristik non excludable (sulit memisahkan pihak yang berhak dan yang tidak berhak) dan substractable (pemanfaatan sumberdaya oleh pihak tertentu akan mengurangi manfaat bagi pihak lain).

Karakteristik lainnya, semua pihak dapat menikmati keuntungan atau manfaat dari sumberdaya itu, akan tetapi tidak semua pihak berkontribusi mengelola sumberdaya itu, sehingga semua pihak berlomba-lomba menghabiskan, tanpa berpikir mengelolanya, akibatnya sumberdaya akan habis, dan suatu ketika dapat terjadi tragedy of the commons yaitu longsor, banjir, kekeringan, dan lainnya.

Dalam hal inilah, diperlukan lembaga untuk mengurus dan mengelola CPRs, dan menghindari pengrusakan/konflik, seperti yang disebutkan Ostrom (1990), yaitu : (1) perlu kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal; (2) ada kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan; (3) monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik (Pemerintah); dan (4) terdapat sanksi bagi yang tidak menghormati aturan.

Karakteristik CPRs inilah menjadi salah satu penyebab sulitnya menghasilkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan negara, saat proses pengukuhan kawasan hutan negara.

Dalam proses itu, ada arena aksi yang menunjukkan bahwa telah terjadi situasi aksi yang memperlihatkan partisipan menggunakan sumberdaya yang dimiliki secara penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi Panitia Tata Batas (PTB) yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata batas kawasan hutan, sehingga melemahkan peran anggota PTB lainnya. Kondisi demikian ini tidak memecahkan persoalan klaim, sebaliknya cenderung berorientasi menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata.

Ada 4 masa penerbitan keputusan menyangkut kawasan hutan negara di Indonesia semenjak kolonial Belanda, antara lain Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK); Peta Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP); Keputusan Menteri tentang Perubahan Peruntukan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan; dan Keputusan Menteri tentang Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi Perairan Provinsi.

Dalam masa itu, telah dilakukan pengukuhan kawasan hutan negara, sehingga luas kawasan hutan di Indonesia yang 125.892.863,25 Ha itu telah ditetapkan 88.558.464 Ha (data sampai Tahun 2020). Dengan begitu, kawasan hutan negara yang belum ditetapkan (belum ditata batas) adalah 37.334.399,25 Ha (29,66%) atau setara dengan 90.928,38 Km yang terdiri dari Batas Luar (BL) 72.826,23 Km dan Batas Fungsi (BF) 18.102,15 Km.

Legalitas Kawasan Hutan Negara dalam UUCK

Bab XI Ketentuan Peralihan Bagian Kesatu Perencanaan Kehutanan Pasal 294 butir (f) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (turunan UUCK Nomor 11 Tahun 2020) menyebutkan bahwa kawasan hutan yang belum dilakukan pengukuhan, diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya PP tersebut.

Dalam rangka itu, diperlukan strategi untuk menggesa penyelesaian pengukuhan kawasan hutan 100% di Tahun 2023. Beberapa strategi yang dibangun telah dimuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan (turunan PP Nomor 23 Tahun 2021) antara lain :

  1. Menyelesaikan problematika beberapa persoalan tata batas kawasan hutan negara yang telah selesai, namun tidak dapat dikukuhkan

Kawasan hutan negara yang telah dikukuhkan/ditata batas (sejak TGHK), bila disandingkan dengan beberapa keputusan seperti disebutkan sebelumnya, memiliki problematika misalnya kawasan hutan negara berdasarkan TGHK telah ditata batas atau disahkan atau ditetapkan, namun dalam peta penunjukan hasil paduserasi dengan TGHK mengalami perubahan batas. Kawasan hutan negara hasil penunjukan kawasan hutan telah ditata batas, dan tidak mengalami perubahan dalam rencana tata ruang provinsi. Sebaliknya, kawasan hutan negara dalam revisi tata ruang provinsi mengalami perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.

Lalu, dokumen BATB dan peta hasil pelaksanaan tata batas kawasan hutan tidak ditemukan atau hilang; ada yang tidak ditemukan, namun dokumen penetapannya lengkap; juga tidak ditemukan, namun tersedia peta lampirannya; lalu, tidak ditandatangani seluruh PTB kawasan hutan/PTB fungsi atau instansi/dinas; dokumennya atau peta berupa fotokopi baik lengkap maupun tidak lengkap, tetapi dapat dipetakan temugelang;

BATB tidak ditemukan, namun pal batas di lapangan telah disepakati PTB kawasan hutan saat pelaksanaan tata batas definitif; termasuk tidak lengkap atau sebagian dokumen dinyatakan hilang tetapi dapat dipetakan secara teknis; dan terakhir dokumennya tidak bisa dipetakan.

Selain itu, ditemukan juga problematika lainnya yaitu kawasan hutan di lapangan tidak sesuai dengan peta penunjukan kawasan hutan; hasil tata batas kawasan hutan tidak memenuhi syarat secara teknis dan yuridis; dokumen BATB telah selesai, namun proses pengesahannya oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri belum dapat dilakukan karena terdapat perbaikan bersifat administratif dan teknis;

hasil tata batas penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan lebih besar dari persetujuan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan surat perintah tata batas, namun BATB tersebut telah disahkan PTB kawasan hutan; dokumen BATB disahkan sebagian terkait pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan; batas kawasan hutan dinyatakan hapus dan dinyatakan tidak berlaku; serta kawasan hutan yang telah ditetapkan yang luasannya kecil sehingga secara teknis tidak dapat dipetakan dalam peta kawasan hutan dan perairan provinsi.

Terakhir, ada problematika bahwa terjadi perbedaan antara peta penunjukan kawasan hutan, peta hasil tata batas kawasan hutan yang telah disahkan, pemetaan hasil tata batas kawasan hutan, peta penetapan kawasan hutan, peta perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan dalam rangka revisi rencana tata ruang provinsi, atau peta perubahan keputusan Menteri kehutanan tentang kawasan hutan dan konservasi perairan serta wilayah tertentu yang ditunjuk sebagai kawasan hutan.

Problematika-problematika itu tentunya memengaruhi selesainya pengukuhan kawasan hutan negara.

  1. Penataan batas kawasan hutan dilakukan tanpa tanda batas (virtual) berkoordinat

Penataan batas dapat dilakukan tanpa tanda batas (virtual) berkoordinat yang digambarkan pada peta dengan memanfaatkan citra dan pendekatan koordinat geografis. Dalam hal ini, pengakuan/legitimasi akan diselesaikan dengan regulasi berikutnya yaitu penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; pun dalam hal tata batas kawasan hutan temu gelang, namun masih terdapat hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, kawasan hutan ditetapkan dengan memuat penjelasan hak pihak ketiga yang ada didalamnya.

Penataan batas kawasan hutan yang dapat ditetapkan menggunakan batas virtual dengan menggambarkan pada peta yang memanfaatkan citra satelit dan pendekatan koordinat geografis dengan mempertimbangkan kondisi alam dan keamanan (Pasal 50 ayat (5) PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021) adalah terobosan dalam pengukuhan kawasan hutan negara. Penataan batas kawasan hutan menggunakan batas virtual tersebut antara lain dilakukan pada lokasi (1) pulau kecil yang tidak berpenghuni; (2) kawasan konservasi di wilayah perairan; (3) batas alam berupa pantai dan sungai; (4) batas kawasan hutan yang tidak langsung berbatasan dengan hak atas tanah; (5) batas kawasan hutan karena kondisi alam yang tidak dapat dilaksanakan penataan batas kawasan hutan antara lain topografi curam dan rawa; (6) batas kawasan yang membahayakan keselamatan pelaksana tata batas; atau (7) batas fungsi kawasan hutan yang tidak berbatasan langsung dengan perizinan berusaha pemanfaatan hutan, persetujuan penggunaan kawasan hutan, persetujuan pelepasan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan dengan tujuan tertentu, dan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.

  1. Mengusulkan penataan batas kawasan hutan menjadi program pemulihan ekonomi nasional

Tata batas memerlukan alokasi anggaran yang tidak sedikit, dan ketersediaan anggaran akan memengaruhi prosesnya. Penataan batas juga  melibatkan banyak pihak, sehingga bermanfaat memulihkan ekonomi nasional sebagai program padat karya. Dengan memasukkan penataan batas kawasan hutan menjadi program pemulihan ekonomi nasional, alokasi anggaran akan tersedia dan program pada karya dapat terlaksana.  

Tiga strategi yang dibangun itu, belum menyentuh legitimasi sepenuhnya, karena persoalan lapangan belum selesai. Oleh karena itu, legitimasi kawasan hutan negara hanya dapat dibangun dengan mekanisme lain, dan dalam UUCK telah diamanahkan.

Legitimasi Kawasan Hutan Negara dalam UUCK

Penataan batas kawasan hutan selain sebagai upaya memberikan kejelasan letak, posisi, batas dan kepastian hukum atas kawasan hutan (legalitas), juga dimaksudkan untuk mendapat pengakuan atau legitimasi dari publik. Seperti disebutkan sebelumnya, pengakuan atas hasil tata batas oleh publik tidak mudah, dan tidak hanya sekedar memasang tanda batas di lapangan, lantas para pihak mengakui.

Sinabutar (2015) menyebutkan bahwa legitimasi kawasan hutan negara akan sulit dihasilkan saat proses pengukuhan kawasan hutan, akibat beberapa hal : (1) hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas (selain permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum), bahkan di dalam kawasan hutan negara tidak dapat serta merta dibuktikan kepemilikannya oleh pejabat yang berwenang; (2) relevansi tugas PTB yang umumnya organisasi teknis, kesulitan menyelesaikan persoalan sosial dan politik kepemilikan lahan; (3) klaim pihak ketiga terhadap batas kawasan hutan yang beragam, perlu kehati-hatian dalam penyelesaiannya; (4) dalam hukum positif, belum mengakomodir sistem kepemilikan dan penguasaan lahan yang berlaku di tingkat lokal, yaitu: “siapa yang lebih dulu membuka lahan, dialah pemilik dan penguasa lahan itu”; dan (5) arena aksi menunjukkan bahwa telah terjadi situasi aksi yang memperlihatkan partisipan menggunakan sumberdaya yang dimiliki secara penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi PTB yang dibentuk sehingga melemahkan peran anggota PTB lainnya.

Kondisi demikian ini tidak memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung berorientasi menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata.

Kesulitan itulah yang kemudian diakomodir dalam UUCK melalui PP Nomor 23 Tahun 2021 dan PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021. Setidaknya ada 3 (tiga) mekanisme yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pengakuan atas legalitas kawasan hutan, yaitu :

  1. Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH)

Substansi penataan batas kawasan hutan adalah memasang tanda batas yang memisahkan batas kawasan hutan dan bukan kawasan hutan. Saat penataan batas kawasan hutan, yang dapat dieksekusi langsung (dikeluarkan dari kawasan hutan) adalah permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum apabila berada di sepanjang trayek batas, sesuai ketentuan. Sedangkan lahan garapan dan klaim lainnya dilakukan identifikasi dan inventarisasi agar dimasukkan dalam Peta Indikatif PPTPKH. Proses penyelesaian terhadap peta indikatif tersebutlah sebagai bagian dari upaya mewujudkan pengakuan (legitimasi) yang akan dilaksanakan pada tahapan selanjutnya.

  1. Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan

Dalam setiap dokumen penetapan kawasan hutan, terdapat klausul bahwa dalam hal tata batas kawasan hutan temu gelang, namun masih terdapat hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, kawasan hutan ditetapkan dengan memuat penjelasan hak pihak ketiga yang ada didalamnya. Hak pihak ketiga inilah yang akan diselesaikan dalam mekanisme penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, berdasarkan klaim para pihak.

  1. Rekonstruksi Batas Kawasan Hutan

Rekonstruksi batas kawasan hutan adalah pengukuran dan pemasangan tanda batas serta pembuatan proyeksi batas ulang untuk mengembalikan letak tanda batas, garis batas dan atau koordinat batas sesuai posisi pada dokumen dan peta tata batas dengan memperhatikan kondisi pal batas di lapangan. Ada 2 (dua) hal krusial dalam PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021 terkait dengan pelaksanaan rekonstruksi batas sebagai bagian dari upaya mewujudkan legitimasi kawasan hutan yang berbeda dengan peraturan sebelumnya, yaitu : (1) Pasal 103 ayat (6) dan (7) menyebutkan bahwa dalam hal terjadi perbedaan letak, luas dan/atau posisi batas kawasan hutan pada dokumen, buku ukur, peta tata batas dan/atau posisi pal batas di lapangan, dapat dimuat dalam berita acara rekonstruksi batas kawasan hutan dan ditandatangani Panita Tata Batas (PTB) yang memuat kronologis perubahan batas kawasan hutan apabila terjadi perbedaan letak, luas dan/atau posisi batas kawasan hutan; dan (2) Pasal 103 ayat (5) dan (6) yang menyebutkan bahwa dalam hal rekonstruksi batas kawasan hutan tidak dapat dilaksanakan pada seluruh atau sebagian trayek batas karena penolakan masyarakat, maka alasan dan bukti penolakan dituangkan dan dilampirkan dalam berita acara rekonstruksi batas kawasan hutan, dan apabila penolakan masyarakat itu didukung dengan bukti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hasil rekonstruksi batas kawasan hutan dapat ditindaklanjuti oleh PTB kawasan hutan guna mengidentifikasi dan menilai secara yuridis dan teknis untuk dilaporkan kepada Menteri serta menjadi bahan penyelesaian permasalahan melalui penataan kawasan hutan.

Bagaimanapun proses tata batas yang dilakukan (memasang tanda batas atau batas virtual), perlu disadari dan dipahami bahwa Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan Hutan adalah akta autentik dan pembuktian sempurna. BATB kawasan hutan atau pada masa Hindia Belanda dinamakan Proces Verbal van Gresregeling adalah akta autentik seperti telah dijelaskan penulis dalam Tabloid Agro Indonesia Volume XVII Nomor 774 (Halaman 11), 25-31 Agustus 2020. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa BATB Kawasan Hutan adalah dokumen bukti penguasaan kawasan hutan negara, yang berstatus sebagai Akta Autentik, karena telah memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata (Burgerlijke Wetboek/BW), yaitu : (a) dibuat dalam bentuk yang ditetapkan undang-undang (UUCK dan turunannya); (b) dibuat oleh pejabat umum yang berwewenang (PTB); dan (c) pejabat umum yang membuat akta (BATB) tersebut mempunyai kewenangan di tempat dimana akta proses verbal tata batas tersebut dibuat.

Di samping itu, BATB Kawasan Hutan juga menjadi pembuktian sempurna, karena kekuatan pembuktian BATB kawasan hutan telah didasarkan pada kekuatan pembuktian menurut pendapat umum yang dianut, bahwa pada setiap akta autentik, demikian juga pada akta pejabat (ambtelijke acte, process-verbaal acte), telah memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yakni : (a) kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht), yang dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autetik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum; (b) kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht), bahwa akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat tersebut di dalam menjalankan jabatannya; dan (c) kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht), berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pejabat umum (berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat dan didengar), dianggap benar isi keterangan tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang.

BATB Kawasan Hutan bukan hanya produk hukum semata sebagai legalitas pembuktian, namun lebih dari itu adalah pengakuan atas BATB Kawasan Hutan itu sebagai wujud dari pengakuan para pihak terhadap batas-batas kawasan hutan yang telah dikukuhkan. Regulasi UUCK telah membuka ruang mewujudkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan, namun perlu waktu. ***