Pertahankan Hutan untuk Kehidupan yang Lebih Baik

Agus Justianto

Indonesia mengambil sejumlah aksi korektif seperti pengembangan perhutanan sosial, penanaman hutan yang melibatkan pelaku usaha, dan penghentian izin baru di hutan primer dan gambut untuk mempertahankan kelestarian hutan.

Hal itu dilakukan karena peran hutan kini disadari semakin luas seiring pandemi global Covid-19. Hutan tidak saja menjadi sebagai sumber kesejahteraan, keanekaragaman hayati, dan pengendali perubahan iklim tapi juga menjadi sebagai sumber pemulihan kesehatan.

Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto mengungkapkan hutan bisa membantu pemulihan mental dan fisik bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 berkepanjangan (forest healing).

“Beberapa inisiatif program forest healing kini dikembangkan di sejumlah lokasi di Indonesia,” kata Agus saat menjadi panelis di Sidang Umum bertema ‘Hutan untuk Dunia yang Lebih Sehat, Sejahtera dan Damai’ pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-15 di Seoul, Korea, Selasa 3 Mei 2022.

Namun Agus mengatakan, jika dilihat lebih luas maka hutan punya peran lebih luas untuk menyediakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat. Oleh sebab itu Indonesia mengambil sejumlah aksi korektif untuk mempertahankan kelestarian hutan.

Salah satu aksi korektif yang dilakukan adalah pengembangan perhutanan sosial. Melalui perhutanan sosial masyarakat bisa meningkatkan pendapatan dan penyediaan pangan dengan pola agroforestry sambil tetap mempertahankan hutan.

“Sudah ada sekitar 4 juta hektare izin perhutanan sosial, dimana 3.000 hektare diantaranya dimanfaatkan untuk produksi pangan,” katanya.

Aksi korektif lainnya adalah menggencarkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang melibatkan semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan luas hutan. Menurut Agus, setiap tahun pemerintah melakukan rehabilitasi hutan setidaknya seluas 200 ribu hektare. Ini didukung dengan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pelaku usaha yang luasnya mencapai 100 ribu hektare tiap tahun.

Untuk mempertahankan hutan, aksi korektif yang dilakukan Indonesia diantaranya adalah menghentikan izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Pemerintah Indonesia juga memberlakukan moratorium pembukaan hutan untuk perluasan kebun sawit.

Menurut Agus, pemerintah juga melakukan evaluasi pada perkebunan sawit. “Hasilnya, sekitar 1 juta hektare areal yang bernilai konservasi tinggi di perkebunan tetap dipertahankan,” katanya.

Lebih lanjut Agus menuturkan, untuk mempertahankan hutan, menekan deforestasi dan degradasi, sambil tetap mendukung pembangunan, pemerintah Indonesia memiliki kebijakan FoLU Net Sink 2030. Berdasarkan kebijakan ini penyerapan gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use/FoLU) sudah seimbang atau lebih banyak dibanding emisinya.

Tercapainya Indonesia FoLU Net Sink 2030, bersama dengan penurunan emisi GRK di sektor lain seperti transportasi, industri, energi, dan pertanian, akan mewujudkan target yang tercatat dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sebagai kontribusi dalam pengendalian perubahan iklim global.

Sementara itu Deputy Director General FAO (Badan PBB yang mengurus pangan dan pertanian), Maria Helena Semedo mengatakan pandemi global memperlihatkan bukti keterkaitan antara kesehatan lingkungan, satwa liar dan manusia.

“Pandemi mengingatkan pentingnya menjaga hutan karena kita tidak bisa memisahkan kesehatan lingkungan, manusia, dan alam liar,” katanya.

Semedo lalu mengatakan pentingnya inisiatif untuk produksi pangan berkelanjutan agar kelestarian hutan terjaga. Pasalnya, pemulihan pasca Covid-19 dan terus meningkatnya populasi dunia diperkirakan akan turut meningkatkan kebutuhan pangan hasil pertanian.

Panelis lain yang ikut berbicara pada sesi tersebut Menteri Kehutanan Republik Korea Byeong Am Choi, Direktur di Kementerian Hutan, Keanekaragaman hayati, dan Jasa Lingkungan Kolombia Adriana Lucia Santa Mendez, Direktur Eksekutif Support for Women in Agriculture and Environment Gertrude Kabusimbi Kenyangi, dan Project Coordinator Green Africa Youth Organization Betty Osei Bonsu. *** AI